Depresi, tujuh huruf dalam satu kata yang terdengar menakutkan, bahkan bisa menjadi aib bagi sebagian orang. Tujuh huruf dalam satu kata yang bisa menjadi momok memalukan hingga keberadaannya selalu ditimbun rapat dan dalam. Tujuh huruf dalam satu kata yang bahkan bisa menjadi topik olok-olok pengisi waktu luang di berbagai percakapan ringan lapisan masyarakat. Tujuh huruf dalam satu kata yang kehadirannya tidak pernah mendapat panggung yang pantas untuk ditelaah dengan pendekatan berbasis empatik.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Biro Statistik Australia, satu dari tujuh orang Australia mengalami depresi. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2023, sebanyak 6,1% penduduk Indonesia dari usia lima belas tahun ke atas mengalami depresi. Depresi juga dialami oleh tiga hingga tujuh dari lima belas orang di Jepang, sehingga Jepang resmi menyandang peringkat kedua penduduk dengan depresi tertinggi di Asia setelah China.
Paparan data tersebut hanyalah sebatas angka semu, bagaikan puncak gunung es yang sukses mengelabui banyak mata untuk meninjau bongkahan-bongkahan besar di bawahnya. Sadar atau tidak, raga dan jiwa sudah berulang kali mengirimkan ragam sinyal kepada diri kita untuk segera meminta bantuan tenaga profesional. Namun sayangnya, tidak sedikit orang yang mengabaikan, menutupi, bahkan hingga di titik betul-betul tidak sadar bahwa dirinya memang sedang butuh bantuan psikologis.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tidak peka akan kondisi psikologisnya. Mulai dari awamnya informasi terkait psikologi, hingga stigma sosial yang seolah-olah menuntut untuk mumpuni dalam berbagai kondisi, agar dapat diterima dan menjalani hidup normal.
Tidak Mampu Menamai Emosi, Apapun Itu Keadaannya
Sesungguhnya tidak sulit mengenali dan menamai ragam emosi yang timbul pada diri kita ketika menghadapi suatu peristiwa. Senang, sedih, bahagia, marah, malu, takut, dan sebagainya. Tidak sukar pula untuk mengungkapkannya ketika sedang bercerita dengan orang yang dipercaya, atau sekadar mengungkapkannya dalam bentuk tulisan di media sosial. Namun, hal itu jelas tidak bisa dilakukan dengan mudah oleh orang dengan depresi. Mereka hanya akan bercerita secara berulang, atau malah kacau tidak sistematis, juga tidak mampu mengenali dan menamai apa yang sesungguhnya dirasakan. Isi kepala mereka bagaikan orang dengan lidah yang sudah tidak mampu mengecap rasa apapun saat sesuap makanan menghinggapi mulutnya.
“Nggak tahu. Gue juga nggak ngerti kenapa. Tapi… gimana, ya? Pokoknya gitu, deh”.
Kamu tidak sendiri. Aku pernah ada di sana. Rasanya seluruh raga dan jiwaku sudah kadung mati rasa. Tiap jengkal tubuh dan emosiku rasanya telah hancur remuk dari dalam, entah sejak kapan. Merangkai kata pun, yang merupakan oasisku sedari kecil, menjadi terasa sangat sulit dan membingungkan. Seakan ragaku telah bersemayam di dalam kegelapan tanah dan sedang beradaptasi melanjutkan hidup sebagai zombie yang tidak berotak dan tidak berperasaan. Hanya tahu lapar, haus, dan mengantuk, tanpa mampu memenuhi tiga kebutuhan dasar itu dengan cara yang sehat.
Tidak Menemukan Alasan Baik, Apapun Itu Keadaannya
Dunia seakan sukses menanamkan suatu paham pada kita untuk bergerak terus tanpa kenal lelah, untuk terus bersyukur dengan membandingkan kehidupan pribadi dengan kehidupan orang lain, untuk menemukan alasan logis dalam setiap langkah tanpa diperkenankan melibatkan perasaan. Ketika didiagnosis menderita depresi, rasanya bagaikan sedang bersimpuh di sebuah lapangan kosong yang dikelilingi banyak orang dengan sorot tatap mata sinis penuh kebencian dan rasa hina.
“Dasar tidak bersyukur! Banyak orang yang hidupnya lebih susah dari kamu!”
“Kamu, tuh. Apa sih, yang dipikirkan?! Masih kecil, belum nikah, belum punya anak, makan masih sama orang tua aja udah sok-sokan banyak pikiran.”
“Ini, nih. Tanda-tanda orang nggak beriman. Makanya sholat, ngaji yang bener!”
Respon sejenis inilah yang membuat orang dengan depresi hidup bagaikan zombie. Mereka tidak diizinkan untuk mengolah dan mencerna apa yang dirasakan secara sehat. Selalu ada saja pembandingnya. Jika tidak ada, maka harus diciptakan pembandingnya. Sehingga, orang dengan depresi pun menjadi kesulitan untuk menemukan akar penyebab mengapa dirinya menjadi seperti ini. Mereka tidak tahu sejak kapan menjalani hidup autopilot dengan kehampaan yang luar biasa sangat. Mereka tidak tahu sejak kapan mereka merasa sepi di tengah keramaian. Mereka tidak tahu sejak kapan mereka tidak berdebar-debar lagi dalam menaruh harapan indah. Mereka merasa dirinya buruk dan tidak layak untuk menikmati apapun yang Tuhan berikan cuma-cuma di muka bumi ini.
Kamu tidak sendiri. Aku pernah ada di sana. Aku tidak menemukan alasan yang tepat untuk layak menjadi penderita depresi. Aku hanya bisa menangis di sepertiga malam, seorang diri di tanah rantau sebagai minoritas, memohon ampun pada Tuhanku karena belum bisa menjadi umatNya yang bahagia menegakkan ajaranNya dengan ikhlas. Aku tidak menemukan apa alasanku menjadi suka makanan ringan tidak sehat yang penuh bubuk-bubuk perasa kimia. Padahal kesukaanku sejak kecil adalah buah alpukat dan biskuit oreo. Aku tidak menemukan alasan mengapa sesungguhnya aku lebih cocok mengenakan pewarna bibir merah muda ketimbang jingga menyala. Aku bahkan tidak menemukan alasan valid mengapa aku harus mendapatkan pertolongan psikologis segera. Karena apa? Aku adalah zombie yang egois, yang lupa melisankan ucapan syukur di mata masyarakat. Sehingga tidak layak merasakan udara segar di pagi hari tanpa rasa cemas dan sedih yang berlebih.
Tidak Sengaja Melupakan Banyak Hal, Apapun yang Seharusnya Diingat
“Hal yang seharusnya diingat” yang kumaksud di sini tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan tugas atau pekerjaan saja, tetapi juga tentang apa yang mengakar di dalam diri sejak lama. Seharusnya kamu ingat bahwa kamu memiliki alergi daun bawang. Namun, kamu justru membeli martabak telur sambil berkata, “Mang, daun bawangnya dibanyakin, ya”, yang rasanya seperti bukan kamu. Bukankah itu bisa membahayakan dirimu?
Kemudian, coba ingat-ingat lagi. Sudah berapa lama kamu tidak menyentuh alat lukismu? Sudah berapa lama kamu tidak membuat tulisan-tulisan indah dan membiarkan jemarimu menari di atas papan tombol komputer? Sudah berapa lama kamu tidak menyenandungkan suara indahmu sembari menyiapkan sarapan pagi? Sudah berapa lama kamu tidak menikmati kegemaranmu seperti kamu yang dulu? Sudah berapa lama kamu tidak berlari-lari kecil di pagi hari dan merasakan aliran keringat hangat di dahimu?
Orang dengan depresi mengisi baterai hidupnya dengan cara yang unik. Mereka tidak lelah menonton drama kesayangan mereka sepanjang malam hingga tanpa sadar matahari sudah memperlihatkan sinarnya. Mereka asyik menjelajahi dunia maya hingga tanpa sadar selalu hadir dalam kolom komentar akun siapapun yang muncul di linimasanya. Mereka larut dalam perjalanan nostalgia melalui ragam video dan foto masa lalu berjam-jam, hingga air matanya jatuh tanpa disadari. Atau, mereka sibuk menyumpal suara-suara berisik dan ragam skenario buruk di dalam kepala, sampai-sampai saat bangun pagi pun masih merasa lelah luar biasa. Maksudku, orang dengan depresi sedang tidak sengaja sedang melupakan dirinya, sehingga tidak bisa dihindari mereka mendadak menjadi seperti orang yang pelupa, ceroboh, atau terkesan kosong dan acuh dengan hiruk-pikuk sekitarnya.
Kamu tidak sendiri. Aku pernah ada di sana. Ketika aku sedang asyik bercerita, tiba-tiba aku lupa kelanjutannya dan hening terdiam. Aku lupa bahwa sejatinya aku adalah manusia extrovert yang selalu mengawali pembicaraan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Aku lupa, mengapa aku yang sekarang menjadi manusia yang mudah lelah seperti ini. Bayangkan, bahkan untuk menyapa orang sekitar saja seperti sudah tidak ada energi. Sampai sering dilabeli sosok yang angkuh mentang-mentang pendatang dari Ibu Kota. Aku lupa bahwa sebenarnya aku tidak sendirian mengarungi payahnya perjalanan gelap tanpa ujung ini.
Tidak Sadar Sedang Berpura-Pura, Apapun Kondisinya
Menurutmu, apakah orang dengan depresi hanya identik dengan mereka dengan mimik wajah sedih? Orang dengan depresi bisa menjalani hidup di pagi hari dengan penuh energi, siang hari dengan penuh canda tawa, sore hari dengan fokus yang tinggi, dan malam hari dengan rasa tenang dan tentram. Namun itu semua hanyalah topeng busuk yang entah akan digunakan hingga kapan.
Memang, salah satu perasaan yang hadir di setiap perjalanan depresi adalah kesedihan. Namun, depresi tidak semata-mata sama dengan rasa sedih. Ada rasa putus asa dan ketidakberdayaan yang menjadi pondasi di tengah tumpang tindihnya ragam emosi negatif yang menghiasi lika-liku kehidupan orang dengan depresi. Mereka, orang dengan depresi, merasakan hidup dalam kegelapan dalam waktu yang lama, sangat lama. Mereka, orang dengan depresi, sadar bahwa “depresi” belum bisa diterima oleh semua orang. Mereka, orang dengan depresi, senantiasa berjuang sekuat tenaga agar diterima oleh masyarakat sebagai individu yang normal. Sebenarnya apa, sih, definisi “normal” menurut masyarakat, hingga bisa bergerak dalam roda kehidupan dengan gerakan yang seirama? Ketika tidak sengaja topeng busuk itu jatuh dan hancur berkeping-keping, reaksi orang-orang sekitarnya hanya membelalakkan mata seakan tidak percaya, kemudian berbalik badan dan berbisik penuh penghakiman.
“Padahal dia single mom, lho. Kalau kena depresi gitu, nggak kasihan sama anaknya?”
“Sumpah, gue nggak nyangka. Bisa-bisanya orang gokil heboh gitu depresi?”
“Kalau gue sih, nikmatin hidup aja nggak, sih? Kayak, ngapain sampai dipikirin berlebih kayak gitu?”
“Depresi itu yang orang gila itu bukan, sih? Nggak nyangka aja, padahal dia di luarnya kayak orang bener.”
Kamu tidak sendiri. Aku pernah ada di sana. Melelahkan sekali rasanya ketika harus selalu tersenyum dan menyapa setiap orang yang ditemui di pagi itu. Harus terus bersabar dan fokus mengerjakan ini-itu dari jam delapan pagi hingga lima sore, Senin sampai Jumat. Harus terus menikmati celotehan dan candaan yang terasa hambar di telinga, tertawa di antaranya, demi menghargai perasaan lawan bicara. Harus terus tampil prima sepanjang hari agar tidak mendapat peringatan dari atasan—atau parahnya dirumahkan secara sepihak oleh perusahaan. Namun di sisi lain, aku menyadari bahwa itu tidak baik. Rasanya melelahkan juga ketika harus berperang melawan ragam pikiran buruk yang hilir-mudik tanpa ampun di dalam kepala. Sangat lelah ketika harus berkali-kali membuktikan kepada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tanpa tahu sampai kapan harus menjalani hidup seperti zombie. Sangat lelah ketika harus memikirkan perasaan orang-orang sekitar begitu ada keinginan untuk mengungkapkan seluruh kecemasan dan kekhawatiranku, “bisa jadi mereka lebih lelah dariku”. Namun, harus ke mana jika aku sendiri sudah tidak mampu untuk menanggungnya?
Untuk kamu yang sedang hidup berdampingan dengan depresi, tidak apa-apa. Depresi tidak semenakutkan itu. Depresi bukanlah monster yang siap menerkam dirimu hingga tak berjejak. Depresi bukanlah aib yang membuatmu harus menjadi orang lain demi bertahan hidup. Bertemanlah dengannya. Bukan dilawan, apalagi diabaikan dan dikubur paksa dalam-dalam. Mungkin kamu belum bisa mempercayainya, namun entah mengapa, depresi justru bisa membuatku lebih empatik memandang perjalanan hidup setiap orang, dan membuatku lebih bisa menerima bahwa sekeras apapun aku hidup dengan jiwa perfeksionis, tetap tidak akan bisa menjadi manusia yang sempurna di mata semua orang dalam segala hal.
Ketika kamu menemukan orang yang kamu sayangi berada dalam situasi seperti ini, aku hanya memohon satu hal padamu. Aku harap, kamu bisa lebih sabar menemaninya. Mereka tidak butuh solusi atau bahkan intervensi instan agar ragam penderitaannya selesai seketika. Kehadiranmu—singkatnya, telingamu dan waktumu—yang tulus saja sudah mampu menghangatkan hatinya yang beku dan dingin. Namun tetap jangan lupakan kondisi dirimu, ya. Bagaimana bisa kamu menolong orang yang sedang tenggelam di lautan lepas, sedangkan kamu pun tak tahu bagaimana caranya berenang dan menyelamatkan orang yang tengah tenggelam?
Jika tulisan sederhanaku ini menemukanmu, semoga ini bisa menjadi salah satu jalan untuk lebih peka terhadap kondisi diri, perlahan bangkit, dan pulih. Semoga kamu pun mampu merangkul mereka yang mengalami depresi, melalui pendekatan yang empatik, sehingga dapat tumbuh bersama menjadi sosok yang lebih berdaya.
Editor: Lidya Sutanto