Sebagai Penyintas Bipolar, Bagaimana Aku Mengasuh A(nak)ku?

Sebagai Penyintas Bipolar, Bagaimana Aku Mengasuh A(nak)ku?

Aku menulis ini pada 3 Januari 2025. Sekitar 3 hari berselang sejak tahun baru. Tempo yang sama sejak (semampuku mengingat) aku kehilangan kontrol hingga bernada membentak keras anakku. 

“Kotor!” aku berseru. Tak terlalu ingat seberapa keras bentakan pada 31 Desember 2024 itu. Yang pasti, anakku yang sebentar lagi genap 2 tahun itu, seketika terdiam. Semacam membeku. Mungkin kaget sambil berusaha menalar, apa yang dimaksud instruksi maminya barusan. 

Kata “kotor” kulontarkan bermaksud mencegah si balita mungil ini agar berhenti mencoba bermain dengan kumpulan debu dan sampah di lantai. Iya, kala itu aku sedang menyapu. Sebab, ia memiliki asma yang belum tuntas pulih dari kekambuhan terakhir.

Apapun konteks yang melatarbelakangi, aku tak membenarkan respons tersebut. 

Sedikit konteks, pengujung sore pada 2024 tersebut, aku memang sedang dalam rangkaian relapse alias “kambuh”. Episode mood swing, irritable, dan kawan-kawannya yang cukup ekstrim (bagiku) kembali terpicu. Multifaktor, baik lantaran tantangan dari internal maupun eksternal diri.

Namun satu hal, setiap kembali terkenang bagaimana anakku membeku terdiam sore itu membuat paru-paruku seperti tak mampu menghirup oksigen lagi.

Dan kembali ke hari ini, 3 Januari 2025. Terlintas pertanyaan dari dan kepada diri sendiri; lantas, bagaimana seharusnya aku merawat sebutir balita mungil ini, di tengah berbagai tantangan sehari-hari yang kualami sebagai perempuan, sebagai manusia?

Jawabannya belum kunjung kutemukan secara utuh. Tapi, sedikit clue yang bisa kutangkap bahwa sepertinya aku harus menunduk lebih ikhlas untuk mengakui, diriku sendiri yang butuh “di-momong” lebih dulu sebelum tampil bak “juru selamat” di hadapan anak.

Aku sadar, ternyata aku harus membuka pikiran dan hati agar dimampukan menjadi lebih ringan menerima, lantas melepaskan. Terutama, melepaskan apa-apa yang tak relevan lagi bagi lahir dan batinku hari ini.

“Belajarlah mengasuh dirimu sendiri dulu,” ujar kepada diri sendiri.

Bagi siapapun kalian yang juga sedang di dalam perjalanan pengasuhan dan keibuan sepertiku sekarang, percayalah… kamu tidak sendiri. 

Ini adalah pengalaman kolektif. Yang sangat mungkin juga, luka lebam pengasuhan ini juga kita rasakan secara berjamaah. 

Betul, ini pengalaman perdana si buah hati menjadi anak kita di dunia fana ini. Ini merupakan periode awal kehidupannya di sini.

Menyadari hal itu, memunculkan empati mendalam di hati kepadanya sehingga kita mengerti bahwa banyak hal yang benar-benar baru ia pelajari, eksplorasi, dan ia rasakan. Dengan kata lain, kita sebagai orang tua, sebagai ibu, akan berusaha mempersembahkan keterampilan momong terbaik dari diri ini.

Namun, secara pribadi, aku sempat lupa bahwa periode ini juga momen pertama kali bagiku. Ini adalah perjalanan keibuan perdanaku. Yang sama seperti FA (inisial anakku), banyak hal yang juga baru kurasakan, ketahui, dan harus aku pelajari ulang. 

Di dalam proses mempelajari ulang, ternyata aku harus menjalani fase “mengosongkan” gelas pengetahuan dan pengalaman bahkan kebiasaan terlebih dulu. Dan disinilah aku saat ini. Tak mudah. Bahkan ada hari-hari, rasanya seperti berputar di dalam spiral puting beliung yang terus menerus berulang.

Aku memutuskan sekuat dayaku-yang-memang-tidaklah-seberapa-dahsyat untuk menahan diri. Mengambil jeda sekelebat di antara situasi dengan responsku. Ternyata, spiral tornado ini menempaku untuk belajar mengasuh diri sendiri, sehingga bisa memberi pemaknaan baru terhadap beragam pengalaman dan pemahaman yang usang. 

Wow, perjalanan panjang rupanya.

Sadari Hal Ini Dulu, Bu

Dan soal mengasuh diri sendiri yang tadi kusinggung, berikut ini setidaknya tiga hal yang benar-benar menamparku bolak-balik berkali-kali. Hal ini yang ternyata mendasar untuk kita sadari terlebih dulu, sebelum bereaksi, sebelum melempar respons terhadap situasi.

Ibu adalah Manusia, Bukan Pahlawan Super 

Mendengar sebutan pahlawan super menarik ingatanku tentang istilah kekuatan super pula. Jika Si Pahlawan Super, dilekatkan sebagai label untukku pada periode keibuan saat ini, terpaksa aku menolak setuju. 

Iya, aku meyakini dan sadar, sebagai perempuan tentu dianugerahi sepaket fitrah yang khas. Bahkan, bisa kusebut “sakral”. Tapi, saat ini aku juga memastikan bahwa label superhero sama sekali tak pas, bahkan terasa tidak empowering. 

Mengutip salah satu tulisan yang pernah dimuat di situs web mother.ly bahwa, “I already know I am efficient, capable, strong and fierce. But, I am also fatigued, sometimes overworked and underappreciated, and worst of all expected  to be the one that keeps it together for everyone else”.

Yang membuatku sedih, sosok di garda terdepan yang selalu menuntut itu adalah diri sendiri.

Duh, Gusti.

Dengarkan Pesan dari Lahir & Bathinmu, Bu

Kata orang, dengarkan tubuhmu. 

Baru sekarang aku secara lebih jernih dan lebih mampu memaknai kalimat di atas. 

Saat isi kepala intens banyak pikiran dan khawatir tentang ini itu alias overthinking, aku menahan diri untuk bereaksi langsung.

Kupaksa agar tubuh terbiasa mengambil beberapa hela nafas dulu. Contoh riilnya, aku mencoba tidak langsung merebus mie instan pukul 1 dini hari untuk menenangkan diri (karena biasanya setelah makan akan lebih rileks, lalu bisa tidur). 

Aku tetap memasak makanan. Tapi kuganti menjadi menu gurih berkuah lain yang tidak instan.

Perfectly Imperfect

Dari peristiwa yang kusebutkan di poin di atas. Maka, prinsip “perfectly imperfect” terejawantah sebagai responsku berupa sikap untuk tidak memaksakan.

Artinya, tak kupaksa lahir bathinku sekejap langsung jadi bijaksana selevel malaikat. Karena kenyataannya, aku memang manusia biasa. 

Dan, demikianlah. Ternyata, perjalanan keibuhan ini membutuhkan stamina maraton, sebab ini bukan sprint. 

Pokoknya bertahan semangat, ya Ibu. Bertahan tentrem, bertahan kalem. 

Peluk hangat dari ibu untuk ibu.