TRIGGER WARNING: Mohon tidak lanjut membaca artikel ini, bagi siapapun yang merasa rentan membaca kisah-kisah tragis. Artikel ini mengandung informasi kekerasan seksual. Artikel ini berpotensi memicu perasaan tidak nyaman, gangguan kecemasan, dada sesak, perut mual dan sekian pemicu lainnya.
Dear Perempuan Berkisah, aku berharap kisah ini mampu mengurai kerumitan pikiranku.
Rasanya sudah lama aku menumpuk segala keresahan yang selama ini ada pada diri. Semua seperti kurayakan sendiri, mengamini sendiri setiap rasa dan energi yang hadir secara positif dan tak jarang negatif. Aku sangat berterimakasih sekali kepada Perempuan Berkisah yang banyak memberikan pembelajaran dan aktivitas bermanfaat bagiku untuk terus bertumbuh, hingga sampai aku merasa di titik aku sudah memiliki kesadaran kritis atas siapa aku dan apa yang benar-benar mau ku jalani. Setidaknya hingga saat ada beberapa momen yang ternyata justru memberi trigger yang cukup mengganggu bagi aktivitas harianku, dan beberapa kali sempat merasa kehilangan jati diri, sampai ingin sembunyi dari kehidupan. Ya, aku merasa hilang dan tidak tahu pasti apakah aku butuh bantuan atau ini semua akan berlalu. Sampai pada saat ini aku berani menuliskannya, berharap ini semua mampu menguraikan apa saja yang rumit dalam pikiran dan hatiku.
Saat aku menikah, pengalaman traumatis kembali muncul
Pertama, aku merasa hidupku berubah setelah aku memutuskan untuk menikah. Pada saat itu aku berpikir, ya tidak ada salahnya aku menikah, aku sudah lama dengannya dan kita sepakat dengan tujuan yang sama. Momen akad menjadi hal yang paling kutakuti, karena aku harus berdamai menatap ayahku yang menikahkanku dengannya. Kukira berdamai dengan masa kelam soal ayah bisa berlalu begitu saja, minggu-minggu sebelumnya aku sudah menumpahkan semua risauku soal ayah ke teman dekatku yang juga guru spiritual (kuanggap begitu karena dia lulusan pondok pesantren dan juga anak Kyai di Lampung). Temanku memintaku untuk memaafkan ayahku, karena bagaimanapun beliau adalah ayah dan wali bagiku, lupakan kejadian buruknya. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya, menangisi semua hal yang terjadi di hidupku, terutama yang disebabkan oleh ayahku.
Aku korban pelecehan seksual oleh ayah kandungku sendiri ketika SMP. Dia meraba dada dan kemaluanku ketika aku tidur di depan tv di malam hari. Saat kejadian, adalah hal yang wajar bagi kami sekeluarga menoton tv hingga tertidur. Namun kejadian itu membuatku syok, tubuhku memberikan reaksi panas dan jantungku berdetak tidak karuan, anehnya aku tidak mampu bergerak, mungkin itu yang dibilang orang freeze. Aku mencoba sekuat tenaga untuk bangun, dan memanifestasi ketakutanku soal apa yang baru saja terjadi ke sudut tembok kiri mataku dengan merasa seolah melihat hantu pocong, dan saat itu aku bisa bangun dan lari pindah ke kamar, di kamar aku masih tidak percaya tentang apa yang baru saja terjadi, masih kacau dan tak karuan. Keringat seperti biji jagung. Adikku terbangun bertanya ada apa, aku hanya bisa berbisik dan bilang ada pocong di depan. Lalu kami pun tertidur saling memegang tangan. Aku pun berpikir dengan mencurahkannya ke temanku memori buruk ini bisa aku lupakan dan bisa kumaafkan untuk moment sakral akad nikahku. Oh iya, selama pacaran dengan suamiku aku tidak pernah menceritakan soal kejadian ini, aku takut dia akan malu dan risih denganku.
Setelah menikah, aku sempat trauma dengan sentuhan suamiku sendiri.
Singkatnya, setelah menikah aku pindah rumah dan ada kelegaan di diri ini, entah mengapa. Selama ini aku bekerja sebagai enumerator atau peneliti sosial yang waktunya lebih banyak dihabiskan di lapangan, aku jarang sekali ada di rumah. Mungkin secara alam bawah sadar ini semua adalah bentuk pelarian diri dari kejadian-kejadian kelam di masa lalu. Berada di lapangan yang jauh dari rumah membuatku bisa melepas emosi dari rumah. Tetapi beberapa bulan setelah menikah, covid pun datang yang tanpa ampun memaksa kami tetap di rumah. Semua kegiatan lapangan ditiadakan. Aku dan suami otomatis lebih banyak waktu di rumah. Hingga suatu subuh, aku masih tidur, ternyata suami secara tiba-tiba menyentuh dada, dan aku reflek langsung bangun dan kembali rasa itu hadir, panas, gemredeg, bedanya aku bisa langsung terduduk mengambil jarak, tidak terdiam kaku, dan aku menangis melihat suamiku yang bingung melihat responku. Akhirnya hari itu aku jujur menceritakan kejadian kelam itu padanya sambil terisak.
Setelah memahami traumaku, suamiku mulai menguatkanku.
Respon dia justru kebalikan dari yang selama ini kupikirkan. Dia justru menenangkanku dan marah memaki kejadian it. Dia berusaha meyakinkan diriku tetap utuh, tidak berkurang apapun. Dia bahkan menawarkan untuk mencari konseling kalau-kalau aku panik dengan kejadian seperti itu lagi. Dia juga cerita, ada trauma soal kejadian-kejadian seperti itu di tahun 1998, ketakutan soal kost-kostan adik perempuannya yang keturunan Tionghoa sempat diteror dengan bangkai tikus, teriakan-teriakan ancaman perkosaan dan cat-calling yang menyebalkan. Kejadian kelam soal kekerasan seksual pada etnis Tionghoa di tahun tersebut membuatnya berjaga-jaga di depan kost-an adik perempuan dan ikut dalam aktivisme evakuasi perempuan keturunan etnis di Jogja. Aku merasa lega, tapi di satu sisi, aku justru makin membenci pelaku, memaafkan bisa tapi melupakannya bagai dihantui dementor.
Aku mulai bergabung komunitas yang menguatkanku.
Masa pandemik memberikanku waktu untuk memperluas informasi melalui pelbagai kegiatan daring, khususnya untuk membenahi diri dari rasa traumatis tersebut, dan beruntung aku bertemu dengan Mbak Alimah dan Perempuan Berkisah. Meskipun baru sekarang aku bisa menceritakannya secara lebih rinci. Kejadian kelam itu memang berlalu dan aku pun sudah bisa move on. Aku membuat diriku sibuk untuk melipur tidak bisa lapangan dengan kegiatan di rumah. Aku mencoba meditasi sendiri, karena sebelumnya aku lumayan aktif ikut olah raga yoga dan pilates, dan meditasi adalah bagian akhir dari setiap kegiatan yoga. Ternyata aktivitas meditasi sendiri ini (tanpa pendampingan) malah bikin aku sesak, seperti terpicu sesuatu, ada yang ingin keluar tapi aku sendiri, aku ketakutan, dan jadinya sesak hingga sulit bernafas. Akupun berhenti dari kegiatan tersebut.
Aku mulai berpikir untuk mengakses bantuan profesional.
Salah satu kegiatan yang aku ikuti adalah workshop covid suicide psycho-education dari Into the Light, di sini aku dibantu fasilitator mereka untuk mengurai emosi pada setiap pertemuan, dan itu berhasil mengurangi kecemasan. Aku tidak mau berasumsi atau memberi analisa diri, kalau aku memiliki kecenderungan yang sama soal ini itu yang relate dengan apa yang kurasakan. Sama seperti mengikuti webinar dan juga workshop dari Perempuan Berkisah, beberapa kali aku juga merasa ke-trigger dan fasilitator juga berhasil membuatku tenang. Semakin memikirkannya semakin aku merasa, apa benar aku butuh bantuan profesional atas apa yang terjadi padaku.
Aku sempat kecewa dengan para aktivis yang menurutku toksik dan tidak memiliki keberpihakan pada korban.
Pernah suatu waktu aku mengikuti agenda pelatihan membangun karakter aktivis perempuan muda di Solo. Di sana aku belajar isu feminis. Tetapi suatu sesi membuatku tidak nyaman ketika sharing soal powerless dan powerness masing-masing. Aku mungkin polos dan gegabah di dunia komunitas ini, apa yang aku sharing justru dibuat mereka sebagai bahan untuk melemahkanku, merendahkan aktivitas komunitasku (Perempuan Berkisah), sampai akhirnya aku meninggalkan lingkungan komunitas tersebut karena kurasa mereka semakin toksik dan tidak membangun, justru menghadirkan kompetisi antar gerakan. Tidak sesuai dengan prinsip keberpihakan, ketika membicarakan bagaimana sikap feminisme itu sendiri.
Mulai hidup bersama mertua, kupikir aku bisa bersabar ternyata tidak.
Kedua, pandemic membuatku dan suami harus pindah ke kota asal suami, karena di Jogja kami tidak mungkin memperpanjang kontrakan rumah, karena dampak ekonomi. Saat ini kami tinggal bersama orang tuanya. Orang-orang bilang Pondok Indah Mertua, aku meyakinkan diri kalau aku orang sabar yang bisa menghadapi mitos-mitos yang orang bilang soal bagaimana rasanya hidup bersama mertua. Kupikir aku bisa, ternyata sudah hampir 2 tahun di sini, rasanya aku lelah juga. Benar-benar lelah. Secara fisik, maupun mental. Aku merasa tidak punya kuasa atas apapun, kecuali suamiku. Hal-hal sepele yang terjadi di rumah bisa memicu emosi yang membuatku melampiaskannya ke menangis. Kita tidak sedang baik-baik saja, kataku pada suamiku. Saat ini kami sedang gencar menabung untuk bisa pindah. Suatu waktu aku menangis karena kelakuan ibu mertua suami malah bilang aku tidak bisa memilih satu di antara kalian, lalu kujawab, aku bisa meninggalkan kehidupan sosialku di Jogja demi bisa hidup bersama kalian.
Aku ingin berdaulat atas diriku sendiri. Aku ingin memperlakukan suamiku seperti sebelumnya.
Apakah aku berlebihan? Aku hanya ingin menjalani kehidupan normal pada umumnya, ingin masak masakan sesuai dengan apa yang aku mau pada hari itu juga. Aku ingin masakanku diapresiasi mereka. Aku ingin tidur sebentar setelah pulang dari pasar seharian. Aku ingin mandi agak sore supaya nggak gerah. Aku ingin santai minum teh sore-sore dan tidak ingin buru-buru mandi dengan air panas yang harus selalu tersedia. Aku ingin berdaulat atas diriku. Semua keteraturan ini, ke-ajeg-an ini, rutinitas yang membuatku berubah, yang anehnya aku tidak yakin perubahan ini atas kesadaranku atau aku hanya mengikuti arus bagaimana kehidupan merubahku. Aku ingin memperlakukan suamiku seperti aku sebelumnya, setidaknya sebelum pindah. Aku sedih ketika aku ditegur di depan banyak orang ketika anaknya sering sakit batuk flu seolah aku tidak mampu merawat anaknya. Padahal batuk flu pada waktu itu adalah wajar karena faktor musim dan lelah dari rutinitas.
Tekanan mertua sangat memengaruhi kondisi mentalku, bahkan rencanaku untuk memiliki anak.
Belum lagi soal momongan, aku dan suami sama-sama belum ada gambaran mau punya anak, sejak kita pacaran. Walaupun kami sama-sama menyukai anak kecil. Tekanan dari mertua di awal kami pindah sangat terasa, dan terkadang menyakitkan buatku. Beliau percaya dengan mitos-mitos agar anak menantunya cepat hamil. Aku awalnya menerima sikapnya itu dan menganggap itu bagian dari doa dan usaha beliau, tetapi lama-lama aku muak dan nggrenthes di hati. Mulai dari disuruh memakai pakaian dalam bekas ibu mertua, harus ikut mengunjungi tetangga yang baru lahiran padahal aku sedang tidak dalam mood untuk melakukan itu, memakan kunyit bekas pijat tetangga yang habis melahirkan, disuguhi minum susu murni setiap pagi sampai eneg, dan selalu membahas bayi dan soal anak ketika ada sinetron kesayangannya dan ketika ada pertemuan keluarga. Suamiku mengetahui aku diperlakukan seperti itu, dan dia menyuruhku untuk bersikap bodo amat dan jangan diambil hati. Aku sudah terbiasa. Aku hanya heran tekanan dari beliau ini justru membuatku stress dan kepikiran, sampai aku selalu menangis setiap datang bulan, mood swing parah, dan merasa bersalah sekali rasanya.
Mertuaku sering memaksaku menuruti mitos-mitos yang membuatku syok.
Kami memang sepakat belum mau periksa secara medis maupun mencoba alternatif. Pernikahan kami baru berjalan masuk tahun ke-4, kami hanya minum vitamin rutin untuk stamina saja. Kadangkala ketika suami lihat aku benar-benar suntuk, kami pergi keluar sekedar ke mini market, atau kadang melipir ke Jogja sekedar staycation. Aku kehilangan kehidupan sosialku, dulu ketika di Jogja aku masih suka sekadar bertamu ke rumah teman, atau bisa keliling kota naik motor, nongkrong, atau sekedar jalan-jalan ke mall, tapi di sini, rutinitasku terbatas, rumah-pasar, bahkan ketika mau bersibuk ria di dapur aku tidak nyaman karena keberadaan ibu mertua yang ikut sibuk di dapur juga seolah memantau apa yang sedang kubuat, beda dengan saling bekerja sama membuat sesuatu. Beliau baik, tetapi ada satu dua hal yang terkadang hatiku tidak bisa menerima, hal yang sebenarnya sepele tetapi di diriku bisa jadi masalah yang membuatku berpikir lebih dari biasanya. Saat seperti ini aku biasanya mengingat ibuku di Jogja, ingin dekat dan merawatnya karena beliau belakangan sakit-sakitan.
Aku mulai santai merespon setiap sikap dari mertuaku.
Saat ini aku mulai bisa menyikapi dengan santai, aku tidak pernah memasak, aku mengikuti apa yang disuruh saja. Sesekali makan di luar, meskipun beliau sedih sudah menyiapkan makan malam, tapi aku dan suami tetap keluar. Entah sampai kapan bisa bertahan di rumah ini. Suami semakin ke sini semakin memikirkan untuk pindah rumah. Mungkin dia memahami apa yang aku alami ini, dan sebagai anak yang sudah dewasa dan membangun rumah tangga rasanya memang benar sebaiknya tinggal jauh dengan orang tua itu lebih baik. Bukan sekedar soal menjaga privasi tetapi juga soal menjaga kewarasan hati dan pikiran. Terakhir, aku ingin memeluk diriku sendiri, sambil mengucapkan terima kasih sudah bertahan. Seperti tren yang saat ini terjadi soal inner child, aku juga belum sesempurna itu mamahami diri ini, apakah luka di masa kecilku sudah sepenuhnya sembuh dan selesai, atau aku yang sekarang terbentuk karena luka di masa kecil. Atau jangan-jangan aku sedang memanggil luka-luka tersebut untuk hadir di masa sekarang dan mengajaknya berdiskusi lalu berdamai.
Semoga dengan merilis apa yang kualami dan kurasakan selama ini, aku bertumbuh lebih kuat dan lebih baik lagi.
Sempat di satu titik aku memikirkan, bagaimana kalau aku meninggal dunia, apakah aku harus dibawa kembali ke Jogja atau orang-orang ini akan menangisiku, mengenangku, atau aku akan benar-benar hilang. Bagaimana kalau sebenarnya suamiku kepalang malu dengan peristiwa yang aku alami. Bagaimana jika aku belum bisa punya anak karena peristiwa yang pernah aku alami. Bagaimana nanti kalau aku punya anak aku tidak sehat secara jasmani maupun Rohani, aku tidak ingin anakku jadi korban dariku. Semestaku selalu memberikanku banyak kejutan. Aku berharap dengan membagikan ceritaku ini, aku bisa bertumbuh dengan lebih baik, dan tidak lagi kehilangan identitas dengan mau melakukan apa yang aku kehendaki, tanpa terbebani karena aku tinggal dengan orang tua suami. Meskipun tidak akan pernah selesai jika dicari kapan selesainya.