Kekerasan seksual, penting untuk melihat diskursus yang membingkai pemahaman publik terhadap isu tersebut, dalam hal ini adalah antara konservatif dan liberal. Hal ini disebabkan karena realitas sosial dibentuk oleh diskursus yang dapat menjelaskan permasalahan lebih komprehensif. Berlawanan dengan pendekatan diskursus adalah pendekatan kritis yang mereduksi permasalahan kepada isu struktural. Dalam pandangan ini, relasi kuasa dapat menguntungkan pandangan maskulin yang lebih dominan dalam masyarakat Indonesia.
Pihak kampus juga telah melakukan pencegahan, misalnya dengan membuat kode etik hubungan antara mahasiswa dan dosen seperti yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada. Namun, dalam praktiknya, kode etik ini ternyata tidak begitu efektif karena budaya timur yang menjadikan kasus kekerasan seksual ditutup-tutupi demi menjaga nama baik institusi. Hal ini seringkali menjadi hambatan bagi korban untuk speak up. Kebijakan berupa kode etik hanya memperlihatkan bahwa institusi telah berusaha mengedukasi sivitas akademia terkait dengan isu kekerasan seksual.
Langkah Tegas Bagi Pelaku Kekerasan Seksual
Baru-baru ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melalui Permendikbudristek 30/2021. Peraturan ini memberikan optimisme bagi pihak perguruan tinggi dan korban dalam menyelesaikan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. Kebijakan yang selama ini berada di ranah pelanggaran etik, sekarang dapat lebih mendapat kepastian hukum. Korban lebih leluasa dengan melaporkan kepada pimpinan di tingkat Fakultas atau Universitas apabila merasa dilecehkan. Sementara itu, satgas penanggulangan kekerasan seksual yang dibentuk oleh kampus memiliki kepastian hukum untuk mengambil langkah tegas bagi para pelaku. Beberapa kasus terbaru pelecehan seksual di kampus sudah memanfaatkan peraturan ini. Walaupun keefektifannya masih perlu diuji lagi. Namun, setidaknya fokus terhadap kebijakan dan prosedur penanganan kekerasan seksual sudah dipersingkat melalui Permendikbudristek ini.
Butuh Langkah Serius Edukasi Kekerasan Seksual
Sementara di sisi lain, edukasi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan langkah yang lebih serius. Relasi kuasa sebagai jantung penyebab terjadinya kekerasan seksual perlu dilihat dalam lokus dimana kekuasaan tersebut dijalankan, dalam hal ini adalah di kampus. Lingkungan kampus dipenuhi oleh orang yang berpengetahuan yang memahami bahwa pelecehan adalah suatu tindakan buruk. Namun, ketika kasus tersebut terjadi, banyak dari sivitas akademia yang memilih untuk diam. Ada istilah menarik terkait hal ini: “merobek baju di dada”, “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”, yang menggambarkan ketakutan pihak kampus untuk membuka kasus kekerasan seksual di lingkungannya.
Ketidakpedulian pada Isu Kekerasan Seksual
Sehingga sebenarnya yang terjadi adalah bukan kurangnya pengetahuan terhadap pelecehan seksual, namun ada hal yang lebih mendasar, yaitu: ketidakpedulian terhadap isu ini. Ketidakpedulian berdampak kepada sulitnya memberi batasan antara menyalahkan atau mendukung korban. Hal ini tentu membutuhkan perubahan paradigma/diskursus di lingkungan kampus dan nafas panjang perjuangan di masa depan.