Keluarga menjadi ujung tombak untuk mencegah perkawinan anak
Rohika Kurniadi Sari, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh perwakilan KemenPPPA dalam siarang langsung Seminar Nasional Hasil Kajian Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 di Youtube KemenPPPA RI, (26/1). Pernyataan tersebut juga merupakan respons atas maraknya kasus perkawinan anak di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan.
Melalui siaran yang sama, Rohika menegaskan, keluarga harus membangun nilai-nilai positif yang ditanamkan pada anak, salah satunya dengan tidak membiarkan pernikahan anak. Ia juga menyampaikan, meski pihak KemenPPPA mencatat penurunan tren jumlah dispensasi perkawinan, tetapi angkanya masih tetap tinggi.
Hal yang diungkapkan Ibu Rohika ini sesuai dengan fakta yang ada. Setelah menyaksikan Seminar Nasional KemenPPPA dan membaca beranda yang mereka sajikan, terpapar jelas data pengadilan agama atas dispensasi perkawinan anak tahun 2022 mencapai 55 ribu kasus. Pengajuan permohonan perkawinan pada usia anak sering disebabkan oleh faktor pemohon mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan faktor dorongan keluarga.
Karena itulah, keluarga memiliki peran penting dalam menerapkan pola asuh yang tepat agar anak tidak berisiko mengalami realita perkawinan anak yang menyebabkan kerugian.
Pola Asuh Tepat Cegah Perkawinan Anak
Pernah suatu hari, saya mendapat kisah yang mengejutkan. Karena rumahku berada di depan sebuah SMP, saya mendapat kabar dari keponakan jika dua teman perempuannya di sekolah tersebut hendak menikah. Mereka yang dinikahkan seharusnya berada di jenjang kelas 3 SMP. Hal ini segera menyedot perhatianku, sebab perkawinan tersebut secara langsung merampas pendidikan yang semestinya diperoleh anak.
Sebagai anak sekaligus pemerhati linimasa berita di media sosial, saya melihat kasus perkawinan anak bukan memberikan solusi, tapi justru menimbulkan masalah baru yang membebani anak. Rata-rata usia perkawinan anak adalah mereka yang masih berada di bangku sekolah. Jika ditelusuri, kondisi ekonomi yang rendah pasca-pernikahan dapat menyebabkan kemiskinan yang terus mengalir antar-generasi.
Posisi Anak Belum Siap Menghadapi Persoalan Rumah Tangga
Selain menimbulkan kerugian ekonomi, perkawinan anak juga rentan akan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Dua hal tersebut terjadi karena kesiapan mental berpikir anak masih belum mumpuni. Ada posisi dimana anak belum siap dihadapkan dengan permasalahan rumah tangga yang begitu kompleks.
Membayangkan ketika saya berada di posisi anak perempuan tadi, tentu tidaklah mudah. Mereka yang setara SMP belum memiliki keberanian dalam mengutarakan pendapat secara bebas, tapi sudah dipaksa untuk menikah. Mereka terdidik untuk selalu mengikuti perintah orang tua, termasuk dalam melangsungkan pernikahan. Setelah dinikahkan, perempuan bertemu dengan suami yang belum memahami problematika keluarga. Hubungan mereka bisa memunculkan relasi kuasa dan menjurus pada kekerasan dalam rumah tangga.
Ketika anak perempuan ini hamil dan melahirkan, juga ada kemungkinan bayi mengalami prematur karena kondisi rahim, reproduksi, dan mental selama hamil belum matang. Setelah mengalami fase itu, ada bayang-bayang perceraian karena kedua belah pihak tidak memiliki ekonomi yang kuat dalam menopang kebutuhan rumah tangga. Ditambah, kemampuan suami istri mengolah emosi masih belum stabil. Siklus ini akan terus berjalan ketika orang tua menerapkan pola perkawinan anak sebagai solusi ekonomi keluarga.
Sembari mengamati realita yang terus mengalir, saya sempat terpikir unuk menulis surat ini yang ditujukan pada para orang tua Barangkali, surat ini bisa mewakili teman-teman perempuan yang dipaksa melakukan pernikahan usia anak
Bapak, Ibu, aku belum siap menikah sekarang. Kondisi fisik, mental, ekonomi, dan kematangan berpikirku harus dipupuk lagi untuk sampai pada tahap siap menikah.
Tidak menuruti kemauan Bapak dan Ibu saat ini, bukan berarti aku tidak berterima kasih karena sudah dibesarkan. Menolak keputusan Bapak Ibu, bukan berarti aku tidak ingin orang tua bahagia. Aku masih harus menempuh pendidikan agar kelak melahirkan generasi yang baik. Aku juga masih perlu belajar mengatasi konflik terhadap diri sendiri sebelum menghadapi konflik rumah tangga pasca-menikah.
Ketahuilah, Pak, Bu, yang sebenarnya aku butuhkan sekarang adalah dukungan dari Bapak Ibu atas impian-impian yang harus aku gapai. Kelak, ketika aku dewasa dan berhasil meraih impian, Bapak Ibu akan tersenyum bahagia menyaksikan aku tumbuh menjadi orang yang hebat.
Cegah Perkawinan Anak butuh Peran Orang Tua
Saya sendiri adalah perempuan yang terlahir dari orang tua dengan kondisi ekonomi menengah. Seringkali uang di keluarga tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saya bersyukur karena orang tuaku tidak pernah terpikir untuk menikahkanku tanpa persetujuan.
Orang tuaku tidak mengajarkan pernikahan sebagai bentuk perbaikan ekonomi keluarga, khususnya orang tua. Meski saya tidak mendapat pendidikan yang mewah ataupun komunikasi yang super-efektik, orang tuaku selalu menyerahkan keputusan terbesar di tanganku sendiri.
Secara tidak langsung, pola asuh tersebut menanamkan tanggung jawab dalam diriku. Jadi, ketika saya berani memilih maka saya berani bertanggung jawab. Saat ini, saya bekerja selain untuk menghidupi diri sekaligus sedikit-sedikit menghidupi keluarga. Saya kerap merasa ditantang keadaan untuk bertahan hidup, Kondisi tersebut membuatku terbiasa mengenali celah, mengambil kesempatan, dan berproses menjadi pribadi yang terus belajar.
Pola ini kemudian saya refleksikan. Kesimpulannya, menurutku orang tua bisa mempertahankan ekonomi keluarga dengan cara mengolah kebutuhan rumah tangga sambil tetap mendorong anak untuk memiliki kemandirian ekonomi.
Tidak bisa dimungkiri, langkah awal yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka perkawinan anak yaitu pola asuh orang tua. Pola asuh yang diwariskan orang tua ke anak sejak balita, semestinya berpihak terhadap kebutuhan dan keinginan anak.
Berikan perhatian sederhana yang melahirkan komunikasi hangat antara orang tua dan anak. Berikan edukasi seksual sesuai usia perkembangan agar anak memahami bagian reproduksi mana yang harus dijaga kebersihannya dan bagian mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Ajarkan anak untuk mengambil keputusan sendiri sejak dini dengan menawarkan opsi ketika orang tua memiliki keinginan.
Hal-hal berkualitas yang dilakukan sejak dini dapat membentuk anak memiliki kecakapan berpikir yang mumpuni. Didikan anak yang sudah terarah sejak dini dapat membantu anak berani menyampaikan pendapat ketika orang tua mengajak diskusi.
Hindari menjadi orang tua yang egois dan mengabaikan impian anak hanya untuk memenuhi keinginan orang tua, apalagi dalam keputusan pernikahan. Sebab, ketika anak sudah dipaksa menikah, ia tidak memiliki pelukan yang amat dalam untuk bercerita. Hak-haknya semakin terancam punah termasuk mimpi-mimpinya. Apa bisa kita berharap pada generasi masa depan yang berkualitas dengan kondisi ini?