Fenomena “Orphan Archetype” dan Bagaimana Kaitannya dengan Abusive Relationship?

Fenomena “Orphan Archetype” dan Bagaimana Kaitannya dengan Abusive Relationship?

Pernahkah kita memiliki teman yang terjebak dalam hubungan abusive? Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita merasa kesal, marah, atau sedih dengan kondisi yang mereka alami? Adakah keinginan mengajak mereka pergi meninggalkan hubungan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, rasanya tidak akan pernah cukup ketika kita hanya melihat persoalan dari satu sudut pandang. Mengapa? Karena kita tidak tahu alasan terbesar seseorang menetap dalam hubungan yang menyakitkan.

SUDAHKAH KITA MEMAHAMI APA ITU ABUSIVE RELATIONSHIP?

Thomas L. Cory, Ph.D., seorang Psikolog di Chattanooga, mendefinisikan suatu hubungan disebut toxic atau abusive apabila perilaku salah satu pihak dalam hubungan tersebut merugikan pihak yang lainnya (bisa secara fisik, psikis, maupun emosional). Di dalam abusive relationship, seseorang diperlakukan seolah-olah derajatnya lebih rendah, harus mengikuti kemauan, keinginan, dan kebutuhan dari pasangannya. Tindakan ini digolongkan sebagai toxic relationship karena mengancam kesejahteraan salah satu pihak di dalam hubungan tersebut.

Membicarakan mengenai individu yang terjebak dalam abusive relationship memang tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang. Ada berbagai faktor yang menjadi alasan seseorang bertahan dan enggan berpaling dari hubungan tersebut. Shawn M. Burn Ph.D., seorang Profesor Psikologi di California Polytechnic State University San Luis Obispo, menyebutkan beberapa alasan seseorang dapat bertahan di dalam hubungan yang abusive, antara lain:

  • Adanya ancaman bahaya
  • Bertahan demi kelangsungan hidup anak
  • Ketergantungan secara ekonomi pada pasangan
  • Khawatir akan status sosial
  • Sulit untuk menerima jika hubungannya harus berakhir dengan perceraian
  • Status di imigrasi
  • Siklus “Bulan madu” di mana semuanya terasa baik-baik saja
  • Cinta dan harapan bahwa banyak hal akan berubah menjadi lebih baik ke depannya

Michael J. Formica EdM, NCC, LPC. melalui tulisannya di Psychology Today juga pernah menyebutkan bahwa seseorang dapat bertahan dan enggan untuk terlepas dari hubungan yang abusive karena terkadang mereka merasa memiliki keakraban dan kenyamanan dalam hubungan tersebut. Itulah sebabnya, mereka akan sering mengambil dua keputusan, antara kembali ke hubungan yang abusive atau meninggalkannya, tetapi secara tidak sadar akan mencari hubungan abusive yang lain. Ternyata, perasaan mencintai orang yang justru menyakiti dalam hubungan tersebut tetaplah ada. Begitu juga dengan perasaan akrab dan nyaman yang pada akhirnya membuat mereka kembali bertahan dalam hubungan yang menyakitkan tersebut.

LANTAS MENGAPA HAL INI DAPAT TERJADI?

“He [the orphan] feels that he is the ‘injured one’ and needs all the care he can possibly get.” She describes a pattern of dependency and clinging to whatever and whoever represents the protection and security of the mother. One way this shows up is in a kind of love hunger that causes people to stay in relationships that are abusive or unsatisfying, because the feeling of need is so desperate that the individual can’t leave. Not having an internal reference point for being well loved, they often feel, this is better than nothing. Others find it easier (and more familiar) to go without love than to go near that wound.

Kutipan paragraf di atas adalah tulisan dari Rose-Emily Rothenberg, seorang Analis Psikologi beraliran Jung, dalam buku berjudul The Emotionally Absent Mother, yang ditulis oleh Jasmin Lee Cori, seorang Psikoterapis asal Colorado. Paragraf inilah yang membahas mengenai fenomena Orphan Archetype, yakni kondisi ketika kita memiliki perasaan “Motherless Child”. Dalam kondisi tersebut, kita rasanya seolah-olah diasuh oleh Ibu, tetapi seperti tidak benar-benar memiliki Ibu, perasaan tanpa orang tua, tanpa cinta, dan merasa sendirian di dunia ini. Secara emosional, kita kehilangan sosok Ibu. Melalui tulisannya ini, Rothenberg juga mengungkapkan bagaimana fenomena ini terbawa hingga kita dewasa dan pengaruhnya terhadap cara kita memaknai suatu hubungan.

Ketika individu memiliki luka yang dibawa sejak kecil, akan muncul perasaan membutuhkan semua perawatan yang mungkin bisa didapatkannya. Kemudian, akan terbentuk pola ketergantungan dan kemelekatan pada apa pun dan siapa pun yang dapat memberikan perlindungan serta keamanan selayaknya yang seharusnya diberikan oleh Ibu untuk anaknya.

Luka karena ketidakhadiran ibu secara emosional yang terbawa hingga dewasa akan muncul dalam bentuk love hunger, yakni kondisi ketika individu merasa lapar akan cinta. Kondisi tersebut akan menyebabkan individu tersebut bertahan dalam hubungan yang kasar atau tidak memuaskan. Hal ini terjadi karena mereka merasa putus asa sehingga memilih untuk bertahan dan menetap. Mereka tidak memiliki acuan mengenai definisi dicintai dengan baik dan muncul keyakinan bahwa hubungan beracun ini tentu lebih baik daripada tidak sama sekali. Mereka beranggapan bahwa inilah satu-satunya sosok yang dapat memberikan cinta yang selama ini dibutuhkan sehingga, bagaimanapun kondisinya, mereka akan menerima dan sulit untuk melepaskan diri dari hubungan yang justru menyakitinya.

Begitu kompleksnya latar belakang hingga seseorang memilih bertahan dalam hubungan yang abusive sehingga kita tidak dapat memandangnya hanya melalui satu sisi. Kita mungkin menerka-nerka alasan yang membuat orang lain bertahan dalam hubungan yang menyakitkan. Kita mungkin juga secara tidak langsung memberikan penilaian bahwa semestinya ia tidak meneruskan hubungan itu. Terlepas dari penilaian apa pun yang kita berikan, meski tersirat, tidaklah patut kita mengungkapkan kalimat-kalimat menyakitkan seperti di bawah ini:

“Kamu terlalu bodoh untuk bertahan dalam hubungan itu.”

  “Kamu, kan bisa pergi dari hubungan itu. Kenapa tidak melakukannya? Buang-buang waktu saja.”

“Sudahlah, jangan merasa paling menderita! Masih banyak yang lebih sulit darimu.”

Atau kalimat-kalimat lainnya yang tanpa kita sadari menorehkan luka dan membuat orang lain enggan untuk menyampaikan secara jujur mengenai kondisi yang dialaminya. 

LALU, APA YANG PERLU KITA LAKUKAN KETIKA MENJUMPAI ORANG YANG TERJEBAK DALAM ABUSIVE RELATIONSHIP?

Deborah J. Cohan, Ph.D., seorang Profesor Sosiologi, melalui tulisannya di laman Psychology Today menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan saat menjumpai orang yang terjebak dalam abusive relationship, yaitu:

  • Bantu orang tersebut mengidentifikasi dan menamai tindakan kekerasan yang dialaminya.
  • Bantu buat garis waktu dari tindakan kekerasan yang dialaminya sehingga dia dapat melihat pola dan siklusnya.
  • Ajukan pertanyaan spesifik kepada orang tersebut dengan cara yang tidak mengancam  untuk menunjukkan kepadanya bahwa perilaku ini kasar.
  • Tanyakan kekhawatirannya.
  • Anggap korban sebagai ahli.
  • Jangan berasumsi bahwa pelaku adalah laki-laki sampai kita diberitahu jenis kelamin sosok tersebut.
  • Biarkan orang ini merasa lebih tenang ketika berbicara dan menceritakan peristiwa yang dialaminya agar ia bisa mengatur nada bicaranya.
  • Berikan orang ini sumber daya dan informasi sebanyak mungkin (seperti melakukan psikoedukasi).

Apa yang orang lain pilih mengenai hidupnya di masa depan memang bukan menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya. Namun, paling tidak kita belajar untuk melihat segala sesuatu yang terjadi pada orang lain dari berbagai sudut pandang, seperti mencoba memahami alasan seseorang terjebak dan memilih menetap dalam hubungan yang abusive, misalnya. Sebagai pihak luar yang mungkin membuat kita berdiri di luar orbit hubungan abusive tersebut, setidaknya kita juga memiliki keinginan untuk terus memperluas wawasan dan informasi mengenai apa itu abusive relationship, bagaimana hubungan itu dapat terjadi, dan faktor apa saja yang membuat seseorang akhirnya menetap dalam hubungan tersebut?

Jika kita belum dapat sepenuhnya menolong orang lain yang terjebak dalam abusive relationship, entah karena memang terlalu sulit atau hal itu memang menjadi pilihan korban, maka sebaiknya kita tidak mengutarakan kalimat-kalimat yang menyakitinya. Mulailah dari hal yang paling sederhana, seperti menjadi pendengar terbaik bagi korban. Barangkali, kalimat inilah yang perlu kita berikan untuk korban sebagai salah satu bentuk pemahaman mengenai hubungan seperti apa yang mereka jalani,

“A healthy relationship doesn’t drag you down. It inspires you to be better.”

Memang tidak akan mudah rasanya membersamai perjalanan korban hingga tumbuh berdaya menjadi seorang penyintas, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melakukannya. Tidak apa-apa untuk mengajaknya berjalan perlahan, sebab setiap proses tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya, kita belajar untuk memahami alasan yang membuat mereka terjebak dalam situasi tersebut dan bagaimana caranya memberikan pemahaman hingga akhirnya mereka memiliki keinginan untuk memulihkan diri.

References:

Deborah J. Cohan, Ph.D. 24 Juli 2019. How to Tell if You’re in an Abusive Relationship – Signs of abuse and help for how to heal. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/us/blog/social-lights/201907/how-tell-if-you-re-in-abusive-relationship

Lee Cori, Jasmin. (2010). The Emotionally Absent Mother: A guide to self-healing and getting the love you missed. United States: The Experiment LLC

Michael J. Formica EdM, NCC, LPC. 14 July 2008. Understanding the Dynamics of Abusive Relationships – Kiss me, kill me, kiss me again — the dynamics of abusive relationships. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/enlightened-living/200807/understandingthe-

dynamics-abusive-relationships

Shawn M. Burn Ph.D. 17 October 2015. How to Help Someone in an Abusive Relationship – The best strategies for helping loved ones in abusive intimate relationships. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/presence-mind/201510/how-help-someone-in-abusiverelationship