Strategi Advokasi dan Kolaborasi Pendampingan Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Strategi Advokasi dan Kolaborasi Pendampingan Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Disclaimer: Ini adalah catatan pembelajaran kegiatan mentoring dari program Sekolah Konselor Sebaya (SKS) berbasis empatik dan keberpihakan pada korban yang diinisiasi oleh Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) atas dukungan Indika Foundation telah sampai pada tahapan mentoring. Yayasan Pribudaya adalah sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menaungi Komunitas Perempuan Berkisah yang berada di 7 (Tujuh) Wilayah di Indonesia. Yayasan Pribudaya adalah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya menaungi Komunitas Perempuan Berkisah di 7 Wilayah dampingan di Indonesia: Jabodetabek, Jabar, Jateng, Yogyakarta-DIY, Jatim, Sumatera, Indonesia Timur (IT). Saat ini Yayasan Pribudaya membutuhkan relawan yang akan dilibatkan dalam kerja-kerja sosial secara pro bono untuk posisi Tim Admin Konseling (5 orang).

“Kita tidak dapat membantu orang yang tidak mau dibantu. Jadi, (pendampingan) harus dimulai dengan dia (korban) butuh bantuan dan mau keluar dari circle kekerasan.” (An Nisaa Yovani)

Tantangan dalam pendampingan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) bisa hadir dari berbagai sisi. Dari sisi pelaku, korban bisa saja masih mendapatkan ancaman kekerasan. Bisa juga, pelaku memiliki kuasa yang dimanfaatkan untuk membahayakan korban. Dari sisi proses, korban bisa saja mengalami trauma berulang karena ketidakberpihakan para penegak hukum. Belum lagi jika kasus menjadi viral di media sosial, penanganan kasus bisa semakin menantang. 

Itu sebabnya, sebagai pendamping dan calon pendamping korban atau konselor, kita perlu mempersiapkan diri menghadapi risiko-risiko tersebut. Persiapan menghadapi risiko semacam ini tidak hanya bermanfaat untuk melancarkan proses pendampingan, tetapi juga menjaga korban sekaligus pendamping. Persiapan inilah yang disebut sebagai strategi advokasi. 

Pada gelaran Sekolah Konselor Sebaya (SKS) Tahap Ketiga, Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh dan Berdaya (Pribudaya) didukung oleh Indika Foundation memperkuat kapasitas para konselor dan calon konselor sebaya untuk menghadapi risiko-risiko dalam pendampingan kasus KBG. SKS Tahap Ketiga ini mengangkat tema Strategi Advokasi dan Kolaborasi Pendampingan Kasus KBG dan Teknik Penulisan Kronologi Kasus Berbasis Empatik dan Keberpihakan terhadap Korban. Sesi ini menghadirkan An Nisaa Yovani, seorang gender expertise dari SAMAHITA Bandung yang telah berpengalaman kurang lebih delapan tahun dalam pendampingan kasus KBG untuk membagikan pengetahuan serta pengalamannya.

Pencatatan Kronologi sebagai Langkah Awal Pendampingan Kasus KBG

Apa yang harus dilakukan saat kita menerima laporan kasus KBG dari korban yang minta untuk didampingi? Alih-alih gegabah dan terburu-buru membawa kasus ke jalur hukum atau melakukan tindakan tanpa diskusi pada korban, hal pertama dan yang terpenting adalah melakukan asesmen pada kebutuhan korban. 

Asesmen kebutuhan merupakan proses mencari atau menggali kebutuhan korban. Lewat proses asesmen kebutuhan, pendamping atau konselor dapat memetakan beberapa hal penting yang akan berpengaruh besar pada langkah pendampingan berikutnya, yakni menentukan strategi pendampingan, memahami jenis pertolongan yang dibutuhkan korban, sekaligus penilaian kapasitas diri dan komunitas dalam penanganan kasus. Asesmen kebutuhan juga bermanfaat untuk pemetaan risiko yang mungkin dihadapi dalam proses pendampingan kasus. 

Untuk melakukan asesmen kebutuhan tersebut, pendamping membutuhkan kronologi. Kronologi merupakan informasi detail yang menceritakan peristiwa yang dialami korban. Pencatatan kronologi ini mesti dilakukan sebelum memulai proses pendampingan dimulai. Sebagai pendamping, kita harus mampu menjelaskan secara rinci kepada korban terkait kegunaan kronologi baik bagi korban maupun pendamping.

Penulisan kronologi pun tidak bisa sesukanya, tetapi harus memperhatikan beberapa hal, yaitu kerahasiaan, keutuhan, keruntutan, dan kepastian. Kerahasian maksudnya kronologi seharusnya hanya diketahui oleh pendamping yang mendampingi korban secara langsung. Membagikan kronologi pada pendamping lain harus atas persetujuan koordinator, itu pun tidak bisa membagikan kronologi secara utuh.

Kronologi harus detail dan utuh dengan memenuhi unsur dasar informasi yang menjawab 5W+1H. Informasi dalam kronologi tersebut harus disajikan secara runtut yang terdiri dari peristiwa awal, tengah, waktu kekerasan dimulai, kekerasan berakhir, atau masih berlangsung. Informasi yang detail dan runtut dalam sebuah kronologi dibutuhkan agar pendamping maupun korban dapat menghindari pemutarbalikan fakta yang mungkin dilakukan oleh pelaku. Kita sebagai pendamping juga bisa memetakan informasi yang berpotensi membahayakan korban sebelum pendampingan dilanjutkan ke jenjang pendampingan hukum.

Bila korban tidak bisa menuliskan kronologi sendiri karena timbulnya rasa takut dan trauma, kita sebagai pendamping bisa menawarkan untuk membantu menuliskan kronologi. Pendamping boleh bertanya, tetapi pastikan kita meminta persetujuan atau consent korban. Tanyakanlah secara hati-hati tanpa pemaksaan. Jika dirasa ada informasi yang kurang,  pendamping dapat memastikan kembali kepada korban. Proses bertanya ini idealnya dilakukan secara tatap muka agar pendamping bisa melihat gerakan tubuh, reaksi, yang ditunjukkan korban dan membantunya merasa nyaman dan tidak merasa sendirian.

Pemetaan Kebutuhan Korban Berdasarkan Kronologi Kasus

Langkah selanjutnya setelah mendapatkan kronologi adalah memetakan kebutuhan korban. Berdasarkan kronologi, pendamping seharusnya telah memahami jenis-jenis kekerasan yang dialami korban. Informasi ini berguna untuk menentukan cara menenangkan dan meyakinkan korban, terutama yang masih kerap menyalahkan diri sendiri. Pemahaman pada kondisi fisik dan mental korban akan membantu pendamping untuk membantu membongkar pemikiran menyalahkan diri dan membuatnya berdaya kembali. 

Kronologi juga membantu pendamping untuk memahami jenis bantuan yang dibutuhkan korban misalnya bantuan psikologis, hukum, atau melakukan rilis publik yang minim risiko. Menentukan strategi advokasi pun dilakukan tergantung kronologi. Pendamping perlu tahu ada tidaknya sistem pendukung korban hingga memetakan jumlah orang yang tahu kasus tersebut. Pemetaan tersebut menjadi penting sebab fenomena spill the tea akan membuat pendamping harus menambahkan lapisan keamanan bagi korban maupun dirinya. Hal ini membuat pendamping dapat menentukan skala prioritas dalam mengambil keputusan. 

Melalui kronologi, pendamping juga perlu untuk memetakan risiko seperti yang telah dibahas di awal. Pada kasus yang banyak tersorot, korban dan pendamping harus menjaga keamanan diri. Keamanan di sini bukan sekadar fisik tetapi juga mental. Jangan sampai saat mendampingi kita burn out atau kelelahan di tengah jalan.

Prinsip FRIES dan Kaitannya dengan Strategi Advokasi Kasus KBG

Penting bagi pendamping untuk memahami terlebih dahulu tentang persetujuan atau consent. Sebab, langkah apa pun yang kita ambil dalam proses pendampingan haruslah berdasarkan persetujuan. Berikut ini adalah prinsip FRIES yang merupakan indikator pemberian persetujuan atau consent.

Freely given, persetujuan seharusnya diberikan dalam keadaan bebas, sadar, tanpa tekanan ataupun iming-iming. 

Reversible, dapat diubah atau dibatalkan. Meski awalnya sudah bilang iya, persetujuan tersebut menjadi tidak sah jika salah satu pihak ingin membatalkan.

Informed, persetujuan semestinya terinformasi secara jelas terkait kegiatan, dampak, konsekuensi, risiko yang akan dilakukan atau dihadapi. 

Informasi (harus) diterima secara utuh oleh penerima agar ia tahu semua hal termasuk dampak dan risiko melakukan hal tersebut.” (An Nisaa Yovani)

Enthusiastic, pemberian persetujuan haruslah diberikan secara antusias karena ingin bukan karena terpaksa. Jawaban “Iya” karena ditanya berkali-kali ataupun jawaban “Terserah” tidak bisa dianggap sebagai persetujuan. 

Specific. persetujuan terbatas pada kegiatan atau hal yang dimaksud. 

Pemahaman pada prinsip FRIES ini tidak hanya bermanfaat sebagai langkah awal kita dalam melakukan pendampingan korban, tetapi juga untuk memahami lapisan KBG yang dialami.

Etika dan Pendekatan dalam Pendampingan 

Dalam melakukan pendampingan, penting bagi konselor untuk mengetahui posisinya. Posisi yang hendak dipersiapkan bagi para peserta di Sekolah Konselor Sebaya (SKS) ini adalah posisi sebagai pendamping sosial bagi korban. Posisi ini tentu memiliki perbedaan dengan pendamping psikologis ataupun pendamping hukum. 

Pendamping sosial berperan dalam memberikan informasi terkait berbagai kebutuhan korban. Jika korban membutuhkan bantuan psikologis, peran pendamping sosial-lah untuk mencari informasi dan merujuk ke psikolog atau psikiater yang ramah gender. Begitu pula ketika korban membutuhkan bantuan hukum, pendamping sosial berperan memberi informasi tentang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang tepat. 

Dapat disimpulkan bahwa pendamping sosial itu sebagai penghubung atau jembatan sekaligus teman curhat klien yang didampingi. Namun, tentu curhat yang dimaksud berbeda dengan curhat biasa karena pendamping sosial perlu mendampingi korban mencapai kesadaran kritis transformatifnya. Jika ada korban yang masih menyalahkan diri, menginternalisasi nilai patriarki, peran pendamping sosial untuk membongkar itu semua. Alih-alih ceramah atau menasehati, kita bisa menantang pikiran yang masih menyalahkan diri lewat pertanyaan agar klien bisa berefleksi. Ingat dan terapkan prinsip dan etika pendampingan korban yang telah dibahas pada sesi SKS sebelumnya. 

Pada sesi ini, Yona juga membahas pendekatan pendampingan yang dilakukan oleh lembaga SAMAHITA. Setidaknya, ada tiga pendekatan pendampingan yang perlu diketahui oleh para pendamping atau konselor, yakni keadilan transformatif, keadilan restoratif, dan pendekatan feminisme. 

Keadilan transformatif berfokus pada pemulihan korban dan pemberdayaan komunitas. Orang-orang yang berada di lingkaran  korban harus ikut paham bahwa mereka adalah perpanjangan dari kekerasan, menyadari kesalahan pada tindakannya, serta memahami cara mencegah kekerasan terjadi lagi. Jadi, tujuan dari keadilan transformatif ialah korban dan sistem pendukung di sekitarnya berdaya bersama. 

Kemudian ada keadilan restoratif yang pada praktiknya sering disalahpahami dengan mendamaikan korban dan pelaku KBG dengan cara menikahkannya. Sebetulnya, implementasi keadilan restoratif tidak seperti itu. Praktik semacam ini justru mengacaukan prinsip keadilan restoratif yang sebenarnya.  

Dalam keadilan restoratif, ada dua pihak yang ditangani yaitu korban dan pelaku. Korban butuh pemulihan dan pelaku butuh direhabilitasi. Di Indonesia, ada Yayasan Pulih yang bisa melakukan rehabilitasi pada pelaku kekerasan seksual. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah agar pelaku menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya kembali setelah masa hukuman berakhir. Jika pada keadilan transformatif ada peran masyarakat, pada keadilan restoratif individu yang mesti sadar.

Meski begitu, Yona menekankan bahwa dalam melakukan keadilan restoratif ini harus melihat kemampuan kita sebagai pendamping dan kapasitas organisasi dalam pendampingan pelaku. Jadi harus dibedakan pendamping pelaku dan korban.

“Namun, harus dilihat karena pendampingan pelaku ini juga cukup baru, harus dipahami punya pengetahuan dan kemampuan yang cukup belum pada pelaku? Jika belum, ya rujuk ke lembaga lain.” (An Nisaa Yovani)

Fokus utama dalam keadilan restoratif tetap korban, terutama jika kita mendapat laporan dan permintaan pendampingan dari korban. Untuk melakukan pendampingan pada pelaku sendiri perlu adanya asesmen dari psikolog karena dalam proses perbaikan nilai dibutuhkan peran tenaga ahli. Tidak semua pelaku mau ikut konseling dan koordinasi. Jadi, harus dipikirkan baik-baik terkait kapasitas diri maupun lembaga dalam penerapan pendampingan pelaku KBG. 

Terakhir adalah pendekatan feminisme. Perlu dipahami bahwa pendekatan dan etika feminisme tidak hanya bisa dilakukan kepada perempuan. Feminisme di sini berperan sebagai kerangka berpikir dan pisau analisis kasus KBG untuk melihat ketimpangan relasi kuasa yang terjadi antara korban dan pelaku. Sekali pun korban adalah laki-laki atau gender minoritas lain, bisa dipastikan akar dari KBG adalah relasi kuasa akibat internalisasi patriarki. Itulah yang harus dibongkar dalam pendampingan. 

Contoh internalisasi patriarki yang harus dianalisis menggunakan lensa pemikiran feminisme adalah pemikiran korban yang masih menyalahkan diri karena merasa dirinya pantas mendapatkan kekerasan atau anggapan bahwa nilai maskulin lebih berkuasa dibandingkan nilai feminin yang menyebabkan maskulinitas toksik pada laki-laki dan pikiran heteronormatif pada gender minoritas. Pada prinsipnya, kita semua adalah korban dari patriarki dan pendekatan feminisme harus dipahami secara holistik untuk membongkar ketidakadilan pada sistem yang tidak menguntungkan korban. 

“Kita tidak ingin membalas kekerasan dengan kekerasan. Namun, kita berharap pelaku tidak melakukan kekerasan dan kita tidak melakukan kekerasan juga lewat kerangka pikir feminisme.” (An Nisaa Yovani)