“Perempuan itu kodratnya melahirkan dan merawat keluarga. Makanya jadi perempuan kalo punya suami dan anak itu diurus yang bener”
Masyarakat membangun opini atas keluarga bahagia dengan komposisi ayah yang bekerja, ibu yang merawat, serta anak yang patuh dan ceria—baik tunggal maupun jamak. Pola imaji ini terus diproduksi oleh berbagai pihak di masyarakat melalui banyak cara, salah satunya lewat media yang terus menggambarkan peran Ibu Super atau Super Mom adalah para perempuan luar biasa tidak mengenal lelah walau jungkir balik melakukan kerja domestik, merawat keluarga, ataupun bekerja.
Pola Mendidik Anak Perempuan Dikondisikan untuk Membangun Keluarga Ideal
Masalah ini telah hadir begitu lama dan terus diwarisi ke generasi selanjutnya. Mengakibatkan pola mendidik anak perempuan dikondisikan supaya nantinya mampu membangun keluarga ideal dan bahagia dengan menjadi istri atau ibu yang baik. Sejak dini pun mereka sudah diajari bagaimana ia harus mampu melakukan kerja-kerja domestik yang bersifat merawat rumah ataupun orang lain.
Hal ini biasanya disertai berbagai nasihat tentang besarnya peran perempuan. Di antaranya termasuk dalam menciptakan dan mempertahankan keluarga yang bahagia, dimana perempuan dituntut memiliki kemampuan melakukan kerja domestik dan mengasihi. Sehingga, suami dan anaknya akan betah di rumah menjadikan mereka keluarga yang ideal.
Perempuan dibebankan tugas besar untuk mewujudkan keluarga yang bahagia. Beban ini juga melahirkan tuntutan dan kewajiban dari masyarakat seperti untuk segera menikah, mengorbankan mimpi mereka untuk merawat suami dan keluarga supaya jadi istri yang baik. Selanjutnya apa? perempuan dikejar segera memiliki anak dengan alasan biological clock, akan segera habis waktunya yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan memiliki anak.
Bahkan setelah melahirkan perempuan lagi dan lagi diposisikan sebagai pihak tunggal untuk kerja-kerja perawatan anak, rumah, suami, dan keluarga. Belum lagi ada tuntutan dan ketakutan baru untuk menjadi cantik dengan tubuh indah secepat mungkin, hal ini disertai bisikan masyarakat kalau tubuh sehabis melahirkan terlihat buruk dan berpotensi membuat suami selingkuh mencari yang lebih cantik demi memuaskan nafsu.
Berbagai Ketakutan Mengejar Perempuan
Berbagai ketakutan terus mengejar perempuan yang sudah sedari kecil ditanamkan pola pikir bahwa mewujudkan keluarga yang bahagia merupakan tanggung jawab mereka, sehingga kesalahan dalam keluarga biar dilakukan pihak lain tetap akan menjadi kesalahan si perempuan.
Karena itu dengan banyaknya beban serta ketakutan yang terus diletakkan di pundak perempuan. Banyak dari mereka yang merasa gagal ketika tidak lagi cantik setelah menikah atau melahirkan, karena suaminya tidak betah di rumah, atau bahkan akibat ketika menjadi seorang ibu tanpa sadar ia sebenarnya mengalami baby blues bahkan post partum yang lebih kita kenal dengan gangguan mental yang rawan dialami ibu setelah melahirkan.
Masalahnya gangguan mental ini sendiri masih tabu di masyarakat apalagi bagi seorang ibu yang baru melahirkan. Semua pihak akan dengan ringan mencaci bahwa seorang ibu sejati tidak sepatutnya merasakan hal-hal yang berkaitan dengan kesedihan apalagi depresi setelah memiliki anak karena mereka sekali lagi harusnya hanya merasakan kebahagiaan supaya keluarganya juga bahagia. Bahkan di beberapa perbincangan akan kita temui ucapan seperti “ibu sejati tidak pernah merasa kelelahan hanya dengan melihat bayi mereka.”
Karena itu beberapa waktu lalu ramai dibicarakannya kasus seorang ibu di Brebes yang membunuh anaknya, walau ini bukan kasus pertama terkait pembunuhan anak dilakukan seorang ibu. Namun, ini pertama kalinya perdebatan terbuka secara besar akibat statement pelaku yang mengaku tidak merasa bersalah telah melakukan upaya pembunuhan pada anaknya, disebabkan ia tidak mau hidup anaknya tersiksa seperti yang dialami nya selama ini.
Perdebatan terkait peristiwa maternal filicide
Perdebatan terkait peristiwa maternal filicide atau pembunuhan yang dilakukan ibu terus bergulir, tentunya banyak pihak berpendapat bahwa ibu yang baik tidak akan pernah membunuh anaknya sendiri. Namun, kasus ini membawa angin segar untuk kita merefleksikan kembali mengapa hal seperti ini dapat terjadi, seperti berbagai beban yang berlapis yang harus ditanggung perempuan untuk mewujudkan keluarga yang ideal sesuai standar masyarakat. Tentunya penulis tidak memberi pembenaran atas pembunuhan yang dilakukan oleh siapapun.
Tapi fenomena ini seharusnya membuat kita resah karena kalau kita mengetik di Google dengan keyword ‘Pembunuhan Anak oleh Ibunya’ maka akan keluar puluhan judul atau lebih dengan tahun kejadian, lokasi kasus, serta motif yang beragam. Namun, ada kesamaan dalam berbagai kasus maternal filicide yaitu kelelahan si ibu untuk menanggung beban supaya menjaga keutuhan di keluarganya.
Misalnya, lelah melakukan kerja domestik, sambil mengurus anak-anak dan keluarga, bahkan bekerja di luar rumah supaya roda perekonomian keluarga tetap berputar. Lalu lelah menyimpan fakta suaminya berselingkuh atau merupakan seorang pelaku KDRT tapi ia memilih bertahan karena berpikir keluarga yang lengkap-ayah, ibu, dan anak-harus dijaga dan ia perlu berkorban, yang biasanya didukung oleh orang terdekat bahkan orang tua si perempuan karena anggapan bercerai adalah aib. Selain itu ada juga karena diakibatkan lelah dengan tuntutan masyarakat yang terus mendikte cara hidup dan pilihan perempuan sebagai istri ataupun ibu.
Kesehatan Mental Perempuan Akibat Filicide
Karena itulah beban atas terwujudnya keluarga yang bahagia tidak seharusnya diletakkan di pundak perempuan saja. Beban, tuntutan dan upaya mendikte yang tiada habisnya lama kelamaan terus mengikis kebahagiaan juga identitas personal perempuan. Mendorong mereka untuk terus bergerak dan melakukan berbagai hal demi keluarga semata, melupakan diri sendiri sehingga mereka tidak lebih bertindak seperti robot yang lama-kelamaan akan habis masa pakainya.
Karena itu perempuan seringkali sudah kadung tersiksa dengan kewajiban merawat dan mempertahankan keluarganya, kelelahan akan tuntutan dan beban kerja domestik, merawat, bahkan ekonomi yang tak ada ujungnya. Mengakibatkan kondisi mental yang terus memburuk, dimana mereka tidak mendapat kesempatan bercerita apalagi ruang aman untuk mencari bantuan. Hal-hal ini terus terkumpul hingga menggunung menimbulkan berbagai potensi kejadian buruk seperti salah satunya maternal filicide.
Karena itu sudah seharusnya masyarakat berhenti menutup mata dengan menuntut perempuan sebagai pihak yang wajib mewujudkan keluarga ideal, lalu berbalik menyalahkan mereka sebagai faktor tunggal kegagalan sebuah keluarga. Karena seharusnya bisa kita pahami bersama bahwa rumah tangga dan keluarga yang bahagia membutuhkan pasangan untuk saling bekerja sama mewujudkannya dalam kesalingan.