27 Agustus 2022, pos dari akun Instagram Kalis Mardiasih dengan judul “Report akun Zavilda TV” membuat gempar. Menyertai pos tersebut, terdapat tangkapan layar beberapa video dengan judul yang mengobjektifikasi tubuh perempuan dibumbui dengan dakwah menutup aurat. Bagai bola api, pro kontra atas pos tersebut terus bermunculan dari pelbagai kalangan. Ada yang menganggap konten tersebut bagian dari dakwah, tetapi tidak sedikit yang melihat masalah dari konten tersebut.
Desakan untuk menghapus video-video di kanal Youtube tersebut pun mulai muncul, termasuk dari akun instagram Perempuan Berkisah. Pemilik kanal Youtube Zavilda TV akhirnya memberikan klarifikasi melalui akun media sosialnya. Ia mengaku salah karena tidak memburamkan wajah dan pakaian korban—atau yang ia sebut sebagai target eksperimen sosialnya. Ia pun menegaskan telah ada persetujuan dengan para target terkait video tersebut.
Namun, masalah tidak kunjung berhenti sebab beberapa korban mulai bermunculan dan mengungkapkan kekerasan yang mereka alami kepada Perempuan Berkisah. Selain melakukan advokasi kepada korban, Perempuan Berkisah dengan visi sebagai media pemberdayaan ingin meluruskan perspektif dari konten-konten tersebut. Komentar-komentar yang semakin liar dari para pendukung maupun penghujat membuat akar masalah dari konten ini semakin buram. Apalagi, tujuan utama dari pengawalan kasus ini sama sekali belum tercapai yakni meminta Zavilda TV menghapus video-video di kanal Youtube-nya.
Atas dasar tersebut, Perempuan Berkisah mengadakan diskusi publik bertajuk “Kontroversi Zavilda TV: Pemaksaan Jilbab, Kekerasan Simbolik Hingga Psikologis”. Diskusi yang diadakan pada 4 September 2022 dan dipandu oleh Indayu Sri Mulyani ini menghadirkan aktivis gender dan juga penulis buku “Hijrah Jangan Kemana-mana Nanti Nyasar”, Kalis Mardiasih sebagai narasumber pertama. Narasumber kedua adalah Ainun Jamilah, Founder Cadar Garis Lucu untuk membagikan perspektifnya terkait konten pemaksaan jilbab dan cadar. Terakhir, hadir pula KH. Husein Muhammad, ulama dan penulis buku “Jilbab dan Aurat” serta “ Islam Agama Ramah Perempuan” untuk meluruskan dari perspektif keagamaan.
Ancaman Pidana dari Pelbagai Kekerasan pada Konten Zavilda TV
“Tubuh digital kita saat ini dampaknya lebih panjang. Meski tubuh fisik mati, jejak digital bisa jadi masih beredar. Misal udah di-take down pun saat sudah disimpan di hard disk masing-masing jejak digital masih ada. Itulah kenapa kita gak bisa anggap remeh konten digital terkait tubuh digital.” (Kalis Mardiasih)
Banyak yang belum sadar bahwa di era serba daring dan internet ini kita memiliki tubuh digital. Sama dengan fisik yang mesti dilindungi, tubuh digital kita pun membutuhkan perlindungan. Hal-hal terkait privasi dan tubuh kita sangatlah personal dan tidak seharusnya disebarluaskan, apalagi tanpa persetujuan kita. Padahal, konten Zavilda TV sendiri telah melakukan pelanggaran privasi tersebut lewat judul-judulnya yang menyebutkan lokasi target, tato, hingga penyematan label seksi.
Menurut Kalis Mardiasih, Zavilda TV telah banyak melakukan pelanggaran terkait hak pada konten digital. Menanggapi klarifikasi pihak Zavilda TV yang menyatakan target telah setuju untuk membuat konten bersama, Kalis memaparkan masalah dari kesepakatan tersebut. Pada hakikatnya, sebuah persetujuan harus memenuhi unsur FRIES (Freely given, Reversible, Informed, Enthusiastic, dan Spesific).
Pertama, terkait freely given, menurut Kalis, banyak korban Zavilda TV tidak diberi pilihan saat diajak membuat konten. Korban tiba-tiba didatangi saat berada di kafe atau di jalanan lalu diajak membuat konten dengan iming-iming viral. Dalam situasi ini, tidak jarang terjadi pemaksaan dibalut kalimat-kalimat yang terkesan halus misalnya dicap sombong saat menolak. Intinya, persetujuan yang diberikan korban itu tidak bebas. Persetujuan membuat konten di awal pun tidak bisa dianggap valid terutama setelah ada korban mengungkapkan bahwa dirinya diminta mengenakan pakaian seksi yang tidak sesuai keinginan demi viralnya konten.
Kedua, pelanggaran terkait reversible. Setelah kasus ini viral, beberapa korban Zavilda TV mulai berani membagikan kisahnya kepada Perempuan Berkisah. Berdasarkan informasi dari korban, mereka merasa tidak nyaman dengan judul dan thumbnail yang dibuat oleh Zavilda TV hingga meminta video tersebut untuk dihapus. Sayangnya, permintaan tersebut tidak digubris malah ditawarkan sejumlah rupiah sebagai pengganti. Padahal, persetujuan yang reversible itu berarti sangat boleh berubah sewaktu-waktu. Apalagi saat korban merasa tidak nyaman dengan konten yang ditayangkan karena mengancam keamanan digitalnya.
Berdasarkan pengakuan korban yang didampingi Perempuan Berkisah, korban tidak diberikan informasi mengenai judul dan pemilihan thumbnail yang akan ditayangkan. Hal ini tentu bermasalah sebab sebuah persetujuan, apalagi terkait konten yang dikomersilkan, semestinya diberikan dalam kontrak rinci, jelas, dan terbuka. Inilah fungsi dari unsur informed dalam syarat persetujuan yang dilanggar oleh Zavilda TV.
“Masa begitu aja nggak mau?”
“Astaghfirullah, sudah biasa pakai baju seksi, ya?”
“Nggak takut murka Allah?”
Itulah beberapa contoh kalimat yang digunakan Zavilda TV saat mendekati targetnya. Menurut Kalis hal ini termasuk dalam kekerasan simbolik yang disembunyikan dalam simbol bahasa. Dalam situasi ini, Zavilda TV sedang menggunakan kekuasaannya untuk membuat orang lain lebih hina dibandingkan dirinya. Jadi, persetujuan yang diberikan korban untuk membuat konten jelas tidak memenuhi unsur enthusiastic. Hal ini didukung oleh pernyataan korban yang merasa dipaksa saat membuat konten meski sudah menolaknya.
Unsur FRIES terakhir yang mesti dipenuhi dalam sebuah persetujuan adalah specific. Sebagai sebuah konten yang dikomersilkan sudah seharusnya ada perjanjian kerjasama yang detail dan menyeluruh. Konten yang dibuat tidak boleh sembarangan dipublikasikan ulang di akun media sosial lain atau di media sosial partner Zavilda TV tanpa persetujuan korban. Izin membuat konten tidak sama dengan izin publikasi.
Berdasarkan paparan tersebut, jelas bahwa Zavilda TV telah melakukan pelanggaran. Bahkan, menurut Kalis pelanggaran tersebut bisa dipidanakan. Penggunaan thumbnail, proses pembuatan video, pembingkaian perempuan seksi bertato yang merendahkan, bahkan pemaksaan korban untuk mengenakan pakaian seksi agar viral merupakan bentuk pelecehan seksual nonfisik. Hal ini berdasarkan Pasal 5 UU TPKS yang berbunyi,
Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik dengan pidana penjara paling lama bulan dan/atau pidana dengan paling banyak Rp10.000.000.
Kalis Mardiasih
Selain itu, konten yang ditampilkan Zavilda TV juga bisa dijerat dengan pasal 14 UU TPKS kekerasan berbasis media elektronik. Ketika korban tidak diberi informasi terkait thumbnail video yang merendahkan, itu sudah termasuk kekerasan berbasis media elektronik. Apalagi, jika ada unsur paksaan dan ancaman yang memungkinkan pembuat konten dijerat dengan dua jenis kekerasan seksual sekaligus.
Kalau korban tidak mau mediasi dan mau litigasi bisa coba dengan UU nomor 12 sekaligus menguji UU TPKS yang sudah disahkan sejak Mei lalu.
Kalis Mardiasih
Pada intinya, Kalis menekankan bahwa akar masalah dari konten-konten Zavilda TV adalah ancaman pada keamanan tubuh digital para korban. Apalagi korban yang diadvokasi PB ada yang mengaku tidak nyaman, takut orang tua melihat atau dosen tahu dirinya mendapat label demikian di sebuah konten Youtube. Suka tidak suka, jejak digital itu akan selamanya ada dan bukan tidak mungkin merugikan korban. Korban bisa dirugikan secara sosial, ekonomi, hingga politik karena kehilangan pekerjaan, memburuknya relasi, dan pastinya tersebar informasi pribadi.
Itulah kerugian dari terampasnya keamanan tubuh digital korban lewat konten eksperimen sosial berbalut agama yang dilakukan Zavilda TV. Masalahnya bukan sekadar konten, tetapi lebih besar dari itu dan tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, terbukti persetujuan yang diberikan korban tidak memuat unsur FRIES. Kalis pun menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga video-video tersebut diturunkan.
Bahayakan Perempuan Bercadar, Salah Kaprah Toleransi Konten Zavilda TV
Zavilda TV perlu tahu ini akan berdampak panjang. Dia mungkin hanya mencari uang dengan konten tersebut, tetapi bagi teman-teman muslim di lingkungan minoritas dampaknya besar. Stigma juga jadi menganggap orang bercadar sok suci, paling parah persekusi (pada perempuan bercadar).
Ainun Jamilah
Itulah sekelumit ungkapan kegelisahan Ainun Jamilah, Founder Cadar Garis Lucu, terkait konten-konten Zavilda TV. Meski sama-sama mengenakan cadar, Cadar Garis Lucu menyatakan dengan tegas menolak konten pemaksaan jilbab berkedok eksperimen sosial yang dilakukan Zavilda TV. Bahkan, menurut Ainun, konten-konten demikian sama sekali tidak mencerminkan toleransi malah sebaliknya berpotensi membahayakan perempuan-perempuan bercadar lainnya. Mengapa demikian?
Cadar Garis Lucu (CGL) merupakan sebuah komunitas perempuan bercadar. Namun, tidak seperti stigma yang selama ini melekat pada cadar sebagai simbol ekstremisme, CGL menghargai pluralitas, khususnya di Indonesia. Seperti yang dituturkan Ainun, tidak pernah ada agenda memaksakan cadar atau memperbanyak perempuan bercadar di Indonesia dalam CGL. Jadi, saat ada desakan dari tim Zavilda TV pada Ainun dan CGL untuk mendukungnya, Ainun dengan tegas menolak karena bukan itu tujuan dari CGL.
Bagi Ainun, konten yang dibuat Zavilda TV sama sekali tidak manusiawi karena melanggar hak perempuan untuk menjadi dirinya sendiri lewat pemaksaan berjilbab, termasuk kepada perempuan non-muslim. Itu sebabnya, Ainun menegaskan bahwa dirinya dan CGL tidak bisa mendukung Zavilda TV. Sebaliknya, CGL akan bersama-sama melindungi perempuan yang memilih untuk tidak berhijab, perempuan berhijab, bahkan perempuan bercadar selama perempuan tersebut menghargai prinsip dan hak masing-masing orang.
Dari perspektif seorang pencadar, Ainun sendiri mengaku sangat terganggu dengan konten-konten Zavilda TV. Baginya, mengenakan jilbab dan cadar mesti dilandasi kesadaran bukan karena paksaan apalagi meromantisisasi agama atas nama toleransi yang salah kaprah. Baginya, Zavilda TV justru tampak sengaja menjual atau mengkomersialisasi agama. Padahal, ekspresi keagamaan merupakan hal yang personal. Pada kitab suci saja tidak ada paksaan beragama.
Ainun pun menegaskan bahwa CGL sebagai wadah yang melindungi semua perempuan, bukan hanya perempuan bercadar. Jadi, tidak ada alasan untuk membenarkan suatu kesalahan hanya karena sama-sama bercadar.
Kami berpihak pada korban. Kami tidak akan menyetujui tindakan tersebut bahkan dengan tegas melawan tindakan yang dilakukan atas nama cadar tetapi merugikan orang lain.
Ainun Jamilah
Penolakan Ainun dan CGL terhadap konten Zavilda TV bukanlah tanpa alasan. Selain judul dan thumbnail yang mengobjektifikasi perempuan, konten Zavilda TV juga memperburuk stigma para pencadar. Saat CGL mati-matian berjuang mendobrak stigma tersebut, hadirnya Zavilda TV dengan alasan dakwah, edukasi, dan toleransi justru memberi dampak sebaliknya. Menurutnya, menghadapi stigma yang melekat pada para pencadar sebelum adanya konten ini saja sudah berat. Kini, konten Zavilda TV membuat kepercayaan masyarakat kepada para pencadar kembali turun.
Pada diskusi publik ini, Ainun bahkan tidak dapat menahan luapan kesedihannya saat menceritakan hal-hal yang mungkin dialami perempuan bercadar di daerah minoritas akibat konten tersebut. Bukan hanya stigma cadar dianggap mengkhawatirkan, konten intoleran semacam itu juga berdampak persekusi pada para pencadar.
Satu orang berbuat, semua kena. (Contohnya) pelaku pengeboman Gereja Katedral seorang perempuan bercadar (mengakibatkan) semua perempuan bercadar terdampak, sampai tidak boleh keluar rumah. Di Makassar saja yang banyak islamnya, sempat perempuan bercadar dipukuli, ditarik cadarnya akibat persitiwa pengeboman tersebut.
Ainun Jamilah
Sebelum mengakhiri pemaparannya, Ainun sekaligus mengungkapkan permohonan maaf kepada teman-teman agama lain yang menjadi target konten Zavilda TV maupun yang menonton dan kecewa terhadap pemaksaan jilbab tersebut. Ainun mewakili teman-teman bercadar yang tidak direpresentasikan oleh Zavilda TV memaklumi kemarahan yang timbul akibat konten tersebut dan memahami sakit hati teman-teman.
Kepada tim Zavilda TV, Ainun beraharap agar konten-konten tersebut segera dihapus demi kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Penolakan terhadap konten-konten tersebut sama sekali tidak bermaksud mematikan rezeki orang lain, sebaliknya merupakan bentuk nyata toleransi terhadap perempuan dan seluruh umat beragama di Indonesia.
Jadi, bukan sekadar bermasalah pada keamanan tubuh digital korban, konten-konten Zavilda TV pun terbukti bermasalah karena mengancam hal yang lebih besar yakni keamanan para pencadar serta kerukunan umat beragama.
Bukan Keyakinan, Paksaan Justru Menghasilkan Kemunafikan
Orang dengan pengetahuan keagamaan terbatas akan gemar membatasi, menyalahkan, atau menakuti-nakuti orang lain daripada memberi ruang dan menghargai pandangan orang lain yang berbeda.
KH. Husein Muhammad
Bukan hanya menyulut emosi para pemeluk agama lain, konten Zavilda TV juga membuat banyak umat muslim tidak nyaman. Memaksakan orang lain menutup aurat dan mengenakan jilbab membuat masalah ini penting untuk dibedah melalui perspektif ilmu agama. Apalagi, masih banyak yang menganggap konten Zavilda TV sebagai media dakwah dan masalah yang kini dihadapi olehnya sebagai ujian dari Allah.
Sebelum membahas isu ini dari perspektif agama, KH. Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein memulai pemaparannya dengan menjelaskan beberapa terminologi terkait isu yakni paksaan, jilbab, kerudung, dan juga aurat sebab menurut beliau isu semacam ini sudah berlangsung sejak lama dan kasus seperti Zavilda TV ini hanya salah satu contoh. Itu sebabnya, empat hal tersebut menjadi kunci untuk memahami persoalan terkait konten Zavilda TV.
Tanpa pengetahuan yang mendalam dan meluas, kebijaksanaan tidak akan diperoleh, yang ada hanya kemarahan”
KH. Husein Muhammad
Dua narasumber sebelumnya telah menyampaikan bahwa kalimat-kalimat yang digunakan Zavilda TV dalam kontennya merupakan bentuk kekerasan psikologis dan nonfisik. Meski disampaikan dengan lembut dibumbui ungkapan bernada keagamaan, ada intensi untuk merendahkan dan membuat dirinya menjadi lebih superior dibandingkan yang tidak berjilbab. Buya Husein pun mencoba meluruskan situasi ini dari perspektif agama.
Dijelaskan oleh Buya Husein, paksaan adalah mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu yang orang lain itu tidak ridha (rela) dan tidak diberi kesempatan untuk memilih. Bagi tim Zavilda TV, situasi ini mungkin dianggap tidak memaksa karena korban sudah setuju untuk diajak membuat konten dan bekerja sama. Apalagi, hal yang menjadi konten adalah mengajak pada kebaikan yakni menutup aurat bagi muslimah.
Namun, dalam Islam sendiri ada tata cara untuk mengajak orang lain dalam kebaikan. Buya Husein mengatakan bahwa untuk mengajak orang lain dalam kebaikan haruslah dilakukan dengan kebijaksanaan. Para ulama sendiri mendefinisikan kebijaksanaan sebagai pengetahuan yang mendalam, meluas, dan mendasar. Pada hakikatnya, sampaikan kebaikan tersebut dengan ilmu pengetahuan.
Poin kedua yang juga disampaikan oleh Buya Husein adalah tutur kata. Menyampaikan kebaikan memang dianjurkan, tetapi gunakanlah kalimat yang baik, tidak kasar, apalagi menyalahkan. Narasi dalam konten yang menakuti target akan murka Allah, mengatai sombong, dan semacamnya tentu tidak sejalan dengan pesan ini. Terakhir, Buya Husein menekankan bahwa dalam Islam itu tidak ada paksaan. Saat kita mengajak dalam kebaikan, tetap ada ruang untuk argumentasi.
Terkait dengan jilbab, Buya Husein menyampaikan bahwa masyarakat banyak yang belum bisa membedakan dengan jelas antara jilbab dan kerudung. Penafsiran perintah untuk berjilbab pun memiliki berbagai penafsiran dan pandangan dari para alim ulama. Jika ditilik dari sejarah, sebelum turun perintah berjilbab para perempuan di masa Rasulullah SAW sebetulnya sudah berkerudung. Hal ini terkait kondisi geografis tempat tinggal mereka di padang pasir. Jadi, apa pun agamanya, kerudung bukanlah hal baru di masa itu.
Jilbab justru hadir sebagai simbol kemerdekaan perempuan. Buya berkisah bahwa anak perempuan Rasul pernah diintai para pemuda karena dikira sebagai budak perempuan. Jadi, jilbab, yang secara terminologi berarti tambahan kain selendang di atas kerudung itu, justru sebagai simbol bagi perempuan yang merdeka di dalam Islam. Simbol ini sangat diperlukan dalam kondisi merajalelanya perbudakan di masa itu agar para perempuan tidak disakiti. Bisa disimpulkan bagaimana indahnya Islam menjaga kehormatan perempuan lewat jilbab.
Sejalan dengan Buya Husein, Ainun merasa bahwa banyak orang yang belum bisa membedakan antara jilbab dan kerudung. Perspektif ini harus jelas dulu agar bisa melihat persoalan Zavilda ini dengan lebih hati-hati dalam melabeli sesuatu yang berkaitan dengan agama dan simbolnya sebagai hal yang pasti baik.
Selain persoalan jilbab, batasan aurat pun memiliki berbagai pandangan. Ada yang mengatakan rambut terurai bukan aurat, setengah betis bukan aurat. Namun, ada pula yang menganggap bahwa batasan aurat perempuan hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangan. Pun para istri ulama masih ada yang tidak berkerudung. Hal tersebut bukan karena para ulama tidak mengerti, tetapi justru karena mereka memiliki pandangan yang mendalam dan luas terkait persoalan ini.
Berdasarkan pemaparan Buya Husein dapat terlihat bahwa konten Zavilda TV jelas tidak sejalan dengan esensi Islam itu sendiri. Memaksakan orang lain untuk berjilbab dan menutup aurat, apalagi dengan kalimat merendahkan harga diri orang lain, bukanlah cerminan Islam. Hendaknya, persoalan ini dipahami dengan ilmu baik dari sisi kreator konten maupun penonton agar tidak terjebak dalam kesalahan berbalut agama dan kata dakwah.
Buya Husein pun berpesan bahwa esensi utama dari Islam adalah menjaga kehormatan diri. Kita memang dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang dapat menghormati diri sendiri, tetapi bukan berarti setelah mengenakannya kita bisa berperilaku atau berkata tidak baik pada orang lain. Sebab, menjaga kehormatan diri bukan hanya dari pakaian, tetapi juga dari perilaku dan kata-kata baik kepada orang lain.
“Perempuan tanpa hijab yang menjaga lidahnya lebih utama di hadapan Allah dibanding yang puasa dan salat, tetapi di waktu yang sama menyakiti tetangganya dengan lidahnya.” (KH. Husein Muhammad)