Beberapa tahun yang lalu, saya bekerja di sebuah Universitas swasta di Jakarta, di mana saya mengalami pelecehan dari atasan saya. Saya menyampaikan kekhawatiran ini kepada HRD. Namun mereka bilang tidak dapat menindaklanjutinya, karena atasan saya dianggap sosok yang sangat berjasa bagi departemen dan tidak mungkin melakukan pelecehan. Pada akhirnya saya dijauhi, dan si pelaku tetap lolos hingga saat ini.
– LD, penyintas yang membagikan ceritanya di platform Never Okay Project (sumber: Petisi Lawan Predator di Dunia Kerja)
Seperti cerita LD, ketika terjadi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, sering kali pelaku yang berada di posisi lebih senior justru tidak mendapat sanksi apa-apa. Tidak jarang penyintas kekerasan dan pelecehan di dunia kerja kesulitan untuk mendapatkan keadilan.
Selain kasus di atas, ada sekian banyak kasus yang pada akhirnya menguap begitu saja. Bahkan, dari perusahaan terkadang tidak mau repot dengan menganggapkan bukan kewenangan perusahaan. Sepertihalnya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang terjadi di Kawan Lama Group yang terjadi belum lama ini. Singkatnya, foto korban diambil diam-diam lalu dijadikan bahan candaan seksis di grup pesan. Kasus ini viral setelah dijadikan utas di salah satu platform media sosial oleh suami korban yang begitu geram.
Menanggapi kasus tersebut, perusahaan pun mengeluarkan pernyataan setelah melakukan pendalaman kasus. Sayangnya, berdasarkan pendalaman dinyatakan bahwa kasus tersebut berada di luar kewenangan perusahaan sebab dilakukan di grup pertemanan pribadi. Padahal, menurut utas yang viral, foto tersebut diambil saat korban sedang bersiap untuk melakukan foto katalog produk kantor.
Lalu, di mana peran UU TPKS dalam kasus ini? Benarkah pelecehan tersebut di luar kewenangan kantor karena dilakukan di grup pesan pertemanan pribadi?
Gunung Es Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja
Kasus yang dialami korban di Kawan Lama Group tersebut hanya salah satu contoh dari maraknya kekerasan seksual di dunia kerja. Menurut survei yang dilakukan Never Okay Project pada 2018, 96% responden perempuan dan 77% responden laki-laki mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Tidak sampai di situ, kondisi pandemi yang menyebabkan sebagian besar perusahaan menerapkan sistem bekerja dari rumah atau Work From Home-pun (WFH) tidak menjamin pekerja aman dari risiko pelecehan dan kekerasan seksual. Survei yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Never Okay Project menemukan fakta bahwa 78% korban pelecehan seksual saat WFH dilakukan melalui dua hingga tujuh platform teknologi komunikasi. Mirisnya, hal tersebut terjadi hanya dalam jangka waktu satu bulan WFH.
Sayangnya, angka pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kerja yang tinggi tersebut tidak direspons dengan penanganan yang mulus. Bahkan, sebagian besar pekerja memilih untuk tidak melaporkan pelecehan dan/atau kekerasan seksual yang mereka alami kepada pihak personalia.
Tiga alasan utama yang menyebabkan korban enggan melapor adalah anggapan tidak akan ada tindak lanjut dari perusahaan, takut disalahkan, hingga kekhawatiran akan terpengaruhnya karir.
Berdasarkan tiga alasan tersebut terlihat bahwa relasi kuasa–antara pekerja dan pemberi kerja–masih memegang peran utama terjadinya kekerasan seksual, termasuk di dunia kerja. Kebanyakan korban pelecehan seksual berada dalam posisi rentan seperti perempuan, tenaga kontrak, pekerja disabilitas, ataupun karyawan magang. Meski begitu, laki-laki dan staf pun tetap berpotensi menjadi korban. Itu sebabnya kondisi ini bukanlah hal yang bisa dianggap remeh sebab berisiko buruk bagi keselamatan fisik dan mental para pekerja.
Perempuan Berkisah sendiri melalui informed consent telah mendampingi para korban KBG dunia kerja di Ruang Aman PB. Ada korban yang dilecehkan oleh atasan sehingga kesulitan untuk melapor. Ada pula korban yang dilecehkan rekan sebaya atau menjadi korban candaan seksis rekan kerja yang lebih tua. Masalahnya, banyak pelaku merasa hal pelecehan dan kekerasan seksual tersebut hanyalah candaan.
Itu sebabnya, kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang viral seperti contoh di atas hanyalah permukaan gunung es semata. Banyak kasus lain yang terjadi tetapi tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak jarang korban memilih untuk bungkam dan menahan trauma demi bisa tetap bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, mau sampai kapan pekerja di Indonesia dibiarkan ketakutan dengan ancaman kekerasan berbasis gender?
Mengapa Perlu Ratifikasi KILO 190 saat Indonesia Sudah Punya UU TPKS?
Konvensi International Labor Organization (KILO) 190 adalah perjanjian internasional pertama yang mengakui hak setiap orang pada dunia kerja bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual. KILO 190 ini berjudul “Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja”. Meski lahirnya konvensi ini didukung oleh banyak negara, termasuk Indonesia, masih belum tampak keseriusan negara untuk meratifikasinya.
Ada banyak anggapan bahwa Indonesia tidak lagi membutuhkan ratifikasi KILO 190 karena telah memiliki UU TPKS. Namun, hal tersebut kurang tepat. KILO 190 justru dapat melengkapi UU TPKS yang fokus pada tindak kekerasan seksual. KILO 190 secara spesifik dan komprehensif mengatur mengenai pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kerja.
KILO 190 memastikan adanya perlindungan bagi para pekerja apa pun statusnya, kapan pun, dan di mana pun risiko yang timbul dari pekerjaan. Ruang lingkup ILO 190 tidak terbatas pada pekerja kantoran, tetapi mencakup semua lini pekerjaan formal maupun informal seperti karyawan kontrak, wirausaha, pensiunan, dan masih banyak lagi.
Begitu pula jika pelecehan atau kekerasan seksual terjadi di luar kantor atau jam kerja. Ratifikasi ILO 190 akan membuat perusahaan tidak melepas tanggung jawab. Negara akan memiliki wewenang untuk terlibat dan mendorong terciptanya ruang aman di perusahaan. Itulah alasan pentingnya ratifikasi konvensi ini.
Pada dasarnya, Konvensi ILO 190 ini mengatur pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup yang sangat luas yakni dunia kerja. Setiap manusia pada akhirnya akan masuk ke dunia kerja sekali pun itu berwirausaha dan bukan sebagai karyawan. Itu sebabnya, rasa aman di dunia kerja menjadi hal yang sangat esensial. Risiko menjadi korban kekerasan seksual di dunia kerja dimiliki setiap orang apa pun status dan jabatannya. KILO 190 memiliki rekomendasi yang komprehensif terkait hal ini, termasuk perlindungan dari perundungan dan pelecehan yang belum spesifik di UU TPKS. Karena itu, ratifikasi atas konvensi ini tetap dibutuhkan meski kita telah memiliki UU TPKS.
Gerak Bersama Lawan Predator Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja!
Dalam rangka mewujudkan dunia kerja yang aman dan nyaman dari risiko kekerasan serta pelecehan seksual, kita perlu untuk melakukan gerakan nyata. Meningkatkan kesadaran masyarakat lewat media sosial seperti memviralkan kasus memang bisa berdampak. Namun, risiko yang akan diterima korban dari viralnya kasus tersebut juga tidak kecil. Secara etika, kita juga dilarang untuk memviralkan kasus tanpa persetujuan dan pemahaman akan mitigasi risikonya. Jadi, mari lakukan perubahan lewat gerak nyata mendorong ratifikasi KILO 190!
Mengingat pentingnya Ratifikasi Konvensi ILO 190 ini dilakukan oleh Indonesia, mari gerak bersama dan buat perubahan dengan berpartisipasi dalam petisi “Lawan Predator Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja”. Cukup luangkan satu menit untuk menandatangani petisi di change.org/lawanpredatorduniakerja kita bisa mendorong terjadinya perubahan dan demi terciptanya ruang aman di dunia kerja.
Selain menandatangani petisi “Lawan Predator Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja”, kita juga bisa membantu untuk memutus mata rantai pelecehan dan kekerasan seksual dengan mengisi survei “Kekerasan di Dunia Kerja” melalui tautan bit.ly/surveikekerasandiduniakerja. Lima menit partisipasimu akan membantu untuk memetakan kekerasan yang terjadi di dunia kerja yang diharapkan dapat menciptakan ruang aman bagi seluruh pekerja.