Kesetaraan gender adalah salah satu dari tujuh belas poin dalam Sustainable Development Goals (SDG) yang terkandung dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Agenda tersebut telah disepakati dalam pertemuan puncak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 25-27 November 2015. Indonesia adalah salah satu dari 193 negara yang turut serta mensukseskan seluruh agenda SDG secara aktif. Dari total 17 poin SDG dengan total 169 target di dalamnya, ada 16 poin dengan 91 target yang terkait dengan kesetaraan gender serta hak asasi perempuan dan anak perempuan dengan prinsip, “No One Left Behind”. Sehingga idealnya seluruh kelompok masyarakat termasuk kaum rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang difabel, hingga lansia pun dapat terlibat aktif dalam proses pembangunan dan merasakan hasilnya.
Namun pada kenyataannya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Ibu Pertiwi yang baru saja merayakan hari kemerdekaannya. Ragam kasus pelecehan dan kekerasan seksual adalah bukti nyata betapa rentannya kita, perempuan Indonesia, untuk hidup merdeka di negeri sendiri. Secara global, berdasarkan data United Nations for Women, satu dari tiga perempuan di dunia pernah menjadi korban kekerasan fisik atau kekerasan seksual dalam hidupnya. Sedangkan di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap dua jam sekali, dua dari tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Bayangkan saja dua jam seusai membaca artikel ini, siapa lagi perempuan-perempuan di luar sana yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual? Sebagai catatan, data tersebut berlandaskan pada kasus-kasus yang telah terlapor. Bagaimana kondisi faktualnya? Bisa jadi jauh lebih memprihatinkan dan menyayat hati.
Memprihatinkannya lagi, kebanyakan dari mereka, korban pelecehan dan kekerasan seksual, justru lebih memilih untuk diam daripada menceritakan kejadian tersebut dan bergerak mencari ruang aman. Alasannya mereka merasa malu dan merasa bahwa keberaniannya untuk bercerita serta mencari bantuan akan berbuah sia-sia. Mereka juga sangat cemas akan penghakiman orang-orang di sekelilingnya. Alih-alih mendapatkan dukungan psikososial, justru mereka dianggap tengah membual, dilihat sebagai sosok si paling membesar-besarkan masalah, hingga dinilai tidak mampu menjaga diri dengan baik.
Lantas, apa yang harus diperhatikan saat ada orang yang menceritakan kejadian penuh pilu tersebut? Setidaknya ada tujuh reaksi yang sangat dilarang untuk diungkapkan kepada korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual.
“Kok Bisa, Sih?! Emangnya Kamu Ngapain?”
Demi Tuhan! Apa yang ada di pikiranmu saat memberikan tanggapan tanpa empati seperti ini kepada perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual? Aku sangat berharap kamu membaca berita perihal seorang ibu yang baru saja berhasil berjuang melahirkan darah dagingnya, kemudian menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit umum di Jawa Barat. Saat sedang menemani bayinya yang lahir dalam keadaan prematur, sang ibu harus mendapatkan tindak pelecehan seksual dari salah satu perawat laki-laki yang bertugas di pagi itu. Pasca peristiwa itu, korban mengalami trauma hingga merasa cemas jika harus sendirian berada di suatu ruangan. Apakah menurutmu korban secara sengaja memancing hasrat pelaku sampai pelaku tidak bisa mengontrol hawa nafsunya sehingga tindak pelecehan tersebut terjadi? Maksudku, korban adalah seorang ibu yang baru saja melahirkan, lho!
“Kamu pakai baju apa waktu itu? Bajunya kurang tertutup, ya?”
Aku sangat berharap kamu tidak mengabaikan kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang sedang khusyuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah di suatu masjid yang terletak di Sulawesi Selatan dua bulan lalu. Terlebih lagi, berdasarkan keterangan dari kantor polisi setempat, sebenarnya insiden pelecehan tersebut sudah berkali-kali terjadi. Namun hanya ada dua orang korban yang melaporkannya kepada pihak berwajib. Tidak hanya itu, insiden serupa juga harus dialami oleh anak perempuan yang tengah menjalani ibadah sholat dalam suatu masjid yang berlokasi di Bangka Belitung. Apakah menurutmu para korban menggunakan pakaian yang mengumbar hampir seluruh lekuk tubuhnya saat menghadap Tuhan untuk beribadah di rumahNya? Menurutmu, penggunaan mukena itu kurang rapat, ya?
“Kok kamu diam aja? Nggak berusaha ngelawan atau ngapain gitu?”
Baca ini baik-baik, ya. Di awal tahun 2022, ada seorang anak perempuan yang dipaksa untuk membuka pakaiannya dan melayani hasrat laki-laki bejat di dalam toilet masjid yang berlokasi di Jawa Barat. Awal mulanya, korban tengah asyik bermain petak umpet di area masjid. Lalu pelaku mengajak korban untuk bersembunyi di toilet masjid dengan alasan agar tidak mudah tertangkap teman-temannya. Nenek dari pihak korban menuturkan bahwa kejadian yang menimpa cucunya ini sebenarnya sudah terjadi sebanyak empat kali! Korban sudah berusaha menolak dan berkata tidak mau melakukannya. Namun pelaku terus memanfaatkan kepolosan dan ketakutan korban sembari melanjutkan aksi bejatnya tanpa ampun.
Atau jangan-jangan, kamu sudah lupa dengan kasus pelecehan di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pengemudi taksi online, ya? Tanpa persetujuan korban, pengemudi biadab itu memegang tangan korban, meraba-raba bagian paha korban, juga melakukan tindak pelecehan verbal terhadap korban. Korban terus berusaha menepis tangan pelaku dan berkata “jangan”. Namun menurutmu, apakah tindakan korban itu sukses menghentikan aksi bejat pelaku? Tentu saja tidak.
“Kamu ngelawannya kurang mantep. Teriak kek, ngapain kek. Kalau gitu doang mah, ya pantesan aja”.
Baik, ini masih ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya, ya. Bayangkan kamu tengah terjepit dalam posisi itu. Kamu berada di dalam toilet masjid bersama pelaku yang jauh dari keramaian, atau kamu tengah menggunakan jasa pelaku saat hendak bepergian ke suatu tempat menggunakan kendaraan pelaku. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu bisa dengan segera menerapkan teknik perlawanan yang tutorial-nya mudah ditemukan di Youtube?
Barangkali kamu belum tahu bahwa ada yang namanya tonic immobility, sini aku bantu jelaskan. Secara sederhana, tonic immobility adalah reaksi shock yang dialami korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual sehingga tidak bisa bergerak melakukan apapun. Kondisi korban yang bergeming muncul atas dasar respon alam bawah sadar dari ketakutan ekstrim yang menyelimutinya saat itu. Jangankan menendang atau memukul pelaku, membuka mulut untuk sekadar berkata “hentikan” saja tidak bisa. Sayangnya, kondisi tersebut justru dimanfaatkan pelaku untuk berlaku semakin biadab dan semena-mena. Naasnya lagi, masih ada sebagian masyarakat yang memandang hal ini sebagai pertanda korban menyerahkan dirinya secara sukarela, hingga menganggap korban menikmati perlakuan pelaku hingga klimaks.
“Lagian perginya malem-malem. Nyari perkara aja, sih”.
Apakah semua korban mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di malam hari saat bepergian ke suatu tempat? Aku harap, kamu baca baik-baik paparan singkat empat kasus yang aku harap bisa membuatmu berpikir kembali. Kasus pertama, di tahun 2015, seorang siswi SMA di Jambi nyaris diperkosa oleh seorang pria saat berangkat ke sekolah. Masih di lokasi yang sama, empat tahun kemudian, tepatnya Februari 2019, seorang siswi SMP yang hendak berangkat ke sekolah pukul delapan pagi, diperkosa oleh pelaku yang sampai saat ini belum diketahui identitasnya
Masih kurang? Pada awal tahun 2021 silam, seorang siswi SMP di Jawa Tengah yang bermaksud mengembalikan buku rapornya ke sekolah, harus mengalami peristiwa naas yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Korban diperkosa secara bergilir oleh enam pemuda biadab, di mana salah satu pelakunya adalah kekasih korban sendiri. Kasus serupa kembali terjadi di bulan Juni 2022. Korban adalah seorang pelajar SMP di Sumatera Utara yang pamit pergi berangkat sekolah. Namun sayangnya harus kembali pulang dalam keadaan tak bernyawa dengan kondisi fisik yang sangat mengenaskan. Bagaimana menurutmu?
“Jangan mengada-ada, deh. Dia kan orang baik-baik…”
Sekarang aku tanyakan kembali padamu, apa alasan kamu mengatakan bahwa pelaku adalah orang baik-baik? Apa karena ketampanannya? Jabatan yang sedang diembannya? Atau status sosialnya? Maret 2022, seorang guru di Jawa Tengah tega memperkosa tujuh muridnya yang masih di bawah umur di rentang tahun 2013 hingga 2021. Para korban saat itu tidak berani melaporkan aksi biadab tersebut karena pelaku mengancam akan memberikan nilai jelek. Atau kasus viral satu ini, perihal seorang guru pesantren yang dengan teganya memperkosa dua belas santriwati hingga beberapa korbannya hamil dan melahirkan.
Masih butuh fakta yang lebih menyayat hati? Seorang ayah tega memperkosa anak kandungnya sendiri yang masih di bawah umur berkali-kali. Pelaku mengancam korban dengan mengacung-acungkan senjata tajam dan melakukan aksi bejatnya di kamar. Saat itu, sang ibu tengah pergi ke warung dan adik korban sedang bermain dengan temannya. Pelaku mengaku ketagihan dan baru timbul penyesalan saat telah berhasil diringkus oleh pihak kepolisian. Seorang ayah, yang merupakan cinta pertama anak perempuannya, justru menjadi makhluk tak bermoral yang sukses menorehkan trauma terbesar dalam hidup anaknya.
“Yang jadi korban nggak cuma kamu aja. Tapi mereka bisa tetap melanjutkan hidup, tuh. Maafkanlah, namanya juga khilaf”.
Excuse you, Sir? Aku paham, sangat paham bahwa yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelecehan seksual tidak hanya satu-dua saja. Tapi menurutmu apakah reaksi seperti ini yang diharapkan oleh para korban? Pertama, kamu tahu dari mana bahwa mereka, para korban kekerasan seksual dan pelecehan seksual, telah berhasil melupakan kejadian yang menimpanya di masa lalu dan melanjutkan hidupnya dengan baik? Apa karena kamu melihat korban tetap tersenyum dan bertingkah laku seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Apa karena kamu melihat akun media sosial korban yang tetap penuh dengan posting-an jalan-jalan seru dan makanan enak? Apa karena kamu tidak pernah melihat korban menangis dalam hening di balik bilik kamar mandi atau di dalam kamarnya saat seluruh orang tengah bermimpi indah di malam hari?
Selanjutnya, apa definisi “khilaf” menurutmu? Apakah tindakan pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang dialami korban termasuk dalam kategori “khilaf”? Lantas, bagaimana dengan contoh kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang dilakukan lebih dari sekali oleh pelaku terhadap korban? Apakah masih bisa dikategorikan ke dalam “tindakan khilaf”?
Yang paling penting, mengapa harus mereka, para korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual, yang dituntut harus bisa memaafkan pelaku dengan lapang dada kemudian harus bisa kembali melanjutkan hidup? Bukankah reaksi demikian sama saja dengan membungkam korban secara halus?
Sebenarnya masih banyak contoh respon yang sangat dilarang untuk diungkapkan kepada korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Misalnya, “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”, atau, “Tapi ujung-ujungnya kamu menikmatinya, kan?”, hingga, “Udah tahu laki-laki itu kayak kucing. Siapa juga yang nggak kepengen kalo dipancing pakai ikan asin?”. Yang lebih memprihatinkannya lagi, reaksi-reaksi yang tidak berlandaskan rasa empati tersebut tak jarang diungkapkan oleh sesama perempuan.
Lebih Baik, Validasi dan Kuatkan Korban
Ketika ada perempuan yang menceritakan kisah pilunya kepadamu, aku harap dengan sangat untuk mengapresiasi keberanian dan kekuatannya untuk tetap bergerak menjalani hidup hingga detik itu. Berikanlah kata-kata hangat seperti, “Itu semua bukan salahmu, karena kamu tidak menghendakinya, bukan?”, atau, “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi kamu. Pasti berat sekali melaluinya”. Tanyakanlah baik-baik apa yang korban butuhkan, kemudian hubungkanlah korban dengan lembaga-lembaga terpercaya yang mampu memenuhi kebutuhan korban dengan baik dan benar. Yakinkanlah bahwa korban tidak sedang berjuang seorang diri. Yakinkan pula bahwa apapun yang terjadi di masa lalu, tidak serta-merta mendefinisikan siapa korban seutuhnya. Mereka, kita, tetap berhak mendapatkan cinta yang sehat, pulih dan bertumbuh secara sehat, dan menjadi perempuan berdaya di lingkungan yang sehat.