Konseling: Bukan Sekadar Ruang Membuang ‘Sampah’ Masalah

Konseling: Bukan Sekadar Ruang Membuang ‘Sampah’ Masalah

Siapa sih yang tidak tahu istilah curhat atau singkatan dari curahan hati?  Momen di mana kita bisa mengungkapkan apapun kepada seseorang yang kita anggap dapat dipercaya. Dipercaya bukan berarti orang tersebut akrab atau bahkan memiliki relasi yang cukup dekat. Karena banyak juga mereka yang curhat pada seseorang yang baru mereka kenal, atau bahkan belum mereka kenal. Misalnya melalui akun media sosial, tiba-tiba curhat dan bahkan menunjukkan bukti-buktinya secara jelas. 

Pengalaman sebagai salah satu akun yang dipercaya untuk menjadi tempat curhat, juga dialami oleh Komunitas Perempuan Berkisah melalui akun instagram @perempuanberkisah. Bahkan banyak sekali yang mengirimkan kisahnya melalui DM, padahal jelas, untuk mengirimkan kisah maupun konseling online, semuanya ada prosedurnya. Tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah mengisi informed consent, yaitu sebuah online form yang disediakan bagi sender (orang yang mengirimkan kisah) maupun konseli (korban atau penyintas yang ingin melakukan konseling online), atau korban yang membutuhkan pendampingan secara langsung. 

Pentingnya SOP Ruang Aman Berbasis Komunitas

Kami memang tidak menerima kisah melalui DM atau platform lainnya secara tiba-tiba tanpa mengisi informed consent terlebih dahulu. Sejak mulai membuka Ruang Aman untuk konseling online, kami banyak belajar dan berusaha untuk tidak terjebak menjadi ruang untuk sekadar curhat, namun sebagai ruang konseling. Sehingga untuk menjaga kepercayaan konseli dan masyarakat secara umum, kami secara bertahap mulai menyusun prosedur operasional standar (SOP) sederhana di Ruang Aman kami. 

Untuk konselor, psikolog dan pendamping, kami juga memiliki kurikulum dan modul khusus untuk menguatkan kapasitas mereka sebelum menghadapi konseli di Ruang Aman. Termasuk bagaimana memahami bahwa Ruang Aman kami bukan sekadar ruang curhat, namun ruang konseling. Baik konseli maupun konselor, keduanya memahami ini sejak awal. Termasuk bagaimana keduanya membangun rapport, sehingga terjalin kedekatan dan kepercayaan sejak awal, serta komitmen untuk bertumbuh. Di antaranya mulai dari proses pembongkaran luka batin, memetakan kebutuhan, kapasitas, sumber daya, menyepakati langkah berikutnya hingga mitigasi risiko. 

Bukan Sekadar Ruang Membuang Sampah Masalah, lalu Pergi Tanpa Kabar. 

Banyak yang mengira ruang konseling sama dengan ruang curhat semata. Hal ini membuat banyak korban enggan mencari pertolongan profesional dan memilih untuk curhat dengan teman terdekat atau bahkan media sosial. Sayangnya, hal tersebut berpotensi menimbulkan trauma kepada korban. Sebab, tidak banyak pihak yang memiliki keberpihakan pada korban, terutama korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Hal ini membuat korban rentan menjadi korban berulang dan proses pulih pun semakin jauh dari harapan. 

Mirisnya, tindakan victim blaming ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam. Oknum pendamping korban di berbagai pengada layanan juga masih ada yang melakukan hal tersebut. Padahal, ruang konseling seharusnya menjadi ruang berproses untuk mendorong kesadaran kritis transformatif korban. Korban bukan sekadar curhat atau meminta nasihat, tetapi diajak untuk berproses sebagai penyintas. Itu sebabnya Perempuan Berkisah hadir dengan konseling berbasis etika feminisme untuk mengakomodir kebutuhan tersebut.

Bahkan ketika konseli akan menghentikan proses konseling sampai berapa sesi, sepenuhnya keputusan ada di tangan konseli namun tetap sama-sama memahami etikanya. Konseli tidak pergi begitu saja tanpa kabar. Begitu pun bagi konseli yang ingin melanjutkan konseling sampai bertahun-tahun misalnya, kami tidak membatasi atau memaksa konseli untuk menghentikan proses konselingnya hanya karena belum pulih. Pengalaman kami, kami tetap mendampingi konseli, bahkan ketika setahun lebih dia baru mengungkapkan bahwa dirinya sudah mulai pulih. 

Proses konseling bisa saja dihentikan oleh konselor, namun tidak dilakukan sepihak. Proses berhenti atau tidak, tetap didiskusikan bersama konseli dengan sekian alasan yang menguatkan. Misalnya, karena konselor merasa tidak memiliki kapasitas atau energi untuk menghandle konseli karena sekian pelanggaran etika dan komitmen bersama, maka konselor bisa menyatakan diri mundur dengan alasan yang menguatkan dan dapat dipahami bersama. 

Tidak Tiba-tiba Mengungkap Masalahnya

Dalam pelaksanaan pendampingan sendiri, ada tahapan yang mesti dilaksanakan oleh konselor atau pendamping. Mendengarkan curhat dari korban hanyalah salah satu dari sekian tahapan yang perlu dilakukan konselor untuk membangun kesadaran kritis transformatif korban agar berdaya sebagai penyintas. Tahapan tersebut dimulai dari membangun hubungan antara konselor dan penyintas, tahapan mendengarkan dan eksplorasi masalah, dan tentu saja tahap penyelesaian masalah. 

Dalam pendampingan korban KBG, tahap membangun hubungan sangatlah penting sebab kepercayaan korban kepada konselor dibangun di tahap ini. Konselor harus bisa membuat korban merasa aman untuk berbagi cerita dan tahu bahwa privasinya terjaga. Sebab, masih banyak korban yang merasa berat untuk jujur mengenai masalahnya, bahkan kepada pendamping. Itulah pentingnya tahapan membangun hubungan sebelum masuk dalam sesi curhat atau mendengarkan. 

Setelah hubungan terbangun, sesi konseling memasuki tahapan kedua yakni mendengarkan disertai eksplorasi masalah. Sesi ini bukan sekadar sesi curhat karena konselor perlu memiliki empati dan penerimaan pada situasi korban.  Secara konkret, empati dapat ditunjukkan lewat kalimat reflektif dari pendamping atas perasaan korban. Penting untuk diingat bahwa kalimat reflektif tersebut hendaknya diselaraskan dengan ekspresi dan intonasi yang sesuai. Sementara itu, perasaan menerima dibutuhkan agar korban tidak lagi dihakimi atau disalahkan, terutama oleh pendamping itu sendiri. Pahami juga bahwa setiap individu itu berbeda sekali pun kasusnya sama. Lakukan refleksi dan klarifikasi saat mendengarkan keterangan korban untuk memastikan tidak ada kekeliruan. Setelah mendengarkan, konselor perlu ingat untuk tidak memberikan saran tanpa diminta. 

Konseling Berbasis Etika Feminisme

Berdasarkan pengalaman dalam mendampingi korban kekerasan berbasis gender, Perempuan Berkisah masih kerap menemukan praktik penanganan kasus yang tidak berpihak kepada korban di berbagai lini. Hal ini berpotensi memicu trauma karena korban kembali disalahkan. Pada akhirnya, proses korban untuk pulih dan berdaya pun menjadi terhambat. Bahkan lebih buruk, banyak korban enggan mencari pertolongan karena risiko menjadi korban berulang jauh lebih besar dibandingkan pemulihan. Itu sebabnya, pendekatan feminis menjadi acuan karena selain mampu menciptakan ruang konseling yang nyaman model pendekatan ini bertujuan untuk mendorong kesadaran kritis transformatif korban. Korban akan diajak untuk berdaya dan bertransformasi sebagai manusia baru yang kita sebut penyintas. Aliran kekuatan feminis konselor kepada korban mempengaruhi korban untuk bertransformasi, mengubah falsafah hidup, perspektif, dan pola pikirnya.

Tujuan dari konseling berbasis etika feminis adalah mendorong korban terbangun kesadaran kritis transformatifnya. Korban diajak untuk menganalisis situasi serta mencari penyelesaian masalah terbaik untuk dirinya sehingga peran konselor adalah fasilitator untuk mencapai hal tersebut. Jika konseli menjadi ketergantungan kepada konselor atau pendamping, transformasi belum terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa pendampingan beretika feminis belum diterapkan sebagaimana mestinya. Itulah inti dari tahapan penyelesaian masalah dalam sesi konseling berbasis etika feminisme.

Baca pembelajaran tentang konseling berbasis etika feminisme selengkapnya di sini.

Dukungan dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)

Dalam melakukan kerja-kerja sosial berbasis volunteerism untuk menguatkan para penyintas kekerasan berbasis gender (KBG), Komunitas Perempuan Berkisah bukan hanya didukung para relawan (volunteer) konselor, psikolog, maupun pendamping korban di beragam daerah, namun juga dari organisasi sosial seperti Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui program Pundi Perempuan. Program ini memberikan dana hibah senilai 20 juta kepada lembaga maupun komunitas, terutama yang memberikan layanan pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG). Dana Hibah sepenuhnya dimanfaatkan untuk pendampingan dan konseling perempuan dan anak korban/penyintas KBG. Tahun 2022 ini, Komunitas Perempuan Berkisah mendapat kesempatan sebagai salah satu penerima Dana Hibah untuk program selama Februari-Juli 2022. Selama 6 bulan ini, Komunitas Perempuan Berkisah melalui Ruang Aman konseling online telah melakukan pendampingan 112 konseli (korban/penyintas KBG0), jumlah ini kini mencapai 120 konseli per Agustus 2022 sejak tulisan ini dibuat. 

Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) didirikan pada tahun 1995 di masa tahun-tahun terakhir rezim otoriter Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu gerakan pro-demokrasi mulai berkembang. Saat IKa didirikan, perannya ditujukan untuk mendukung gerakan pro-demokrasi melalui hibah kecil/mikro dari organisasi donor internasional yang berbasis di Eropa (kebanyakan Belanda dan Belgia). Pendirinya adalah empat aktivis masyarakat sipil yang pada saat itu aktif dalam memajukan hak-hak buruh, hak-hak konsumen, hak asasi manusia dan pengembangan organisasi masyarakat sipil. 

Komunitas Perempuan Berkisah adalah komunitas di bawah naungan Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya), sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya juga merupakan transformasi dari Komunitas Perempuan Berkisah yang telah sah secara hukum menjadi sebuah Yayasan sejak per 10 Mei 2022.