Malam ini apakah dari tim pendamping korban Perempuan Berkisah ada yang bersedia mendampingi korban KDRT? Posisinya di Bandung dan saat ini juga membutuhkan pendamping, karena di Rumah Aman full saat pandemi ini.
(Pendamping korban dari lembaga mitra Perempuan Berkisah di Kota Bandung, Jawa Barat)
Kebutuhan pendampingan korban secara langsung selalu terjadi secara tiba-tiba, kadang tidak peduli terjadi di akhir pekan atau hari kerja. Namun, kerja-kerja sosial pendampingan korban memang tidak mengenal waktu. Begitu pun yang dialami oleh Komunitas Perempuan Berkisah (PB) di Ruang Aman PB. Tidak jarang, di hari libur dan senja hari kami mendapat informasi bahwa ada korban yang butuh pendampingan saat itu juga.
Termasuk korban yang pernah kami dampingi pada Sabtu-Kamis (1-5 Mei 2022) bersama salah satu lembaga mitra di Bandung. Saat itu ada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mendapat kekerasan fisik, verbal hingga seksual. Karena tidak ada Rumah Aman yang menampung, hari itu akhirnya dia dan anaknya yang masih balita harus tinggal di hotel untuk menghindari pelaku. Hari itu juga, tim advokasi dari Komunitas Perempuan Berkisah di Bandung pun segera mendampingi korban yang sudah ada di hotel.
Saat itu, korban dalam kondisi tertekan dan tidak menyiapkan bekal makanan yang cukup, bahkan termasuk kondisi handphone (Hp) yang sudah hampir mati karena charger Hp tidak sempat terbawa. Malam itu juga, tim pendamping dari PB mulai menemani korban bersama anak balitanya. Sayangnya, pada malam hari situasi semakin menegangkan karena pelaku (suami korban) mengetahui hotel tempat korban mengamankan dirinya. Pelaku memaksa masuk. Ketegangan berakhir ketika korban akhirnya menemui pelaku di lobi hotel. Malam itu, dengan kesepakatan dari keduanya, pelaku meninggalkan korban dan akan menyelesaikan persoalan mereka di hari berikutnya. Sementara pendamping dari PB turut menginap mendampingi korban hingga hari berikutnya.
Tidak Semua Pengada Layanan Bergerak Cepat Mendampingi Korban Saat Itu Juga
Di luar proses pendampingan secara langsung, tim perempuan berkisah di grup WA terus berkoordinasi sejak awal bersama lembaga mitra yang mengakses PB untuk berbagi peran melakukan pendampingan korban. Bagi lembaga pengada layanan tertentu, pada umumnya ada hari libur dimana para stafnya tidak memungkinkan untuk turun tangan langsung mendampingi korban saat itu juga. Begitupun ketika kami ingin merujuk korban dan membutuhkan bantuan P2TP2A setempat, kondisi hari libur tidak memungkinkan mereka bergerak cepat.
Sehingga peran Ruang Aman berbasis komunitas memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam pendampingan korban. Begitupun yang dialami oleh Tim Pendamping Komunitas PB. Secara kebetulan Komunitas PB tersebar di Tujuh (7) Wilayah di Indonesia, sehingga ada saja tim pendamping korban yang siap sedia mendampingi korban untuk kebutuhan darurat.
Berbagi Peran Bersama Penyedia Layanan Lain
Dalam pelaksanaanya, tentunya kami membutuhkan kolaborasi dengan pengada layanan lain. Misalnya, ketika PB hanya mampu membiayai kebutuhan transportasi dan komunikasi pendamping dan korban, maka lembaga pengada layanan lainnya berkontribusi untuk akomodasi pendamping dan korban. Begitu pun ketika tim Pendamping PB hanya mampu memberikan konseling kepada korban, penyedia layanan lain menanggung biaya kebutuhan korban lainnya. Tidak jarang, tim pendamping PB juga harus menanggung semua biaya transportasi, konsumsi, komunikasi, serta pengobatan, sementara lembaga penyedia layanan lainnya menyediakan akomodasi berupa ruang kantornya untuk tidur korban malam itu.
Di sini kami berbagi peran dalam proses pendampingan. Konselor atau pendamping korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) harus memahami batasan diri dan menjalin relasi dengan pengada layanan lain. Hal tersebut penting, sebab penanganan kasus KBG membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak sesuai dengan kebutuhan korban. Misalnya, korban KDRT kemungkinan membutuhkan layanan medis serta bukti visum saat akan melaporkan kasusnya. Lain halnya dengan kasus pelecehan seksual pada anak di bawah umur yang mungkin membutuhkan campur tangan psikolog klinis anak. Tentu saja semua hal tersebut mustahil dilakukan seorang diri oleh konselor atau pendamping.
Memetakan Kebutuhan Korban Bersama Pengada Layanan Lain
Itu sebabnya, dalam proses pendampingan korban KBG pendamping harus mampu memetakan kebutuhan korban dan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Empat kerja sama paling penting di antaranya adalah kerja sama dengan layanan kesehatan, layanan psikologis, layanan hukum, dan penyedia rumah aman. Kolaborasi tersebut bisa lebih luas dan beragam lagi tergantung kebutuhan korban. Namun, empat layanan tersebut menjadi standar minimum yang harus dipahami konselor.
Kolaborasi dengan layanan kesehatan memungkinkan korban mendapat pertolongan pertama pada cidera fisik yang bisa saja dialami dalam kasus KBG. Apalagi jika cidera fisik yang dialami tergolong berat, korban tentu membutuhkan perawatan medis yang belum tentu bisa ditangani dengan P3K. Selain itu, layanan medis memungkinkan korban melakukan visum yang akan bermanfaat untuk melanjutkan kasus ke ranah hukum.
Dukungan dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)
Selain kolaborasi dengan layanan kesehatan, penting bagi pendamping untuk berkolaborasi dengan layanan bantuan psikologis. Meski para konselor dan pendamping korban KBG di Ruang Aman PB telah memiliki keterampilan Psychological First Aid (PFA), bisa jadi korban membutuhkan penangan psikologis lebih lanjut. Sebab, PFA sendiri tidak dapat menjadi pengganti sesi terapi atau konseling psikologis pada masalah kesehatan mental.
Jika korban memilih untuk melanjutkan kasus ke ranah hukum, tentu korban membutuhkan pendampingan hukum yang memadai. Dalam hal ini, konselor dapat merujuk korban kepada layanan pengacara publik atau advokasi terkait kasus KBG yang ia alami. Penting bagi konselor untuk merujuk korban pada pendamping hukum yang memiliki perspektif kebutuhan korban. Sebab, membawa kasus KB ke ranah hukum merupakan proses yang tidak mudah bagi korban. Jika kita tidak memiliki kerja sama dan komunikasi yang baik, korban rentan mengalami kekerasan berulang oleh oknum pendamping atau penegak hukum.
Dalam beberapa kasus, korban yang berada dalam kondisi terancam bisa saja membutuhkan rumah aman untuk sementara. Belum lagi biaya akomodasi lain selama korban berada di rumah aman yang tentu membutuhkan uang dalam jumlah banyak. Tentu hal ini akan menyulitkan pendamping jika tidak memiliki kerja sama dengan lembaga pengada layanan lain. Dengan bekerja sama, konselor atau pendamping akan memiliki jaringan yang lebih luas, kemudahan akses, bahkan bisa saja bantuan dana untuk menyediakan rumah aman.
Dukungan dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)
Dalam melakukan kerja-kerja sosial berbasis volunteerism untuk menguatkan para penyintas kekerasan berbasis gender (KBG), Komunitas Perempuan Berkisah bukan hanya didukung para relawan (volunteer) konselor, psikolog, maupun pendamping korban di beragam daerah, namun juga dari organisasi sosial seperti Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui program Pundi Perempuan. Program ini memberikan dana hibah senilai 20 juta kepada lembaga maupun komunitas, terutama yang memberikan layanan pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG). Dana Hibah sepenuhnya dimanfaatkan untuk pendampingan dan konseling perempuan dan anak korban/penyintas KBG. Tahun 2022 ini, Komunitas Perempuan Berkisah mendapat kesempatan sebagai salah satu penerima Dana Hibah untuk program selama Februari-Juli 2022. Selama 6 bulan ini, Komunitas Perempuan Berkisah melalui Ruang Aman konseling online telah melakukan pendampingan 112 konseli (korban/penyintas KBG0), jumlah ini kini mencapai 120 konseli per Agustus 2022 sejak tulisan ini dibuat.
Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) didirikan pada tahun 1995 di masa tahun-tahun terakhir rezim otoriter Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu gerakan pro-demokrasi mulai berkembang. Saat IKa didirikan, perannya ditujukan untuk mendukung gerakan pro-demokrasi melalui hibah kecil/mikro dari organisasi donor internasional yang berbasis di Eropa (kebanyakan Belanda dan Belgia). Pendirinya adalah empat aktivis masyarakat sipil yang pada saat itu aktif dalam memajukan hak-hak buruh, hak-hak konsumen, hak asasi manusia dan pengembangan organisasi masyarakat sipil.
Komunitas Perempuan Berkisah adalah komunitas di bawah naungan Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya), sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya juga merupakan transformasi dari Komunitas Perempuan Berkisah yang telah sah secara hukum menjadi sebuah Yayasan sejak per 10 Mei 2022.