Kekerasan Seksual di Ponpes Shiddiqiyyah Jombang: Korban Terancam, Pelaku Diistimewakan

Kekerasan Seksual di Ponpes Shiddiqiyyah Jombang: Korban Terancam, Pelaku Diistimewakan

Tidak ada tempat yang aman dari kekerasan, semua orang berpotensi sama untuk menjadi korban kekerasan, termasuk di lembaga pendidikan agama sekalipun. Lembaga pendidikan agama selama ini dipercaya masyarakat sebagai tempat yang suci dan aman untuk menitipkan anak belajar memperdalam ilmu agama. Namun mirisnya, justru akhir-akhir ini kekerasan seksual marak terjadi di lembaga pendidikan agama. Kejamnya, kasus ini dilakukan oleh pengasuh lembaga. Padahal, ia dianggap mayoritas masyarakat sebagai seseorang yang lebih paham agama, dan tentunya semua agama selalu mengajarkan kebaikan tanpa kekerasan. 

Korban Terbungkam, Pelaku Sembunyi di Balik Kekuasaan

Penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh MSAT, anak pengasuh pesantren di Jombang, Jawa Timur yang melakukan kekerasan seksual kepada santrinya sejak tahun 2017, adalah cerminan terbungkamnya kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Tidak hanya itu, kalau menengok ke belakang pun kasus kekerasan seksual yakni pemerkosaan yang dilakukan oleh HW kepada 12 santrinya selama bertahun-tahun hingga 8 orang sudah melahirkan, dan dua lainnya sedang mengandung, juga baru viral pada Juni 2021 lalu. Tidak berhenti di situ, kasus lama yang kini juga mulai muncul kembali, yaitu kasus yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang berlokasi di Kota Batu, Jawa Timur. Berkaca dari kasus ini pula korban tidak dapat menyuarakan penderitaan yang ia alami bertahun-bertahun. Kenapa hal ini terjadi? Kenapa korban tidak lapor tetap bertahan dengan masa yang panjang?

Kasus yang terjadi di Pesantren Jombang ini ternyata sudah berlangsung lama, sejak tahun 2017. Sedangkan kasus HW yang terjadi di Boarding School, Jawa Barat juga sudah berlangsung sangat lama. Terbukti belasan korban yang sudah melahirkan anak dan kejamnya anaknya juga dijadikan korban untuk pelampiasan nafsunya. Lebih lanjut, kasus kekerasan seksual SPI, sekolah yang berdiri di bawah naungan Yayasan Pendidikan sejak tahun 2017, justru terjadi di sekolah yang mengutamakan visi toleransi. Namun, nyatanya sejak angkatan pertama sampai angkatan 11 sekarang, selalu ada siswanya yang dijadikan korban kekerasan seksual oleh JE sejak tahun 2009. Hal ini berdasarkan pernyataan salah satu korban saat diundang di podcast Deddy Corbuzier. 

Pengaruh Dogma Kepatuhan Total

Terhambatnya penanganan berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan tidak terlepas dari prinsip dogma agama yang dipahami secara salah, yaitu “sami’na wa atha’na” (kepatuhan total) kepada sosok guru. Seringkali, dengan dogma ini seorang santri diminta untuk menuruti apa pun yang diminta oleh gurunya, tanpa boleh bertanya alasannya. Prinsip dan penafsiran salah inilah yang membuat santri takut untuk melapor. Sosok ustad dianggap lebih paham agama, tetapi agama mana yang mengajarkan kekerasan? Agama selalu mengajarkan kebaikan, hanya orang-orang semacam inilah yang lebih mengedepankan nafsunya dan bersembunyi di balik kekuasaannya atas nama agama. 

Pengikut yang fanatik juga kerap memperkeruh keadaan dengan menolak fakta bahwa tindakan kekerasan tersebut benar benar-benar terjadi dan dilakukan. Hal ini yang membuat korban semakin takut untuk bersuara bahkan dihakimi oleh massa. 

Mereka lupa, seorang ustad adalah manusia biasa yang memiliki nafsu sehingga hal semacam itu bisa terjadi. Mereka justru membela, menutupi, atau bahkan menjunjung tinggi oknum pemuka agama tersebut seperti dewa yang tidak pernah salah.” 

Korban terbungkam dan pelaku bersembunyi di balik kekuasaan dengan mengatasnamakan agama, inilah yang lebih berbahaya. Oknum pemuka agama tersebut menyalahgunakan wewenangnya sebagai alat dan cara untuk melampiaskan nafsu kepada santriwati yang dia inginkan. 

Begitu pun dengan kasus di SMA SPI. Selama lebih dari sepuluh tahun, kasus ini terbungkam mengingat SMA SPI ini adalah sekolah gratis yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu untuk membantu mereka melanjutkan sekolah. Sedangkan pelaku, berinisial JE, adalah bos dari SPI. Relasi kuasa tersebut menyebabkan korban takut untuk melaporkan pelaku. Tiga kasus di atas adalah cerminan sulitnya penanganan kasus kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan hingga kasus tersebut berlangsung begitu lama. 

Negosiasi Alot, Aturan pun Berbelok

Bukan hanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) yang ternyata alot untuk disahkan oleh DPR RI hingga akhirnya sah pada Selasa (12/4/2022) lalu. Nyatanya, penanganan kasus kekerasan seksual juga masih mengalami tarik ulur, terutama saat pelaku memiliki kekuasaan dan pengikut yang fanatik. Dua faktor tersebut membuat kebenaran mengenai tindakan kekerasan seksual, baik pencabulan ataupun pemerkosaan seolah ditolak. Kasus MSAT di pesantren Jombang yang telah dipaparkan di atas adalah cerminan nyata dari situasi ini. 

Menurut himpunan informasi penulis, ada lima korban pada kasus yang melibatkan pelaku MSAT. Salah satu diantaranya sudah dicabuli oleh MSAT sejak tahun 2012. Bahkan, ada juga yang dicabuli pada tahun 2017 hingga videonya viral di media sosial Jawa Tengah. Pada 2018, korban melaporkan MSAT ke Polres Jombang, akan tetapi ditolak karena tidak adanya bukti yang mendukung. Selanjutnya, tahun 2019 pelaku kembali dilaporkan atas dugaan pencabulan yang dilakukan kepada santrinya yang di bawah umur. Laporan tersebut diterima pada 2019 oleh Polres Jombang dan terdaftar dengan nomor LP: LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG. 

Kasus tersebut kembali menempuh perjalanan panjang. Proses pelaporan korban sempat mengalami beberapa hambatan. Laporan tersebut pernah dihentikan oleh Polres Jombang lantaran tidak memiliki bukti lengkap untuk kedua kalinya. Selanjutnya, tahun 2020 kasus ini pun dilimpahkan kepada POLDA Jawa Timur untuk ditangani dan dinyatakan sebagai tersangka. 

Setelah dinyatakan sebagai tersangka, MSAT tidak langsung ditahan. Kepolisian masih menemukan banyak hambatan. Lucunya, tahun 2021 MSAT sempat mengajukan pra peradilan sebanyak dua kali dan menuntut ganti rugi Rp100 juta kepada korban atas dugaan mencemarkan nama baik. Untungnya, jaksa juga menolak berkas kasus sebanyak tujuh kali. Kepolisian kemudian mulai membuka babak baru penyelidikan kasus tersebut hingga memasukkan MSAT dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena sempat melarikan diri. 

Meski sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur, nyatanya pihak kepolisian masih mengalami kesulitan untuk menangkap pelaku. Padahal, pelaku sudah diketahui keberadaanya. Polisi kesulitan untuk menjemput paksa dalam rangka melanjutkan penyelidikan karena pelaku bersembunyi di balik nama besar ayahnya, Kiai Muhammad Muchtar Mu’ti.

Kiai Muchtar pun mengaku anaknya difitnah. Salah satu ungkapannya yang viral di berbagai media sosial adalah “Demi untuk keselamatan kita bersama. Demi kejayaan Indonesia Raya. Untuk kebaikan kita bersama. Masalah fitnah ini, masalah keluarga,” ujar Kiai Muchtar saat didatangi oleh Polres Jombang.

 Adapun penjemputan paksa di area pondok Shiddiqiyah juga sempat menghadapi blokade dari puluhan santri dan simpatisan MSAT yang mencegah polisi masuk. Pada hari Kamis (7/7/2022) sejak pukul 08.00 WIB, 1000 petugas gabungan dari Polda Jatim dan Polres Jombang sempat mengalami aksi dorong-mendorong dengan para santri yang menghalangi para polisi masuk ke pondok. Bahkan, ada pihak kepolisian yang disiram dengan air panas oleh oknum santri yang fanatik untuk membela. Hingga akhirnya pukul 23.30 WIB, MSAT menyerahkan diri kepada Polda Jawa Timur. Ini pun setelah 16 jam polisi melakukan negosiasi dengan kiai. 

Kasus Kekerasan Seksual Bukan Persoalan Individu

Pihak kepolisian sebagai representasi negara dalam penegakan hukum semestinya memang tidak boleh kalah dengan pelaku atau orang-orang yang melindunginya. Lima tahun bukan masa yang sebentar untuk penanganan kasus yang kerap mengalami tarik ulur ini. Ibarat tahap perkembangan manusia, lima tahun itu seperti bayi yang baru lahir sampai ia sudah mampu berjalan, berbicara, bahkan sekolah PAUD. Inilah yang semestinya menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, kekerasan seksual adalah tindakan yang dilakukan di ruang privat sehingga korban biasanya minim alat bukti. 

Merespons kasus tersebut, Kementerian Agama pun membekukan Pondok Pesantren Asshidiqiyyah, Ploso, Jombang, Kamis (7/7/2022). Hal ini dilakukan karena pihak pondok dinilai tidak kooperatif dan menghambat penegakan hukum. Apalagi sampai pesantren dibekukan, negosiasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan ayah pelaku selaku pengasuh utama pondok pesantren, masih berlangsung alot. Tidak hanya itu, pembekuan pesantren tentunya dilakukan terkait asas “yang terbaik untuk anak”. Mengingat kondisi pesantren begitu mencekam, langkah pembekuan dan pengamanan pesantren perlu dilakukan dan demi keselamatan santri agar tidak adanya korban kembali/

Waryono, dari Kemenag RI berujar, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Timur, Kankemenag Jombang, serta pihak-pihak terkait untuk memastikan bahwa para santri tetap dapat melanjutkan proses belajar dan memperoleh akses pendidikan yang semestinya. Hal ini juga dilakukan demi kebaikan dan keselamatan santri dalam memperoleh pendidikan. Sekali pun hanya lima orang santri yang dinyatakan sebagai korban, akan tetapi kondisi tersebut juga berpotensi menimbulkan trauma bagi santri yang lain.

Lucunya, enam hari setelah pernyataan pembekuan pesantren, keputusan ini ditolak dan dibatalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang juga sebagai Menteri Agama (Menag) Ad Interim, Muhadjir Effendy atas arahan Presiden Jokowi. Menurutnya, kasus ini adalah persoalan individu, tidak ada kaitannya dengan lembaga. Sehingga, lembaga, dalam hal ini pondok pesantren, tidak boleh dibekukan. Padahal, jika memang ini permasalahan individu seharusnya ayah pelaku (pengasuh pondok) bersama santrinya tidak menghalang-halangi kinerja polisi dalam menegakkan hukum untuk menangkap MSAT. Mengingat, MSAT juga tidak kooperatif bahkan melarikan diri sampai sempat berstatus DPO. Apakah ini yang disebut pihak pesantren tidak ikut serta? Dengan pembatalan keputusan ini, rasanya semakin lucu melihat negeri ini menindak pelaku kejahatan kekerasan seksual. Hal ini membuat saya sebagai anggota masyarakat semakin bingung melihat begitu mudahnya sebuah aturan dikendorkan. 

 Korban Terancam, Pelaku Diistimewakan

Tidak berhenti pada kasus MSAT, kasus SMA SPI Batu juga menjadi perhatian semua kalangan. JE, selaku pelaku, telah memakan belasan korban. Perlakuan tak terpuji itu dilakukan sejak 2009, 2011, dan terbaru pada akhir 2020. Namun, kasus ini baru viral pada akhir Mei 2021 yang dilaporkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak ke Polda Jatim. 

Baru pada Agustus 2021, JE dinyatakan sebagai tersangka. Lucunya, meski pelaku telah dinyatakan sebagai tersangka, ia justru tidak ditahan. Setelah menjalani sidang perdana di PN Malang (16/2/2022), JE langsung keluar ruangan kemudian menuju mobil pribadi Toyota Innova bernomor polisi L 1957 LI tanpa menggunakan rompi tahanan yang biasanya digunakan terdakwa. JE akhirnya dijemput paksa di kediamannya, perumahan elite di Surabaya oleh Tim Jaksa Kejaksaan Negeri Kota Batu dan Kejaksaan Tinggi Jatim. Di hari yang sama, JE pun dijebloskan di Lapas Lowokwaru, Malang. Pendiri SMA SPI tersebut ditahan setelah menjalani sidang sebanyak 19 kali. Alasan dari terhambatnya penahanan ini karena pelaku dianggap kooperatif.

Padahal, kasus SPI sendiri telah terbungkam luar biasa lama. Kasus yang terjadi pada 2009 ini baru terkuak tahun 2021. Artinya, selama 12 tahun kasus ini telah tertahan. Namun anehnya, sekalipun korbannya berjumlah belasan dan pelaku dinyatakan sebagai tersangka, pelaku tetap tidak langsung ditahan. Ia dibiarkan bebas begitu saja. Ini menjadi bukti bagi kita mengenai lucunya negeri ini. Korban akhirnya mendapat ancaman dari pelaku, sedangkan pelaku diperlakukan sebagai orang yang istimewa. 

Sedangkan, jika kita Menengok aturan KUHP Pasal 21 ayat 4 terkait penahanan tersangka. Seorang tersangka atau terdakwa dapat ditahan apabila diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan kalau kita melihat aturan UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 6 ayat c jelas menyatakan:

Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Begitu pula pada peraturan pada Pasal 76 D dan 76 E UU No. 35 Tahun 2014 dan Pasal 81 dan 82 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun. Masa hukuman juga dapat ditambah 1/3 apabila tersangka adalah guru atau pengasuh sekolah 

Itu sebabnya jika mempelajari kasus ini tentunya pelaku telah menyalahgunakan kedudukannya dan memanfaatkan kerentanan korban. Tidak ditahannya pelaku karena dinilai kooperatif justru membuatnya terlihat diistimewakan. Apakah adil membiarkan pelaku masih berkeliaran ke mana saja sementara banyak korban yang menangis akibat tindakannya? Rasanya semakin lucu negeri ini hingga membuat saya sebagai anggota masyarakat semakin bingung mencari keadilan.