Ada sebagian unsent letter yang kubawa pulang ke tanah air. Tapi sebagian besar telah aku bakar dan abunya aku buang sebagai tanda, “Aku sudah benar-benar memaafkan ‘kamu’, yang namanya tertuju pada unsent letter ini”. Termasuk memaafkan diri sendiri yang telah bertindak bodoh hingga oppa Korea itu ilfeel berat, sepertinya.
Saat kita membicarakan “luka”, sebenarnya tidak hanya sebatas pada luka fisik saja. Batin pun juga bisa mengalami luka. Luka batin jelas berbeda jika dibandingkan dengan luka fisik yang dapat dilihat dengan mata telanjang bagaimana wujudnya, di mana letaknya, dan separah apa luka yang muncul. Sehingga dapat dimengerti apabila pembicaraan terkait luka batin dipandang sebagai hal yang abstrak, atau bahkan absurd untuk sebagian orang.
Sebenarnya ada persamaan yang mendasar antara luka fisik dan luka batin: obatilah dengan segera agar luka tersebut tidak menganga semakin lebar. Proses menyembuhkan luka batin memanglah tidak sesederhana yang dibayangkan. Apalagi jika luka batin itu ditorehkan oleh sosok yang sangat menyulitkan kita dalam mengekspresikannya. Misalnya orang tua, teman dekat, atau mungkin idola kesayangan. Belum lagi jika bicara soal aturan hidup tidak masuk akal yang diciptakan oleh masyarakat, yang seakan memaksa manusia untuk harus bisa tetap bergerak menjalani hidup tanpa diizinkan untuk merasa lelah, sedih, marah, dan kecewa.
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mengobati luka batin secara pelahan. Mulai dari melakukan meditasi secara rutin, mengistirahatkan diri sejenak dari hiruk-pikuknya dunia maya, menekuni kembali hobi lama yang tertinggal, hingga menulis unsent letter. Di bawah ini adalah penjelasan sederhana mengenai unsent letter yang mungkin bisa dilakukan seusai membaca artikel ini.
Apa itu Unsent Letter?
Sesuai dengan namanya, unsent letter adalah surat yang tidak dikirimkan oleh pengirimnya. Ibaratnya saat kita menulis surel, alih-alih dikirimkan kepada penerima pesan, justru disimpan sebagai draft message. Aku sendiri mulai melakukan metode unsent letter saat musim dingin akhir tahun 2015. Saat itu, salah satu psikiater kampus menyarankanku untuk mengeluarkan segala emosi dan luka dalam bentuk tulisan, sebagaimana saat kita ingin mengirimkan surat kepada seseorang. Beliau berkata, “Lakukanlah itu saat kamu sedang ada di puncak rasa nyeri setelah terluka oleh seseorang dalam hidupmu. Kamu suka menulis, ‘kan? Saya rasa akan lebih baik jika kamu melibatkan kegemaranmu dalam proses pemulihan. Kamu tidak akan merasa tertekan dalam menjalani prosesnya, karena kamu sedang berjuang pulih bersama dengan hal-hal yang kamu suka. Nantinya, itu akan jadi memori yang paling indah dalam hidupmu”.
Why the Unsent Letter?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, metode unsent letter ini bisa digunakan saat merasa marah, kecewa, sedih, bahkan bingung, atas apa yang telah dilakukan oleh orang lain di dalam hidup kita. Sebenarnya bisa saja kita meluapkan emosi itu tepat di ujung hidung orangnya saat kejadian berlangsung. Namun ada kalanya kita terhimpit oleh situasi yang memaksa kita untuk menahan emosi dan menguburnya rapat-rapat lagi dalam. Ibarat cangkir, akan ada masanya air yang tertampung akan meluap seiring berjalannya waktu. Bayangkan jika air itu adalah emosi-emosi kita selama ini, dan cangkir itu adalah kemampuan kita dalam menampung segala jenis emosi yang terpendam. Jelas tidak sehat, bukan?
Kemudian kita bisa menggunakan unsent letter ini untuk mengakui segala perasaan secara jujur tanpa harus merasa sulit dan bingung dalam mengekspresikannya. Ya, metode unsent letter ini bisa kamu gunakan ketika misalnya, ingin mengekspresikan rasa kagum kepada seseorang yang tengah kamu cintai saat ini, atau bahkan mengungkapkan betapa rindunya kamu kepada sosok yang sangat berharga dalam hidupmu meski sosok itu kini telah tiada.
Unsent letter bisa juga digunakan untuk mengekspresikan bagaimana bayangan hidupmu di masa depan. Kita bisa menulis unsent letter yang ditujukan kepada future husband atau future wife dengan segala harapan saat mengarungi samudera kehidupan berdua. Lalu, bagaimana kalau unsent letter itu ditulis untuk future child kita? Future pet? Atau future-future yang lain? Tenang aja. Bisa banget, kok!
Terakhir, nih. Surprisingly, metode unsent letter ini bisa ditujukan ke diri kita sendiri, lho! Kita bisa mengekspresikan rasa haru dan ungkapan terima kasih untuk diri sendiri yang sudah bertahan hingga sejauh ini, atau mungkin permintaan maaf karena selama ini lebih mudah peduli dengan orang lain ketimbang diri sendiri, atau bahkan menuliskan segala mimpi dan harapan untuk versi terbaik diri kita di beberapa tahun mendatang.
Apakah Sulit Menulis Unsent Letter?
Dari pengalaman pribadiku, jujur sulit banget buat memulainya! Awalnya aku berpikir, “Ya kali nulis surat tapi nggak dikirim? Buat apa, dong? Buang-buang kertas aja”. Maklum, waktu itu posisiku tengah menjalani studi di negeri orang dengan mengandalkan uang beasiswa plus hasil part-time jadi mbak-mbak jagal daging (seriusan!). Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa nggak dicoba dulu? “Kalau ternyata nantinya aku mengalami kesulitan, atau malah jangan-jangan metodenya nggak cocok, ya udah sih tinggal diskusiin lagi aja sama psikiaternya”. Begitu pikiranku saat itu.
Unsent letter pertamaku ditujukan untuk seorang dosen yang rasisnya minta ampun! Di departemenku, Departemen Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora sebuah kampus di luar negeri, aku satu-satunya foreigner yang menggunakan hijab. Saat dosen pembimbing akademik memperkenalkanku padanya, terlihat jelas ekspresi yang jauh dari kata hangat dan acap kali memandangiku dari puncak kepala hingga ujung sepatu.
Beliau pun pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap negara dan agama yang kupeluk di depan kelas. Baru saja memegang pulpen, seluruh tubuhku mendadak dingin dan otakku nge-blank parah! Aku merasa seperti manusia yang tidak berharga, meskipun memang studi di luar negeri adalah kehendakku. Sesi menulis unsent letter pertamaku berakhir dengan tangisan bercampur amarah dengan kertas polos ukuran A4 yang berubah menjadi gumpalan kertas di tong sampah.
Aku baru benar-benar sanggup menyusun unsent letter itu empat hari setelahnya. Yang dirasakan saat itu adalah rasa lega yang luar biasa, seperti saat kita berhasil melepas kancing celana jeans yang kesempitan setelah makan, hehehe! Aku merasa cocok dengan unsent letter. Selain tidak perlu repot-repot ngirimin surat ke orangnya, aku juga tidak perlu mencemaskan reaksi yang tidak diharapkan dari orang tersebut. Aku tidak perlu mencemaskan penghakiman orang lain yang dengan mudahnya mengucapkan, “baper”, “too sensitive”, “lemah”, “caper”, dan sejenisnya. Modalnya pun juga murah, cuma secarik kertas dan pulpen! Iya, nggak buang-buang duit seperti yang aku bilang sebelumnya.
Apa Benar Semudah Itu?
Ada kalanya kesulitan juga, kok. Saat menyusun unsent letter untuk orang tuaku, tanganku mendadak gemetar hebat sembari menangis tak terkendali selama tiga puluh menit tanpa henti. Seakan-akan mereka berdua tepat ada di hadapanku dan siap menyerang dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Keesokan harinya, aku mendatangi klinik kampus untuk membuat janji dengan psikiater seusai jam makan siang. Barulah seminggu kemudian aku bisa menemuinya. Aku menjelaskan progress-ku dalam menulis unsent letter, sudah menulis unsent letter kepada siapa saja, serta ragam sensasi yang kurasakan saat menulis unsent letter dengan terbuka.
“Tidak apa-apa. Tidak mesti unsent letter itu ditulis dengan indah dan berlembar-lembar. Hanya sebatas, ‘aku benci kamu, aku berharap kita tidak bertemu lagi di masa depan’ pun sudah bagus. Bayangkan saat lukamu dibersihkan oleh dokter umum. Perih sekali hingga kamu menjerit, meronta-ronta, bahkan refleks menendang barang sekitarmu, ‘kan? Itulah kamu sekarang, si pasien yang sedang terluka, dan aku adalah si dokter umum itu. Aku mohon untuk tidak lari dari rasa sakit itu, ya. Bagaimana kamu bisa sembuh dengan baik kalau kamu membiarkan luka itu mengering tanpa diobati?”
Terus, Bagaimana Nasib Setumpuk Unsent Letter yang Sudah Ditulis?
Akhir September 2016, saat aku hendak kembali ke tanah air, mataku tertuju ke sebuah kardus cokelat yang berada di atas lemari. Sudah banyak unsent letter yang berhasil kutulis dari Desember 2015. Beberapa di antaranya aku baca kembali setelah selesai memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Campur aduk banget! Sebentar-sebentar menangis, sebentar-sebentar tertawa geli meratapi kebodohanku yang pernah melakukan tindakan bodoh di depan teman pria a.k.a gebetan yang berkewarganegaraan Korea Selatan (doi foreigner juga jatuhnya, sama kayak aku). Tapi di situlah aku jadi sadar, betapa hebatnya aku sudah berhasil tumbuh dan berkembang sejauh ini.
Mungkin kehebatanku ini tidak bisa dituangkan ke dalam resume sebagai modal untuk melamar pekerjaan. Mungkin juga tidak ada satu orang pun yang menyadari dan menghargai kemampuanku untuk bertumbuh. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah cukup merasa lelah dan kecewa saat memperjuangkan pengakuan dan validasi dari orang lain. Sudah saatnya mengucapkan banyak-banyak terima kasih ke diri sendiri dan mengapresiasi segala perubahan kecil yang telah dilakukan.
Ada sebagian unsent letter yang kubawa pulang ke tanah air. Tapi sebagian besar telah aku bakar dan abunya aku buang sebagai tanda, “Aku sudah benar-benar memaafkan ‘kamu’, yang namanya tertuju pada unsent letter ini”. Termasuk memaafkan diri sendiri yang telah bertindak bodoh hingga oppa Korea itu ilfeel berat, sepertinya.
Iya, aku telah membakar habis unsent letter untuk diriku sendiri yang level malu-malunya sudah menembus galaksi lain.
Ada Metode yang Lain, Nggak?
Ada, kok. Ada banget! Psikiaterku saat itu juga memperkenalkanku dengan gratitude journal dan mood tracker sebagai salah satu bentuk self-care. Namun, entah alasannya apa, psikiaterku lebih getol mengarahkanku untuk melakukan unsent letter ketimbang dua metode lainnya. Gratitude journal, singkatnya, adalah menuliskan hal-hal yang layak untuk kita syukuri di hari itu disertai dengan alasannya. Meskipun itu hanya sebatas – mohon maaf kalau contohnya ekstrim but that’s a fact! – bisa buang hajat tanpa perlu mengejan keras berkali-kali, hal itu jelas layak untuk disyukuri, lho! Sedangkan mood tracker adalah catatan mengenai situasi mood kamu di hari itu disertai dengan alasannya: apa yang membuat kamu merasa kesal di jam sepuluh pagi, seberapa besar rasa sedihmu di jam lima sore, siapa yang membuat kamu bahagia di jam tujuh malam, dan sejenisnya.
Memang, untuk memulai sesuatu yang baru amatlah sulit. Belum lagi jika kita harus dihadapkan dengan momen untuk jujur terhadap perasaan diri sendiri, momen untuk menghadirkan kembali tumpukan luka lama yang terpendam, hingga momen untuk berpikir secara jernih dalam mengidentifikasi dan menganalisis ragam luka yang selama ini kita pikul seorang diri. Tidak apa-apa. Lakukanlah secara perlahan. Berlaku baiklah kepada dirimu sendiri. Sayangilah dirimu yang telah setia menemanimu berjalan dan bertumbuh hingga sejauh ini. Sekali lagi, ini semua tidaklah mudah untuk dilakukan. Tapi, kita bisa melewatinya bersama-sama. Tenang, kamu tidak sendirian, kok.