Baru-baru ini kita dibuat geram dengan video cctv yang viral. Video tersebut memperlihatkan seorang pria paruh baya melakukan pelecehan seksual kepada seorang anak perempuan. Bukan hanya perbuatan bejat pelaku yang bikin publik geram, tapi juga respon pihak aparat yang terkesan tak memahami apa itu pelecehan seksual. Selain itu juga terkesan meremehkan dan menormalisasikan kasus kekerasan seksual. Belum lagi, sikap aparat yang seakan kurang berpihak pada korban. Padahal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), definisi pelecehan seksual dalam Pasal 12 sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual sudah jelas. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak tidak termasuk dalam delik aduan, sehingga meskipun korban atau keluarga korban tidak melaporkan kepada kepolisian, jika ada bukti cctv dan dipakai untuk melaporkan perbuatan pelaku agar tidak memakan korban lainnya, seharusnya aparat segera bergerak.
Di luar persoalan lemahnya keberpihakan terhadap korban, kita juga tidak jarang tersulut dengan maraknya video atau konten yang viral dan tidak menyembunyikan identitas korban. Korban tak jarang diperlihatkan secara jelas wajah, serta bukti chat, nama, tempat tinggal korban, kronologi yang begitu detail dan hal-hal yang seharusnya tidak diumbar ke publik untuk melindungi korban. Namun yang terjadi, hal seperti ini semakin marak. Ada kepedulian kepada korban dan berharap pelaku viral karena perbuatannya, namun lupa bagaimana menjaga keamanan korban. Jangan sampai, rasa marah kita kepada pelaku membuat kita abai untuk melindungi korban dan mengabaikan suara korban.
Ruang Aman Berbasis Etika Feminis yang dikembangkan oleh Komunitas Perempuan Berkisah bersama para konselor atau pendamping korban, sampai saat ini berusaha memperluas pengaruh tentang pentingnya menerapkan etika, prinsip dan nilai saat kita merespon korban kekerasan berbasis gender (KBG), terutama kekerasan seksual. Para konselor feminis di Komunitas PB dipastikan memiliki pemahaman yang sama agar tidak melakukan internalisasi patriarki kembali kepada korban dengan merasa sebagai sosok yang lebih berkuasa. Ya, hanya dari kalimat sesederhana terima kasih, kita bisa belajar banyak mengenai etika dan tahapan pendampingan korban Kekerasan Berbasis Gender (KGB).
Kini, untuk memastikan para calon anggota baru memiliki perspektif yang sama, PB menyelenggarakan diskusi publik berseri yang mengangkat tema besar “Keberpihakan Ruang Aman Berbasis Komunitas dan Upaya Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Pendampingan Berbasis Etika Feminisme.” Diskusi ini terselenggara atas dukungan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) serta Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh dan Berdaya (Pribudaya) yang sama-sama memberi perhatian pada isu pencegahan penanganan kekerasan seksual serta penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pada setiap seri diskusi, para peserta yang merupakan calon anggota PB akan mendapatkan materi mengenai praktik baik dan pembelajaran yang selama ini telah dilakukan Komunitas PB, terutama dalam menangani korban kasus KGB. Dipandu oleh Angelino Vinanti, seri pertama diskusi ini mengangkat topik mengenai “Etika, Prinsip, dan Tahapan Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis Gender”. Fasilitator untuk topik pertama ini adalah Alimah Fauzan, Founder sekaligus Konselor PB bersama Yuliana yang juga merupakan konselor feminis di Ruang Aman PB.
Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dan Kesadaran Relasi Kuasa bagi Konselor
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etika dan tahapan pendampingan korban KGB, hal yang paling esensial dan harus disadari oleh seorang konselor adalah kesadaran mengenai adanya relasi kuasa yang timpang. Tanpa kesadaran akan hal tersebut, perspektif kita akan keadilan gender dan KGB bisa jadi masih bias. Hal ini tentu berisiko menempatkan korban menjadi korban berulang karena kecenderungan menyalahkan korban masih ada.
“… sebelum kita bergerak sebagai pendamping, baik di pengada layanan maupun ruang aman berbasis komunitas, bahkan sekadar pendamping untuk teman maupun keluarga, pastikan perspektif kita sudah clear, sudah tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi, tidak bias, dan memiliki perspektif kesetaraan serta keadilan gender. Kita mesti paham adanya bentuk relasi kuasa yang timpang dan bisa menganalisisnya …”
(Alimah Fauzan, Konselor Feminis PB)
Menilik pada definisi istilah, Kekerasan Berbasis Gender (KGB) digunakan untuk memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan aspek sosial, termasuk gender yang dilekatkan masyarakat untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Istilah ini juga digunakan untuk semua perilaku yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, mental, serta ancaman melakukan suatu perbuatan membahayakan berupa pemaksaan dan membatasi kebebasan seseorang.
Dapat terlihat pada bagian terakhir definisi tersebut bahwa terjadinya KGB–pemaksaan dan membatasi kebebasan–tidak terlepas dari ketimpangan relasi kuasa yakni ketidakadilan gender serta penyalahgunaan wewenang. Konstruksi gender yang tidak setara memungkinkan sosok yang berkuasa memaksakan kehendak pribadi kepada pihak yang tidak berkuasa. Bisa juga sosok yang berkuasa melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan penderitaan tanpa persetujuan pihak yang lebih lemah. Perasaan kepemilikan atas individu atau individu-individu pun merupakan salah satu bentuk ketimpangan relasi kuasa.
Relasi kuasa sendiri tidak terbatas pada perbedaan gender, tetapi termasuk pada ketimpangan ekonomi, perbedaan usia, dan masih banyak lagi ketimpangan relasi lainnya. Namun, relasi kuasa berbasis gender memang merupakan salah satu penyebab terjadinya KGB. Inilah hal utama yang harus dipahami oleh konselor sebelum melakukan pendampingan korban KGB. Kesadaran akan perspektif ini akan membuat konselor lebih siap untuk menerapkan etika serta rangkaian tahapan pendampingan korban, terutama membangun sikap yang berpihak pada korban. Sebab, konselor akan menyadari bahwa pada prinsipnya KGB tidak sepenuhnya terjadi akibat kesalahan korban–pakaian korban, lalai memberikan persetujuan, tidak memiliki batasan diri, dll.
“Kita punya semangat untuk membantu korban, tetapi apakah semangat kita sudah seimbang dengan keberpihakan dan pengetahuan kita dalam mendampingi korban?”
(Alimah Fauzan, Konselor Feminis PB)
Setelah menyamakan perspektif tentang ketimpangan relasi kuasa sebagai akar permasalahan KGB, barulah kita beralih pada pembahasan mengenai pendamping yang berbasis kebutuhan korban dan memiliki keberpihakan pada korban. Dua ciri tersebut masih jarang ditemui di kalangan pendamping maupun ruang aman yang menangani korban KGB sehingga masih banyak kasus yang dengan semena-mena diviralkan. Padahal, mendampingi korban KGB haruslah berbasis kebutuhan korban. Sebab, korban KGB sebagian besar berada dalam kondisi rentan baik itu fisik, psikis, serta keamanannya. Jadi, semangat mendampingi korban haruslah diiimbangi dengan etika serta pengetahuan.
Etika Pendamping Korban KGB Berbasis Etika Feminisme
Terkait dengan etika pendamping korban, pada awal diskusi para peserta diminta memosisikan diri sebagai korban. Kemudian, mereka diminta untuk menuliskan ciri konselor yang membuat mereka nyaman. Inilah prinsip dasar dari etika pendamping korban KGB. Saat kita menjadi korban atau menempatkan diri kita di sisi korban, tentu kita ingin sosok yang tidak memaksakan kehendaknya, tidak menghakimi, apalagi menekan kita. Hal tersebut sejalan dengan etika pendamping korban KGB yang selama ini dipraktikkan oleh Konselor Feminis di Ruang Aman Perempuan Berkisah.
Etika pertama dari pendamping korban KGB adalah mampu menjaga kerahasiaan korban. Perlu diingat bahwa kerahasiaan berkaitan erat dengan keamanan korban. Sekalipun korban yang meminta agar kasusnya diviralkan, PB biasanya mendiskusikannya terlebih dahulu agar korban memahami risiko dari pilihannya. PB akan lebih fokus mendampingi pemulihan korban alih-alih memviralkan kasus KGB.
Meski menjaga kerahasiaan korban amatlah penting, etika ini bisa saja dilanggar saat korban menunjukkan kecenderungan menyakiti diri sendiri hingga keinginan untuk bunuh diri. Pendamping disarankan untuk mencari dukungan dari lingkaran pertama di lingkungan korban, keluarga misalnya, yang memiliki relasi baik untuk membantu korban pulih.
Selanjutnya, perhatikan etika saat berkomunikasi dengan korban. Hindari kebiasaan untuk memberikan nasihat apalagi sampai memaksakan kehendak. Dengarkanlah kebutuhan korban lalu petakan kebutuhannya. Terkait etika berkomunikasi, pendamping korban KGB juga diharapkan untuk dapat memilih kata-kata yang digunakan untuk membuat korban merasa nyaman. Hindari menggunakan kata harus, salah, dosa, terkutuk, jangan, nasib, takdir, gagal, dilarang, dan sejenisnya. Jangan pula mendominasi pembicaraan dengan menceramahi korban. Komunikasi yang baik antara pendamping dan korban haruslah terjadi dua arah, bukan didominasi oleh pendamping atau konselor.
“Dukungan atau bantuan diarahkan pada kemandirian korban. Jangan sampai kita merasa tahu yang terbaik untuk korban, mengabaikan suara korban seolah ia tidak bisa mengambil keputusan tepat. Jangan mendominasi dan menempatkan korban seperti tidak tahu apa-apa.”
(Alimah Fauzan, Konselor Feminis PB)
Jangan terpancing untuk menasihati saat korban kerap mempertanyakan kondisinya. Cukup dengarkan dan validasi perasaan korban dengan tujuan memberdayakan. Validasi perasaan korban bisa dilakukan dengan memberinya ruang untuk mengekspresikan emosinya secara aman. Berdayakan korban dengan menanamkan pemahaman bahwa korban bukanlah manusia pasif. Menjadi korban tidak menghilangkan kemampuan korban untuk mengambil keputusan. Galilah potensi tersebut dengan cara menerima dan berproses bersama dalam komunikasi yang setara.
Kemudian, pendamping korban haruslah menanggalkan praduganya terhadap korban. Menilai dan menghakimi korban secara sepihak bukan hanya melanggar etika pendampingan korban, tetapi juga menunjukkan bahwa pendamping sejatinya belum memahami relasi kuasa dan penyalahgunaan wewenang yang menjadi dasar terjadinya KGB. Jangan anggap korban wajar dilecehkan karena pakaiannya karena tidak ada yang bisa diwajarkan dari pelecehan dan kekerasan berbasis gender.
Pada akhirnya, pendamping korban yang menerapkan etika berbasis feminisme akan tampak pada lima sikap berikut, memiliki memiliki keberpihakan pada korban; memiliki sensitivitas gender; memiliki sikap yang hangat, empatik, akomodatif, dan fleksibel; aktif mendengar dan memvalidasi perasaan korban; serta tidak menghakimi kondisi korban.
Tahapan Pendampingan yang Tepat untuk Memberdayakan Korban
Penerapan etika pendampingan korban tidaklah dilakukan secara acak atau sesuka hati. Untuk mencapai tujuan utama, yakni membuat korban menjadi penyintas dan berdaya, terdapat serangkaian tahapan yang harus dilakukan oleh pendamping atau konselor.
Pertama, tahapan membangun hubungan. Dalam pendampingan korban, tahap ini sangatlah penting sebab di sinilah pendamping harus membangun kepercayaan korban. Pastikan korban merasa aman berbagi cerita kepada kita dengan menjaga kerahasiaannya. Banyak korban yang merasa berat untuk jujur mengenai masalahnya bahkan kepada pendamping. Lagi-lagi, ini disebabkan kultur patriarki dan ketimpangan relasi kuasa yang kerap menempatkan korban sebagai korban berulang. Itulah pentingya tahapan membangun hubungan dilakukan dengan menerapkan etika pendampingan yang telah dibahas sebelumnya.
Kedua, tahap mendengarkan dan eksplorasi masalah. Dua hal utama yang perlu dilakukan pendamping pada tahapan ini adalah empati dan penerimaan. Secara konkret, empati dapat ditunjukkan lewat kalimat reflektif dari pendamping atas perasaan korban. Penting untuk diingat bahwa kalimat reflektif tersebut hendaknya diselaraskan dengan ekspresi dan intonasi.
“Empati tidak sekadar iba, tetapi konselor dapat merasakan yang dirasakan konseli.”
(Yuliana, Konselor Feminis
Selain empati, penerimaan konselor atau pendamping dibutuhkan pada tahap mendengarkan. Sebab, konseli datang dengan segala persoalan, prinsip, pemikiran, serta kepribadiannya. Tugas pendamping adalah memastikan korban tidak lagi dihakimi atau disalahkan, terutama oleh pendamping itu sendiri. Pahami juga bahwa setiap individu itu berbeda sekali pun kasusnya sama. Lakukan refleksi dan klarifikasi saat mendengarkan keterangan korban untuk memastikan tidak ada kekeliruan.
Ketiga, tahap penyelesaian masalah. Semangat dari konseling berbasis etika feminisme adalah sama-sama tumbuh, menyintas, berdaya. Konseling beretika feminisme akan mendorong transformasi individu menjadi transformasi sosial antara konselor dan konseli. Jika konseli menjadi ketergantungan kepada konselor atau pendamping, transformasi belum terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa pendampingan beretika feminis belum diterapkan sebagaimana mestinya.
Sejalan dengan etika pendampingan bahwa konselor tidak seharusnya memberikan nasihat, maka tahapan terakhir ini mesti dilaksanakan demikian. Namun, ada kalanya korban mengalami masalah psikologis dan sulit berpikir jernih. Di sinilah konselor berperan sebagai fasilitator untuk membantu korban melihat situasi dengan lebih jernih agar dapat mengambil keputusan.
Lawan Patriarki dengan Menjadi Pendamping/Konselor dalam Relasi yang Setara
Menjadi pendamping korban KGB dengan menerapkan etika serta tahapan berbasis etika feminisme pada akhirnya bertujuan memperkuat perjuangan kita melawan patriarki. Ketika kita tidak memaksakan kehendak kepada korban, tanpa sadar kita telah membangun relasi kuasa yang lagi-lagi merupakan bentuk internalisasi patriarki. Ingat bahwa kita bukan korban. Sosok yang paling tahu tentang korban adalah dirinya sendiri.
“Ketika kita memberikan ruang untuk berdaya sebetulnya kita juga melawan relasi kuasa dan patriarki dengan mengangkat relasi setara antara konseli dan konselor. (…) Relasi setara adalah cara kita melawan juga. Bantu beri dukungan pada korban yang selama ini merasa sendirian.
(Yuliana, Konselor Feminis PB)
Itulah pembelajaran penting dari diskusi seri pertama “Keberpihakan Ruang Aman Berbasis Komunitas dan Upaya Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Pendampingan Berbasis Etika Feminisme.” Meski pembahasan cukup berat, diskusi dilakukan secara santai dan bersahabat. Antusiasme peserta pun ditunjukkan lewat belasan pertanyaan yang masuk menanggapi isi materi. Semoga, sesuai dengan cita-citanya, diskusi seri pertama ini bisa melengkapi semangat teman-teman calon anggota PB agar kelak bisa menjadi pendamping yang tidak hanya empatik, tetapi juga berilmu.