Ketika ada orang terdekat yang memberikan sinyal darurat, wajar jika kita merasa bingung dan panik dalam memberikan reaksi yang pantas agar setidaknya apa yang orang tersebut pikirkan tidak menjadi kenyataan. Kecemasan pun seketika menyergap karena kita nggak bisa memprediksi di mana, kapan, dan bagaimana orang itu akan melakukanya. Idealnya, diharapkan kita mampu memberikan kata-kata baik agar mereka memiliki kekuatan untuk melewati semuanya secara perlahan tanpa harus merasakan kenestapaan tanpa ujung. Namun sedihnya, apa yang menurut kita “baik”, ternyata belum tentu “baik” di mata orang lain. Nah, setidaknya ada tujuh ungkapan yang sebaiknya nggak dilontarkan kepada suicidal person berdasarkan pengalaman pribadi menjadi konselor yang–masih belajar, kok–menangani ragam kasus dengan potensi suicidal thoughts dan suicide attempts plus pengalaman pribadi sebagai orang dengan suicidal di tahun 2019 silam.
(1) “Udah, deh. Lo tuh jangan caper!”
Kamu tahu? Saat ini mereka lagi frustrasi dengan peliknya dinamika hidup. Mereka merasa buntu, nggak tahu harus bertahan macam apa lagi. Mereka merasa terpuruk dan nggak berdaya. Mereka paham bahwa mereka butuh bantuan. Namun mereka memandang “bantuan” itu dengan skeptis dan pesimis.
“Akankah bantuan benar-benar datang?”
“Kalau pun datang, apa beneran bisa menyelesaikan semua persoalan gue?”
“Emangnya beneran ada yang mau tulus bantuin gue?”, dan pikiran-pikiran lainnya yang sukses memenuhi kepala mereka. Sehingga, dapat dimengerti jika satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan oleh mereka saat itu adalah mengakhiri hidup.
(2) “Bersyukur, dong! Banyak orang yang hidupnya lebih susah dari lo, tapi mereka nggak kepikiran bunuh diri tuh!”
Tahu, kok. Tahu banget! Banyak yang jadi korban peperangan, kelaparan, tertimpa kemiskinan struktural, even jadi korban penipuan merchandise K-Pop ratusan juta. Namun apakah di kondisi seperti ini mereka masih sempat berpikir demikian? Mereka sendiri sedang hilang arah–bahkan “hilang” atas dirinya sendiri!
Memang, esensi hidup adalah belajar menerima dan berjuang. Bersyukur–atau bahasa lainnya adalah “mindfulness”–adalah salah satu cara yang bijak dalam menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Namun, respon seperti itu merupakan bentuk ketidakmampuan kita dalam memvalidasi emosinya. Seakan-akan mereka nggak berhak dan nggak dibolehin merasa lelah, terluka, dan frustasi sebagai manusia biasa.
(2) “Kalo lo nggak ada, gimana keluarga lo, orang tua lo, temen-temen lo? Kasian mereka…”
Dalam kondisi seperti ini, mereka nggak bakal kepikiran–nggak sanggup mikir, lebih tepatnya–soal keberlangsungan hidup orang-orang di sekitarnya. Atau jangan-jangan, boleh jadi objek yang kita sebut sebelumnya adalah akar permasalahannya selama ini? Dapat dimengerti jika dia merasa bahwa mengakhiri hidup adalah jalan terbaik menurutnya. Lingkungan yang idealnya bisa menjadi wadah bertumbuh yang sehat, malah jadi racun yang menyiksa dan mematikan. Udah, bayangin aja dulu!
(3) “Coba alihkan pikiran lo ke hal lain. Sibukin diri lo, keluar rumah lah kumpul-kumpul sini.”
Sebelum mereka berada di tahap serius ini, sebenarnya sudah ada beberapa gejala yang mereka rasakan. Misalnya sering merasa pusing tanpa sebab, badan pegel-pegel mendadak, kurang motivasi, sulit konsentrasi, merasa kehampaan yang luar biasa, kekurangan atau kelebihan tidur, dan lainnya. Hal itu terus berkembang seiring berjalannya waktu di luar kehendak mereka. Beberapa gejala tersebut sebenarnya sudah cukup membuat mereka lelah secara fisik dan mental. Pastinya hal itu berdampak pula pada ritme aktivitas sehari-hari. Dengan kondisi demikian, apakah logis jika kita meminta mereka untuk menyibukkan diri dan kumpul-kumpul? Apakah “mengalihkan pikiran” adalah saran yang bijak?
(4) “Ah, yang bener lo? Soalnya gue ngeliat lo nggak kayak orang yang lagi banyak masalah gitu…”
Menyedihkannya, nggak sedikit suicidal person yang tampak baik-baik saja sebelum akhirnya mengakhiri hidup dengan cara dan di waktu yang tak terduga. Vokalis band kenamaan asal Amerika “Linkin Park”, Chester Bennington, adalah satu bukti dari sekian banyak orang yang tampak baik-baik saja di mata orang-orang terdekatnya sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan tindak bunuh diri. Bukanlah hal yang aneh ketika mereka justru berusaha sekuat tenaga untuk memasang topeng terbaiknya demi menyembunyikan apa yang sejatinya dirasakan dari khalayak ramai.
Ada ragam faktor yang mengiringi. Mulai dari kekhawatiran dijauhi orang-orang terdekatnya, khawatir mendapatkan penghakiman dari masyarakat, hingga khawatir kehilangan pekerjaan akibat kondisi mentalnya. I mean, just because you know their name, does not mean you know their stories. You just see their smile, not their pain, aren’t you?
(5) “Mending lo buruan ke psikiater, deh. Masih banyak hal baik yang bisa lo lakuin…”
Untuk mampu memperoleh bantuan tenaga profesional seperti psikolog hingga psikiater, butuh usaha serta keberanian yang luar biasa besar, lho. Sayangnya, di antara mereka yang tengah membutuhkan bantuan psikologis, justru mendapat penghakiman dari (oknum) tenaga profesional: mulai dari dicap durhaka, menyalahi kodrat, tidak bisa jaga diri, dan lainnya. Inilah yang membuat mereka ragu, selain karena faktor finansial dan adanya stigma negatif yang terlanjur langgeng di kalangan masyarakat seputar “berkunjung ke tenaga profesional”.
Ya, memang kita nggak bisa 365247 selalu ada di sisinya. Sehingga sebenarnya kita boleh merekomendasikan mereka untuk segera ke tenaga profesional, kok. Tapi perhatikanlah kondisi serta gunakanlah pendekatan yang tepat, sehingga niat baik kita dapat berterima baik pula olehnya.
(6) “Tenang aja, semuanya akan membaik di masa depan”
Mereka yang tengah berada di situasi seperti ini sebenarnya sudah cukup lelah dengan “masa kini”, pun sudah cukup sesak mendengar “masa depan”. Bukanlah hal yang mudah untuk melepaskan diri dari masa lalu. Luka batin yang mendera tanpa ampun, trauma yang setia menghantui, kehampaan yang merasuk masuk ke dalam tubuh, jelas membuat mereka kesulitan untuk sekadar menghirup udara segar. Maksudnya baik sih, mengajak mereka agar tidak berhenti berharap. Namun sayangnya, kata-kata itu justru membuat mereka berpikir, “Harus menunggu seberapa lama lagi?”, yang malah membuat mereka semakin ditelan kegelapan.
Memang, memberikan respon bijak dalam case seperti ini sangat jauh dari kata mudah. Sebagai konselor kemarin sore sekaligus penyintas, aku pun masih perlu belajar banyak karena butuh kehati-hatian serta energi yang besar saat menanganinya. Tapi setidaknya empat hal ini bisa kamu lakukan, kok:
- Tunjukan bahwa kamu selalu ada untuknya dan mampu mendengarkan segala ceritanya dengan aktif;
- Apapun itu, validasilah emosinya;
- Apresiasilah perjuangan dan kemampuannya untuk bertahan hingga sejauh ini; dan
- Tawarkan bantuan jika kamu benar-benar memiliki kapasitas untuk membantunya.
Jika kamu telah terlanjur berkata demikian di masa lalu, tidak ada kata terlambat untuk mendatanginya dan meminta maaf. Katakanlah dengan terbuka bahwa saat itu kamu sedang panik, sehingga tidak mampu memikirkan ulang atas dampak kata-katamu padanya.
Untuk siapapun di luar sana, terima kasih telah lahir di dunia ini! Terima kasih karena telah bertahan hingga sejauh ini! Hidup ini terasa sulit, ya. Tapi kita pasti bisa melewatinya bersama-sama. Pelan-pelan aja, ya.