Ini adalah kisah nyata, seorang perempuan penyandang disabilitas yang berjuang sebagai penyintas kekerasan seksual (KS). Akibat KS yang dialaminya, dia melahirkan seorang anak yang juga penyandang disabilitas. Lelaki yang merupakan ayah biologis janinnya menolak untuk bertanggung jawab. Ia justru mengatakan bahwa ia akan memberi uang Rp 500.000 sebagai uang tutup mulut agar Tanta Tian tidak menyebut nama laki-laki tersebut sebagai orang yang menghamili dirinya di hadapan kepala desa. Laki-laki itu juga mengancam akan membunuh Tanta Tian jika sampai menyebut namanya. Namun, Tanta Tian tidak gentar.
Kisah Tanta Tian, Ibu Tunggal Disabilitas dengan Anak Disabilitas
Tanta Tian adalah seorang penyandang disabilitas. Ia memiliki kondisi rabun atau penglihatan yang kurang. Tanta Tian memiliki seorang anak yang juga merupakan penyandang disabilitas. Anaknya bernama Laura dan saat ini telah berusia sembilan tahun. Namanya mungkin asing, jauh, dan tidak terbayang. Namun, kisahnya hadir dalam setiap diskusi kita akan kesejahteraan, pada diskusi orang-orang marginal. Walaupun Tanta Tian adalah seorang disabilitas, ia selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Ada orang yang ketika bertemu Ibu dan anak ini selalu berujar hidup ini tidak adil karena seorang Ibu disabilitas harus mengurus anak yang disabilitas juga. Namun, bagi Tanta Tian hanya dirinya seorang yang bisa mengerti keadaan anaknya yang disabilitas karena dirinya juga adalah seorang disabilitas. Tanta Tian tak punya kemampuan untuk menulis dan didengar. Namun, kisahnya layak untuk disebarluaskan, menembus batas, dan menjadi pembelajaran bagi orang-orang yang memiliki beragam akses dan keistimewaan.
Denda Adat Pelaku Kekerasan Seksual Tidak Sepadan dengan Perjuangan Tanta Tian
Saat Tanta Tian hamil, lelaki yang merupakan ayah biologis janinnya menolak untuk bertanggung jawab. Ia justru mengatakan bahwa ia akan memberi uang Rp 500.000,00 sebagai uang tutup mulut agar Tanta Tian tidak menyebut nama laki-laki tersebut sebagai orang yang menghamili dirinya di hadapan kepala desa. Laki-laki itu juga mengancam akan membunuh Tanta Tian jika sampai menyebut namanya. Namun, Tanta Tian tidak gentar. Ia menggertak balik dan meminta lelaki itu membunuh dirinya saat itu juga. Setelah adu mulut itu berakhir, laki-laki itu menyuruh Tanta Tian pulang dari rumahnya dan mengatakan agar nanti Tanta Tian bicara saja saat dipanggil kepala desa. Namun ketika dipanggil, laki-laki itu tidak mengaku sehingga ia didenda satu ekor sapi betina dan satu ekor anak sapi.
Setelah menunggu hingga sebulan lamanya, laki-laki itu tidak mengantarkan sapi untuk Tanta Tian sebagai denda adat sehingga kepala desa dan keluarga Tanta Tian melapor ke polisi. Saat polisi pergi ke rumahnya untuk menangkap laki-laki itu, ternyata dia sudah kabur ke hutan. Dia bersembunyi di hutan selama sebulan lamanya. Menurut informasi dari tetangganya, dia pergi ke Kupang setelah itu.
Akhirnya, Tanta Tian dan keluarganya tidak melaporkan kasus ini ke polisi dan membiarkannya menggantung begitu saja selama pertengahan 2013. Sebab, laki-laki itu beralasan masih ingin mencari sapi untuk membayar denda. Hingga kini, pelaku masih bebas dan tidak bertanggung jawab. Tidak seharusnya seorang pelaku kekerasan seksual dipercaya dan dibiarkan bebas begitu saja. Bisa jadi kalimatnya hanya alasan untuk lari dari tanggung jawab.
Padahal, satu ekor sapi betina dan satu ekor anak sapi sebagai denda tidak sepadan dengan trauma yang harus ditanggung Tanta Tian seumur hidup dan tidak pernah cukup untuk membiayai hidup ibu dan anak yang disabilitas ini.
Perjuangan Tanta Tian sebagai Ibu dari Anak Penyandang Disabilitas
Waktu Tanta Tian bersalin, biayanya ditanggung oleh Nesi, salah satu kakak laki-lakinya. Nesi memberikan uang Rp1.500.000,00 ditambah uang dari hasil penjualan sapi sebanyak Rp1.500.000,00. Waktu bersalin, Tanta Tian ditemani oleh Kaka Besar dan istrinya yang bertempat tinggal di Soe. Sepulang dari Puskesmas, Tanta Tian dan bayinya tinggal untuk sementara waktu di rumah Kaka Besar hingga Laura berusia satu bulan.
Saat Laura berusia satu bulan, laki-laki yang merupakan ayah biologisnya pulang ke kampung. Itu pun hanya tidur satu malam di rumahnya dan keesokan harinya langsung kembali ke Kupang karena ia takut ditangkap polisi. Laki-laki itu sebetulnya adalah seorang duda yang ditinggal kabur oleh istrinya.
Sejak anaknya berusia tiga bulan, Tanta Tian mulai merasa bahwa anaknya mempunyai gangguan penglihatan. Tanta Tian merasa ada yang aneh dengan mata Laura karena pupil matanya berubah jadi putih. Tanta Tian pun segera mengajak Laura pergi ke Soe, ke rumah salah seorang sepupu Tanta Tian yang selama ini mengurus dirinya dan Laura. Sepupu Tanta Tian, yang biasa disapa dengan sebutan Kaka Besar itu, lalu mengantar mereka ke dokter untuk memeriksakan mata Laura. Dokter ini adalah dokter yang sama dengan yang membantu persalinan Tanta Tian saat Laura lahir.
Setelah diperiksa, dokter berkata bahwa Laura itu tidak boleh diberikan ASI. Jika tetap diberi ASI, kondisi matanya akan sama seperti mata mamanya. Lalu, Tanta Tian menanyakan kemungkinan sembuhnya mata Laura jika disapih. Sayangnya, dokter menjawab matanya tidak akan sembuh. Dokter pun menyarankan Tanta Tian untuk Tanta Tian menyusui Laura dengan payudara kirinya saja untuk mengurangi ASI.
Laura akhirnya diberi ASI hingga berumur 1 tahun 10 bulan. Setelah disapih, Laura diberikan teh manis selama seminggu menggunakan dot. Memasuki minggu ke-2 Laura mulai minum memakai mug. Dari umur 1 hingga 4 tahun Laura selalu diberikan bubur agar tidak sembelit.
Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, Tanta Tian berusaha memberikan makanan yang ia ambil dari kebunnya sendiri seperti jagung dan pisang sebagai makanan tambahan selain nasi.
Semasa berada di Pene, Tanta Tian dan Laura menggantungkan hidup mereka pada kiriman uang dan kebutuhan pokok dari Kaka Besar-nya di Soe dan kiriman uang dari Nesi. Setelah pindah ke Weluli, otomatis hidup mereka dibiayai oleh Nesi. Tetangga kiri-kanan rumah mereka yakni Tanta Mada dan Ibu Amin juga sering memerhatikan mereka seperti memberikan pakaian, makanan, memberikan sirih, pinang, dan tembakau. Bahkan turut membantu saat mereka sakit.
Duka Tanta Tian sebagai Ibu Tunggal Disabilitas dalam Keterbatasan
Sebagai seorang disabilitas yang ruang geraknya terbatas, Tanta Tian tidak bisa bekerja. Namun, itu tidak berarti dia tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Ia bisa mencuci piring, mencuci baju, memandikan Laura dan memberi makan ayam peliharaan mereka.
Sebagai seorang Ibu, Tanta Tian berkeinginan untuk menyekolahkan Laura. Namun, ada banyak kendala seperti Laura yang seorang disabilitas tidak bisa disekolahkan di sekolah umum. Sedangkan, untuk bisa disekolahkan di sekolah khusus itu tidak mungkin karena sekolah khusus hanya ada di Atambua, ibu kota kabupaten yang berjarak 40 km dari tempat tinggal mereka sekarang.
Bukan hanya itu, Tanta Tian dan Laura juga tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) sehingga sulit untuk mendaftarkan Laura sekolah. Sebenarnya, Tanta Tian memiliki KTP tapi KTP tersebut tertinggal di Pene. Di zaman sekarang, jika tidak memiliki kartu keluarga dan KTP maka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sebagai seorang adik yang hidupnya menumpang di rumah kakaknya membuat Tanta Tian tidak ingin merepotkan kakaknya, Nesi, dengan meminta Nesi mengurus surat pindah agar ia bisa membuat KTP dan Kartu Keluarga yang baru. Dalam segala proses ini, Tanta Tian menjalani setiap harinya dengan harapan, dan ketegaran.
Hari ini, Tanta Tian masih hidup sehat, menjalani hari yang menurut orang lain berat tetapi baginya penuh dengan harapan hidup untuknya dan Laura.
Kisahnya mungkin sederhana dan terasa tidak relevan bagi kita dan semua yang kita miliki. Namun, di dalam tubuhnya melekat segala macam ketahanan diri dan perjuangan seorang perempuan disabilitas, ibu, dan rakyat yang tidak mampu bersuara.
Harapan Tanta Tian saat ini hanyalah agar ia diberi umur panjang sehingga bisa mengurus Laura sampai besar nanti. Karena sintas tidak selalu berarti membuang keterbatasan, melainkan berjalan melewati keterbatasan-keterbatasan tersebut.