“Aliran kekuatan feminis konselor kepada korban mempengaruhi korban untuk bertransformasi, mengubah falsafah hidup, perspektif, dan pola pikirnya.” (Sawitri, Konselor Padepokan Perempuan GAIA Yogyakarta)
Bagaimana ciri ruang atau sesi konseling yang membuat kamu nyaman?
Pertanyaan tersebut menjadi pembuka sesi Pelatihan Konseling Berbasis Etika Feminis yang diadakan oleh Perempuan Berkisah dengan dukungan dari Indika Foundation pada 20—21 November 2021. Pertanyaan pembuka inilah yang menjadi dasar dari seluruh rangkaian pelatihan ini. Sebagai seorang pendamping dan/atau konselor, para peserta terpilih yang nantinya akan bertugas mendampingi korban di tujuh wilayah perwakilan, tentu mesti bisa menghadirkan ruang konseling yang nyaman. Refleksi atas hal ini pun menjadi kunci sebelum para peserta mendapat pembekalan yang tentunya akan meningkatkan kapasitas peserta sebagai pendamping korban kekerasan berbasis gender.
Menjawab pertanyaan di atas, enam puluh peserta terpilih sepakat bahwa ruang konseling yang nyaman adalah yang dapat menerima tanpa menghakimi, mendengarkan tanpa menyela, dan mengapresiasi keberanian untuk mencari pertolongan. Konseling akan terasa nyaman saat jauh dari kata menggurui karena saran baru diberikan saat diminta oleh korban. Tutur kata yang lembut diliputi canda juga menjadi suasana yang dipilih sebagai bentuk nyata dari konseling nyaman ala peserta. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan semua itu?
Etika Feminis sebagai Perwujudan Misi Perempuan Berkisah
Menjawab kebutuhan tersebut, Perempuan Berkisah didukung oleh Indika Foundation telah melaksanakan pelatihan kepada enam puluh anggota, terutama tim advokasi, dari tujuh wilayah di Indonesia. Pelatihan ini juga sebagai wujud nyata dari salah satu misi Perempuan Berkisah untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan berbasis pendekatan feminis. Mungkin sebagian pihak akan bertanya-tanya, mengapa berbasis pendekatan feminis? Apa yang membedakan pendekatan feminis dengan model pendekatan konseling lainnya?
Berdasarkan pengalaman dalam mendampingi korban kekerasan berbasis gender, Perempuan Berkisah masih kerap menemukan praktik penanganan kasus yang tidak berpihak kepada korban di berbagai lini. Hal ini berpotensi memicu trauma karena korban kembali disalahkan. Pada akhirnya, proses korban untuk pulih dan berdaya pun menjadi terhambat. Bahkan lebih buruk, banyak korban enggan mencari pertolongan karena risiko menjadi korban berulang jauh lebih besar dibandingkan pemulihan. Itu sebabnya, pendekatan feminis menjadi acuan karena selain mampu menciptakan ruang konseling yang nyaman model pendekatan ini bertujuan untuk mendorong kesadaran kritis transformatif korban. Korban akan diajak untuk berdaya dan bertransformasi sebagai manusia baru yang kita sebut penyintas.
“Aliran kekuatan feminis konselor kepada korban mempengaruhi korban untuk bertransformasi, mengubah falsafah hidup, perspektif, dan pola pikirnya.”
(Sawitri, Konselor Padepokan Perempuan GAIA Yogyakarta)
Bukan Hanya Korban, Konselor pun Harus Berdaya dan Utuh Sebagai Manusia
Pelatihan Konselor Berbasis Etika Feminis hari pertama diisi oleh Sarwitri, Konselor Padepokan GAIA Yogyakarta yang juga berpengalaman mendampingi kasus kekerasan berbasis gender di Komnas Perempuan. Perempuan yang akrab disapa Mbak Wiwit ini telah menerapkan konseling feminis dan terapi selama bertahun-tahun. Pada sesi ini, para peserta diajak memahami perbedaan konseling feminis dengan konseling pada umumnya. Selain itu, Wiwit juga mengulas unsur penting dalam mendukung terciptanya konseling feminis dan mengingatkan peserta mengenai etika konseling feminis. Tidak lupa, Wiwit menjabarkan syarat dan tahapan yang mesti dilakukan untuk menerapkan konseling ini dalam pendampingan korban.
Salah satu pembahasan menarik pada sesi pertama ini adalah mengenai kondisi konselor. Dalam menerapkan konseling feminis dan terapi, Wiwit menekankan pentingnya konselor untuk pulih, berdaya, dan utuh sebagai manusia. Jika tujuan utama konselor adalah membebaskan konseli maka konselor harus mampu membebaskan diri terlebih dahulu dari tekanan dominasi dan ikatan konstruksi sosial budaya yang terkungkung stereotip dikotomis maskulin dan feminin. Jadi, konseling feminis bukan hanya untuk korban atau konseli tetapi juga untuk memberdayakan konselor.
“Ini butuh diskusi mendalam, bagaimana mengenali proses konseling feminis, sebagai kunci dari konseling feminis adalah diawali dari konselornya. Konselor harus pulih dulu, harus jadi manusia baru dulu. Tidak instan tapi dengan proses.”
(Sarwitri, Konselor Padepokan Perempuan GAIA Yogyakarta)
Proses konseling feminis akan selalu mengikuti situasi korban. Jangankan memaksakan kehendak, menasehati atau mendominasi percakapan saja tidak sesuai dalam konseling berbasis etika feminis. Menurut Wiwit, konselor harus dapat menerima kondisi korban yang datang kepadanya dan fokus pada tujuan akhir untuk menyelamatkan korban.
Pada akhirnya, konseling berbasis etika feminis membutuhkan kesadaran gender dan kesadaran feminis dari konselor. Kesadaran pada tindak diskriminasi terhadap perempuan ini mesti diperoleh melalui refleksi tak berkesudahan. Kesadaran ini yang akan membantu konselor untuk menguatkan konseli agar mampu mencapai kesadaran kritis transformatifnya atau dalam sesi ini, Wiwit menyebutnya mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh.
Menerapkan Empati dan Prinsip Pemecahan Masalah untuk Pertolongan Psikologis Pertama kepada Korban
Salah satu layanan yang sangat dibutuhkan tetapi cukup sulit diakses oleh korban kekerasan berbasis gender adalah layanan psikologis. Minimnya SDM berkapasitas di berbagai daerah belum lagi biaya yang mesti dipersiapkan untuk mengakses layanan psikologis sering menjadi kendala bagi para korban. Untuk itulah, pada Pelatihan Konselor Berbasis Etika Feminis di hari kedua, Perempuan Berkisah berusaha memperkuat kapasitas para konselor dengan materi pertolongan psikologis pertama atau Psychological First Aid (PFA)
Materi hari kedua ini diisi oleh Nirmala Ika Kusumaningrum, M. Psi., Psikolog yang telah berpengalaman lebih dari tujuh belas tahun di bidang psikologi dan konseling, terutama dalam penanganan trauma individu dan keluarga. Psikolog klinis yang kini aktif di Psycoach Human Integra ini tidak hanya memaparkan mengenai prinsip dan langkah-langkah pertolongan psikologis pertama, tetapi juga menekankan pentingnya empati dan pemecahan masalah dalam penanganan konseli.
Menurut Ika, pertolongan psikologis pertama dapat dilakukan oleh siapa saja meski tanpa latar belakang pendidikan psikologis. Namun, perlu diingat bahwa pertolongan ini bersifat sementara. Ika menganalogikannya seperti sebuah luka. Alih-alih membiarkan luka tersebut terus menganga tanpa pengobatan, pertolongan psikologis pertama bisa memberi perban sebelum luka mendapat tindak lanjut pengobatan yang diperlukan. Namun, tentu saja dibutuhkan kecakapan konselor sebelum mampu menerapkannya kepada korban. Hal inilah yang menjadi tujuan dari pelatihan hari kedua ini, untuk memberikan para peserta bekal pertolongan psikologis pertama.
“Ini agak beda dengan konseling pada umumnya, karena dia tidak untuk penanggulangan jangka panjang, tujuannya untuk menstabilisasi, minimal meredakan dulu emosinya, tanda-tanda stresnya. Minimal mengembalikan fungsi-fungsinya, mencegah kondisinya memburuk, kita mempersiapkan untuk merujuk ke orang yang lebih kompeten. Kita membantu dia untuk lebih cooling down. Pengertian PFA, ini sama halnya dengan first aid, di psikologi kurang lebih seperti itu, tanggapan pertama, idealnya PFA ini dilakukan segera setelah mengalami peristiwa kekerasan.”
(Nirmala Ika Kusumaningrum, M. Psi., Psikolog Klinis)
Sebagai bentuk pertolongan pertama, PFA bertujuan untuk melindungi konseli dari kemungkinan mengalami situasi yang lebih buruk lagi. Sejalan dengan konseling berbasis etika feminis, PFA juga bermaksud membantu konseli agar dapat kembali bertanggung jawab menjaga dirinya sendiri serta mendapatkan kembali kepercayaan dirinya, yang dalam konteks Perempuan Berkisah disebut sebagai kesadaran kritis transformatif.
Untuk melakukan PFA, Ika menekankan pentingnya empati serta prinsip pemecahan masalah. Seorang konselor mesti bisa menjadi pendengar yang baik dan empatik. Bentuk empati tersebut dapat terwujud dengan belajar memahami perasaan dan pengalaman konseli dengan melihat persoalan dari sudut pandang korban. Meski begitu, di saat bersamaan konselor juga mesti mendukung konseli untuk dapat menemukan pemecahan masalah secara mandiri.
Ika juga mengingatkan pentingnya konselor melakukan relaksasi dan menyelamatkan diri agar bisa mendampingi konseli secara optimal. Konselor bisa memilih bentuk relaksasi yang paling sesuai untuk dirinya karena PFA sendiri selalu meyakini bahwa setiap orang itu unik.
Perempuan Berkisah Tidak Akan Berhenti Tumbuh dan Memberdayakan
Meski pelatihan ini telah berakhir, Perempuan Berkisah tidak akan berhenti untuk tumbuh bersama dan terus memberdayakan anggotanya. Alimah Fauzan, Founder Perempuan Berkisah, menuturkan bahwa setelah ini para peserta akan banyak dilibatkan untuk mendampingi penyintas, baik itu pada sesi konseling di ruang aman Perempuan Berkisah maupun secara langsung di wilayah perwakilan. Pelatihan lain pun akan terus diadakan secara berkala untuk memperkuat kapasitas para peserta yang akan bertugas sebagai konselor dan/atau pendamping korban.
“Saya juga semakin percaya diri bahwa semua konselor dan pendamping yang telah berproses dalam pembelajaran ini sudah siap berbagi kekuatan dan mendampingi korban dalam berproses menjadi penyintas. Penyintas adalah perempuan dengan kesadaran baru, yang telah terdorong kesadaran kritis-transformatifnya.”
Alimah, Founder @perempuanberkisah @konselorfeminis
Pada akhirnya, kita boleh berharap bahwa esok lusa konseling yang aman dan memberdayakan bukan sekadar angan-angan. Perempuan Berkisah akan terus berkomitmen untuk menghadirkan nilai-nilai konseling yang tidak hanya berpihak kepada korban, tetapi juga membentuk kesadaran kritis transformatif korban untuk lahir sebagai penyintas yang berdaya.