Proses artistik memang berpotensi menjadi media komunikasi yang efektif, sekaligus media katarsis untuk melepaskan ketegangan, kecemasan, dan emosi-emosi terpendam dengan cara mengekspresikannya melalui karya seni.
Irma Damajanti, Dosen Seni Rupa ITB.
Sewaktu kecil, Vania Marisca sempat memiliki kebiasaan menggambar ketika sedang mendengarkan orang bicara. Namun, saat masih duduk di bangku sekolah, musisi muda Jawa Timur ini justru mendapatkan pengalaman traumatis terkait perilakunya tersebut.
“Waktu kecil itu saya ada kecenderungan enggak fokus, tidak bisa diam, dan kalau mendengarkan guru tidak bisa hanya mendengarkan saja melainkan sambil menggambar. Tapi lalu gambar saya disobek guru di depan kelas,” tutur Vania dalam sesi diskusi Puan Seni bertajuk Karya Seni, Perempuan, dan Kesehatan Mental, Minggu (27/6/2021).
Dari penggalan cerita itu, tergambar bahwa bullying yang dialami seorang anak tidak melulu peer pressure atau berasal dari teman sebaya. Justru, tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah, yang memiliki peran mendidik dan mengayomi tak jarang malah menjadi pelaku bullying itu sendiri.
Praktik bullying alias perundungan kerap kali menyisakan trauma mendalam bagi korban. Salah satu dampaknya adalah goncangan psikis berkepanjangan. Apabila tak ditangani segera secara tepat, ini berpotensi memicu kemunculan gangguan kesehatan mental.
Goncangan psikis yang dialami Vania membawanya berinteraksi dengan profesional kesehatan jiwa, dalam hal ini psikolog, sejak kecil. Namun, psikoterapi yang dilakukannya tidak berjalan optimal bahkan berhenti di tengah jalan. Alih-alih pemulihan diri, kondisi Vania semakin tidak baik-baik saja.
Selama belasan tahun kemudian, kestabilan mental musisi – yang belakangan juga menggeluti dunia seni kolase – ini kian tak kondusif. Stigma menjadi salah satu ganjalan utama yang membuatnya enggan menjangkau bantuan profesional.
Mulai dari anjuran agar memperbanyak berdoa daripada menjalani psikoterapi, hingga cibiran teman di sekeliling bahwa konseling kepada psikolog maupun psikiater menandakan diri kita gila. Belum lagi, kecenderungan toxic positivity dari praktisi kesehatan jiwa itu sendiri.
Vania bercerita, gangguan mental yang dirasakannya semakin intens muncul sewaktu SMA. Dorongan ingin menyakiti diri bahkan bunuh diri begitu kuat, khususnya saat malam hari. Ini berlangsung selama sekian tahun. Akhirnya, pada Februari 2021, ia memutuskan kembali coba temui psikolog.
Gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) menjadi diagnosa terkini yang ditegakkan atas kondisi yang dialami Vania. Dan sejauh ini, seni menjadi sarana katarsis yang dipilihnya. “Bukan berarti saya mengeluarkan album pada 2018 karena sudah percaya diri, saya berusaha percaya diri,” ucapnya.
Lagu-lagu dan seni kolase yang dibuat, imbuh Vania, ibarat rapalan doa-doa baik yang ditujukan bagi pemulihan diri sendiri. “Dari keterpurukan, saya olah menjadi karya. Dan ini menjadi terapi dan obat bagi diri saya,” kata dia.
Perempuan dan Kesehatan Mental
Beberapa tahun terakhir, khususnya sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, diskursus seputar kesehatan mental semakin menggema. Berdasarkan survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) diketahui ada cukup banyak masalah psikologis selama lima bulan masa pandemi. Berdasarkan data dari layanan swaperiksa masalah psikologis secara daring yang PDSKJI lakukan, terdapat 4010 pengakses layanan. Dari angka tersebut 64,8 persen di antaranya mengalami masalah psikologis. Tiga masalah psikologis yang ditemui yakni kondisi cemas, depresi dan trauma.
Gangguan kesehatan mental dapat dialami perempuan maupun laki-laki. Sejumlah sumber menyebutkan, perempuan memiliki kerentanan lebih tinggi. Nah soal ini, Psikolog Anastasia Satriyo mengutarakan, perempuan di Indonesia memang dilingkupi budaya patriarki yang kuat sehingga cenderung lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Yang lebih penting lagi, mereka yang mengalami mental disorder lantas sulit untuk menjangkau bantuan.
“Dari sebuah riset di Inggris, yang mengalami depresi kebanyakan perempuan tetapi yang sampai melakukan bunuh diri lebih banyak laki-laki. (Adapun) di Indonesia, isu kesehatan mental bagi perempuan kerap terganjal stigma dan struktur patriarki masyarakat,” kata Anas.
Menurutnya, stigma dapat dikikis terutama seiring terbukanya ruang diskusi secara luas yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Dengan kata lain, tidak bisa hanya menyerahkan tugas edukasi kesehatan mental ini kepada konselor, psikolog, maupun psikiater.
“Untuk melawan stigma harus sering dibicarakan isu di ruang publik. Saya selalu percaya, apapun yang kita lakukan secara kolektif akan sangat powerfull. Dan secara statistik, jumlah psikiater dan psikolog klinis itu sangat sedikit. Cuma 5.000 orang untuk 265 juta penduduk Indonesia. Maka, edukasi kesehatan mental harus jadi nafas semua orang,” tutur Anas.
Halodoc.com dalam salah satu artikelnya menyebutkan, masalah yang terjadi pada mental dapat memengaruhi perempuan dan laki-laki dengan cara berbeda. Beberapa gangguan menjadi lebih rentan dan terjadi pada perempuan, seperti depresi den kecemasan. Belum lagi potensi gangguan yang muncul terkait hormonal saat masa menstruasi, hamil, serta pascamelahirkan.
dr. Yuniar SpKJ (K), M.MRS selaku Direktur Utama RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat berpendapat, berbagai masalah kesehatan mental terjadi akibat stres terkait pandemi ini, dan sebagian besar di antaranya memang mengenai kaum perempuan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya faktor risiko yang dimiliki perempuan, yang kemudian menjadi lebih berat dengan adanya pandemi, seperti misalnya kekerasan dalam rumah tangga, masalah hormonal, keterbatasan akses di lingkungan yang belum menerapkan kesetaraan gender, dan lain-lain.
Bagi Yuniar, perempuan diibaratkan sebagai nyawa sebuah bangsa. “Pandemi Covid-19 boleh mengubah bermacam-macam tatanan kehidupan kita, namun perempuan adalah yang menyalakan obor harapan dalam gelapnya pandemi ini. Tetaplah menjaga kesehatan mental di masa pandemi ini,” ujarnya dikutip laman resmi rsjlawang.com.
Katarsis Melalui Seni
Para puan tak tinggal diam demi bisa memulihkan diri dari beragam trauma dan tantangan psikis yang mereka alami. Ada beragam opsi yang kemudian dijangkau para penyintas gangguan kesehatan menta ini. Seperti Vania yang memilih aktivitas berkesenian, seperti musik dan kolase, sebagai sarana pelepasan emosi dan ekspresi diri (katarsis).
Anas membenarkan bahwa seni merupakan sarana terapeutik untuk membantu pemulihan. “Yang pasti, apapun metode pemulihannya, yang terpenting itu bisa bantu kita lebih terhubung dengan diri sendiri, memang seni juga baik untuk membantu seseorang mengekspresikan diri. Orang dengan gangguan mental perlu sarana ekspresi diri secara genuine,” tutur dia.
Soal seni sebagai sarana ekspresi diri yang terapeutik sempat diangkat pula dalam diskusi yang digagas Galeri Nasional Indonesia dengan tema Potensi Terapeutik Seni dalam Proses Kreasi dan Apresiasi di Masa Pandemi Covid-19, tahun lalu.
Dosen Seni Rupa ITB Irma Damajanti, di dalam sesi obrolan tersebut menyatakan, proses artistik memang berpotensi menjadi media komunikasi yang efektif, sekaligus media katarsis untuk melepaskan ketegangan, kecemasan, dan emosi-emosi terpendam dengan cara mengekspresikannya melalui karya seni.
“Proses katarsis bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu secara aktif melalui proses penciptaan karya, dan secara pasif melalui proses apresiasi karya,’’ katanya dikutip dari Jawa Pos.
Karya dalam terapeutik seni ini sesungguhnya tidak terbatas pada karya seni rupa. Hal serupa juga terkandung seni musik, tari, dan seni lainnya. ’’Seni, selain menjadi semacam jendela untuk melihat ke dalam jiwa, juga memperkaya jiwa, bukan hanya bagi senimannya, tetapi juga bagi apresiatornya,’’ tutur Irma.