Katanya Setara, kok Masih Seksis?

Katanya Setara, kok Masih Seksis?

Seksisme dapat dikatakan sebagai salah satu akar masalah ketidaksetaraan gender, karena ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang tidak setara dalam melihat posisi perempuan dan laki-laki.

Dalam unggahan video YouTubenya pada tanggal 26 Desember 2020 lalu, Gita Savitri Devi, atau Gita sebagai nama populernya. Gita merupakan seorang konten kreator, blogger, sekaligus public figure itu kembali menyuarakan opini mengenai gender equality atau kesetaraan gender. Kali ini, ia fokus membahas mengenai fenomena seksisme.

Dalam video berdurasi delapan menit tersebut, Gita mengungkapkan bahwa saat ini kaum perempuan masih mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan seolah menjadi kaum yang termarjinalkan. Ia menyebutkan bahwa setiap kali perempuan ingin mengutarakan atau speak up mengenai ketidakadilan yang mereka terima, baik di lingkaran keluarga, lingkaran pertemanan, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat sekitar, pasti ada saja respon orang-orang yang mengatakan bahwa mereka tidak perlu protes.

Gita juga menegaskan bahwa jaman sekarang hidupnya perempuan sudah enak, sudah diperlakukan secara manusiawi, dan sudah diberi kesetaraan. Hal-hal tersebut rupanya tidak sepenuhnya benar dan terjadi, karena nyatanya, ungkapan-ungkapan seksis kepada perempuan sampai sekarang masih mengakar, dan nampaknya akan sulit hilang walau dunia sudah modern sekalipun. Bahkan, secara tidak sadar kita sendiri justru banyak menormalisasi seksisme di kehidupan sehari-hari.

Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah seksis atau seksisme itu? 

Menurut Cambridge dictionary, Sexism is an (actions based on) the belief that the members of one sex are less intelligent, able, skilful, etc. Than the members of the other sex, especially that women are less able than men. Sedangkan dalam KBBI, Seksisme merupakan penggunaan kata atau frasa yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual.

Mengutip dari situs sosiologis.com bahwa istilah seksisme merupakan perpaduan dua kata yaitu antara “seks” dan “isme”. Seks artinya jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Sedangkan isme artinya bermuatan suatu gerakan, ideologi, serta nilai. Sampai disini kita pahami seksisme sebagai sebuah gerakan, bukan istilah pasif, namun aktif secara sosial.

Gita menyebutkan, seksisme berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat bahwa ada kodrat bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya. Bagi mereka, kodrat ini merupakan hal yang sangat krusial dan fundamental. Impact dari seksisme ini bisa berlipat-lipat tergantung dengan identitas manusianya sendiri, misalnya dari segi umur, etnis, agama, identitas gender, dan orientasi seksual.

Lelaki pun Bisa Jadi Korban Seksisme

Meskipun seksisme ini banyak mengarah ke perempuan, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga mendapatkan perlakuan seksis. Namun dalam kasus kehidupan sehari-hari, perempuan cenderung lebih banyak mendapatkan perlakuan seksis, mengingat bahwa perempuan mempunyai sifat friable atau rapuh.

Seksisme sendiri muncul setelah adanya gerakan feminisme. Dugaan kuat yang diberikan oleh peneliti adalah kemunculannya tidak jauh dengan rasisme. Logika seksisme juga hampir sama dengan rasisme, hanya perbedaannya berbasis pada seksualitas, jenis kelamin dan gender. 

Karena memiliki sifat yang feminin seperti lemah lembut dan halus, kaum perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan membutuhkan perlindungan dari lawan jenis sehingga menempatkan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi baik dalam ruang publik maupun ruang privat atau ruang domestik, sedangkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi. Dalam rumah tangga misalnya, laki-laki selalu dianggap memiliki status sebagai kepala rumah tangga dan perempuan hanya sebagai pendukungnya saja.

Ungkapan-ungkapan Seksisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Sebagai contoh lain, Gita memberikan beberapa ungkapan sebagai bentuk representasi atas tindakan seksis yang dialami perempuan sehari-hari, diantaranya:

1. Perempuan dianggap lemah, precious, dan bahkan disamakan dengan berlian, yang harus dilindungi dan dijaga.

2. Disuruh senyum biar cantik

3. “Marah-marah mulu sih, lagi PMS ya?”

4. Menstruasi yang sering dianggap menjijikan dan memalukan, sampai-sampai si perempuannya sendiri pun merasa malu menyebut kata “pembalut”

5. Perempuan berkarir dihakimi karena menelantarkan anak dan suaminya, meanwhile laki-laki berkarir dianggap #husbandgoal

6. Ibu rumah tangga sering dikira sebagai pengangguran alias “Cuman nganggur aja nih di rumah?”

7. Pink tax atau harga produk untuk perempuan lebih mahal dibanding laki-laki

8. Perempuan harus bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya

9. Perempuan disuruh untuk tidak terlalu tinggi dalam pendidikan karena akan susah mendapatkan pasangan

10. Perempuan dianggap tidak capable jika menjadi seorang pemimpin

11. “Cowok tuh gak boleh cengeng, kaya cewek!”

Sayangnya, Sampai Saat ini Ungkapan Seksisme Masih Dianggap Biasa

Beberapa ungkapan di atas rupanya memang relatable dengan apa yang ada di kehidupan sehari-hari, terlebih saya sendiri merupakan seorang perempuan yang pernah menerima beberapa ungkapan tersebut. Saya juga baru menyadari, ada contoh yang nampak jelas namun sering terabaikan dan dianggap biasa, yaitu iklan-iklan televisi atau media massa yang menggunakan perempuan sebagai penarik perhatian dari beragam macam produk.

Dalam iklan, perempuan dijadikan sebagai hiasan dan cenderung menempatkan perempuan dalam situasi yang sama. Perempuan juga dijadikan sebagai objek serta target iklan yang berada dalam bayang-bayang dominasi laki-laki. Cukup mengerikan dan membuat saya tersadar bahwa tindakan seksis ini tidak baik terhadap mental kaum perempuan.

Terakhir, menurut Gita sendiri, masalah ketimpangan gender itu sebenarnya berkaitan. Masing-masing reinforcing dan complementary terhadap satu sama lain. Kalau kita menyepelekan seksisme yang nampak terlihat harmless, secara tidak sadar kita akan menerima ide seksisme itu sendiri dan secara tidak langsung kita akan melanggengkan gender equality.

Pemahaman akan seksisme ini memang masih minim bagi masyarakat, sehingga cenderung dianggap biasa saja dan merupakan sesuatu yang wajar dan normal. Akibatnya, kaum perempuan hanya bisa pasrah dan menjalani apa yang sudah menjadi hakikat dan kodrat dirinya, karena jika mereka speak up, paling-paling akan dianggap sebagai angin lewat.

Sampai saat ini, unggahan video Gita mengenai seksisme tersebut telah ditonton sebanyak sembilan puluh ribu kali dan banyak mengundang komentar dari khalayak umum khususnya kaum perempuan milenial yang ramai-ramai membagikan pengalaman mereka ketika mengalami tindakan seksis.

Seksisme dapat dikatakan sebagai salah satu akar masalah ketidaksetaraan gender, karena ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang tidak setara dalam melihat posisi perempuan dan laki-laki. Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk ucapan, perlakuan dan aturan yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Salah satu dampak yang bisa kita lihat adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.