LBH APIK: Komitmen Negara dalam Pelindungan  kepada Korban Kekerasan masih Lemah

LBH APIK: Komitmen Negara dalam Pelindungan kepada Korban Kekerasan masih Lemah

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta menilai bahwa sampai saat ini komitmen negara dalam pelindungan kepada korban kekerasan masih lemah. Hal tersebut diungkapkan LBH Apik dalam pernyataan siaran pers pada Kamis (7/01/2021). Dalam pernyataan tersebut, LBH Apik juga mengungkap catatan pengaduan dan penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan oleh LBH APIK Jakarta sepanjang tahun 2020 dapat disimpulkan bahwa Komitmen Negara dalam perlindungan  kepada korban kekerasan masih lemah. 

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta, pada tahun 2020 terdapat 1.178 aduan yang masuk ke LBH Apik Jakarta. Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan tahun 2019 yaitu sebanyak 794 kasus dan terbesar dalam 5 tahun terakhir. Kenaikan angka tersebut ditengarai merupakan imbas sejumlah kebijakan pembatasan penanganan Covid-19 dari Pemerintah yang tidak mempertimbangkan rasa keadilan terhadap perempuan, kesetaraan gender serta memperhatikan kepada kelompok rentan. 

Salah satu kasus yang mengalami peningkatan selama pandemi adalah kasus kekerasan seksual baru berbasis gender online (KGBO) yang difasilitasi oleh teknologi secara daring. KGBO meningkat tajam di masa pandemi ini sebanyak 7 kali lipat jauh sebelum pandemi.   

Menurut catatan LBH Apik Jakarta, dampak yang dialami korban KBGO adalah mengalami ketakutan, trauma. Korban juga rentan mendapat ancaman penyebarluasan data pribadi, penyebaran visual intim dan berpotensi mengalami kriminalisasi dengan jeratan Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang ITE dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Contoh kasus yang saat ini terjadi, yakni yang menimpa GA, yang telah ditetapkan menjadi tersangka akibat beredar rekaman pribadinya di media sosial pada akhir Desember tahun 2020.  

Adapun rincian 1.178 pengaduan yang masuk ke LBH Apik tahun 2020, di antaranya:

  1. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)  418 Kasus.
  2. Poligami 12 kasus.
  3. Perdata keluarga  28 Kasus.
  4. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) 307 kasus.
  5. Kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa 80 kasus.
  6. Kekerasan seksual terhadap anak 16 kasus.
  7. Kekerasan dalam pacaran (KDP) 92 kasus.
  8. Tindak pidana umum 51 kasus.
  9. Ketenagakerjaan sebanyak kasus
  10. Kasus trafficking 2 kasus.
  11. Pemaksaan orientasi seksual 8 kasus.
  12. Hak anak 35 kasus.
  13. Komunitas pelanggaran hak dasar  23 kasus.
  14. Kasus di luar klasifikasi LBH APIK Jakarta 51 kasus
  15. Kasus disabilitas 20 kasus.
  16. Kekerasan seksual anak laki-laki 5 kasus.

Catatan Refleksi LBH APIK tahun 2020

Dari catatan refleksi penanganan kasus LBH APIK Jakarta disimpulkan bahwa sepanjang 2020:

Kondisi penegakan hukum masih belum membaik seperti yang diharapkan, karena penanganan kasus masih memiliki pola struktural yang sama dari tahun ke tahun,   yakni aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat yang masih kurang berperspektif pada korban dan minimnya pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan berbasis gender dengan baik. 

Situasi ini juga diperkuat dengan dukungan budaya hukum di masyarakat yang masih lemah untuk memberikan dukungan terhadap perempuan korban kekerasan. Hal ini seringkali memberi dampak negatif pada korban berupa reviktimisasi, dikriminalkan atau dianggap dirinyalah yang harus bertanggung jawab atas kekerasan yang dialaminya. 

Sementara dalam hal advokasi kebijakan, meskipun terdapat sejumlah capaian di tingkat nasional, LBH APIK Jakarta melihat bahwa hukum formal pidana belum menempatkan perempuan korban menjadi subyek hukum yang harus dilindungi sehingga kelompok perempuan rentan menjadi korban. 

Karenanya, LBH APIK Jakarta mengupayakan adanya Rancangan Undang–Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT), atau melakukan revisi KUHP atau UU Perkawinan yang mengakomodir kepentingan perempuan korban, sehingga hak-hak perempuan menjadi terjamin dan terlindungi oleh negara. 

Bukan malah mempertahankan bias kelas dan stereotipe pada perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga yang tentunya akan memperburuk situasi keluarga dan mempertajam ketimpangan antara posisi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga.

Untuk Advokasi di tingkat daerah, terdapat sejumlah capaian dengan masuknya isu perempuan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang tertuang dalam PERGUB DKI Jakarta Nomor 156 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017-2022 di DKI Jakarta. 

Meskipun begitu, disisi lain, komitmen soal kebijakan bantuan hukum yang berpihak pada perempuan korban dan kelompok rentan hingga saat ini masih belum mendapat tempat untuk dibahas dalam prioritas dalam prolegda pada tahun 2021. 

Rekomendasi LBH APIK Jakarta

Dari seluruh Catahu yang telah dihimpun di tahun 2020, LBH APIK Jakarta merekomendasikan beberapa hal ini kepada pemerintah, DPR RI, Aparat Penegak Hukum serta pihak yang memiliki wewenang untuk segera mewujudkan ruang aman, dengan kebijakan sebagai berikut:

1) Terapkan kebijakan penanganan COVID-19 yang mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender  serta memperhatikan kelompok rentan.

2) Penerapan kebijakan physical distancing harus disertai dengan sosialisasi dan peningkatan kesadaran baik di media cetak maupun elektronik agar sampai ke setiap keluarga di Indonesia tentang pentingnya berbagi peran dalam rumah tangga dan pencegahan terjadinya kekerasan.

3) Penyediaan layanan Rumah Aman yang mudah dijangkau oleh korban kekerasan dan terpastikannya korban kekerasan mendapatkan layanan tes COVID-19 secara gratis.

4) Menolak dibahasnya RUU Ketahanan Keluarga karena RUU ini justru akan semakin mempertajam ketimpangan antara posisi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Pada pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga lebih banyak memberikan beban kepada istri sekaligus mengekalkan stereotip peran gender sehingga perempuan menjadi lebih rentan mengalami KDRT. RUU ini jelas  melanggar UU RI No 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita serta UU HAM.

5) Tingginya kasus KDRT baik pada masa pandemi ini maupun sebelumnya,  membuktikan bahwa struktur keluarga dengan relasi gender yang timpang tersebut sudah harus direkonstruksi. UU Perkawinan saat ini masih membakukan peran gender perempuan dan laki-laki dalam pasal 31 dan 34. Ketentuan ini juga harus diamandemen, bukan justru  direproduksi melalui RUU Ketahanan Keluarga yang tentunya akan semakin memperburuk situasi keluarga, terutama bagi  perempuan dan anak.

6) Segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

7) Segera merevisi UU ITE yang banyak memakan korban dan sering digunakan pelaku dalam upaya pembungkaman terhadap korban.

8) Menegakkan implementasi UU PKDRT, UU TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.

9) Memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (SPPT PKKTPA), termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.