Self Censorship: Respon Korban Menghindari Pelaku, namun Tidak Menghentikan Aksi Kekerasannya

Self Censorship: Respon Korban Menghindari Pelaku, namun Tidak Menghentikan Aksi Kekerasannya

Self Censorship adalah paradoks, di satu sisi merupakan respon alami dari korban untuk menghindari kekerasan berbasis gender, tapi di sisi lain malah membuat pelakunya makin melakukan kekerasan.

Monica Nixia C

Sebagai seorang Female Pro Gamer, Monica Nixia C yang berkarir di dunia game,  mengaku kerap mendapatkan komentar-komentar negatif dan melecehkan khususnya  mengenai caranya berpakaian saat menggunakan seragam tim. Nexia menganggap, komentar-komentar tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di ranah online. Karena itu, dia memilih untuk mengabaikannya atau memblokir akun-akun yang mengirimkan komentar-komentar tidak pantas. Kejadian itu juga membuatnya jadi lebih berhati-hati dalam memilih kostum saat akan mengikuti turnamen atau main game online. 

“Kita juga gak tahu, kalo ternyata ini tuh termasuk dalam kekerasan, jadi kita anggapnya ya udah biarin aja deh. Yang penting orang yang melakukan kekerasan komen itu ga nyampe dateng ke real life,” ungkap Nixia yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam acara SDGs Talks bertajuk What Women Want: Cyber Safety, Jumat (16/12/2020) pekan lalu. 

Menurut Neqy dari PerEMPUan, hal yang dilakukan oleh Nixia merupakan metode yang disebut dengan Self Censorship,  atau melakukan pembatasan diri dalam bergerak maupun berinteraksi baik offline maupun online. Self Censorship adalah karakteristik utama dari respon korban ataupun respon pihak-pihak yang mengalami kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual. 

Self Censorship di dunia online dilakukan,  karena korban ingin menciptakan rasa aman untuk dirinya sendiri, dan juga karena tidak adanya mekanisme yang bisa membuat korban merasa aman saat berinteraksi di ranah online. 

Meskipun merupakan bagian dari respon alami, melakukan self censorship malah membuat korban menjadi terbiasa membatasi diri sendiri dan masyarakat pun akhirnya memiliki respon yang sama, sehingga korban KBGO makin tidak bisa beraktualisasi diri. Sementara dari sisi lain, pelaku kekerasan justru makin melakukan kekerasan karena korban tidak melakukan perlawanan sama sekali.

Neqy juga mengungkapkan, kekerasan seksual selama ini masih dianggap sebagai kesalahan yang dilakukan oleh korban. Padahal, kesalahan yang terjadi justru ada pada pelaku yang melakukan kekerasan, bukan pada korban. 

Melakukan pengabaian untuk menghindari tindak kekerasan di dunia maya, memang menjadi salah satu hal yang banyak dilakukan oleh korban yang mengalami KBGO, namun hal ini  tidak serta merta menghentikan pelaku kekerasan untuk terus menyerang korbannya. 

“Karena no matter what, itu pasti akan ada netizen yang merespon kayak gitu, karena kesalahannya ada di tangan pelaku,” tukas Neqy. 

Melihat gambaran situasi ini, akar penyebab terjadinya KBGO di Indonesia sendiri menurutnya antara lain karena:

  1. Masih banyak masyarakat yang gagap akan teknologi.
  2. Ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana berinteraksi yang aman di ranah online. 
  3. Masih banyak yang tidak paham literasi digital dan kerentanan mereka saat memposting sesuatu secara online, ataupun mengirimkan file digital.

Berangkat dari ketidaktahuan tersebutlah yang menyebabkan banyak orang yang berperilaku tanpa berwaspada saat berada di dunia maya.

“Jadi ada langkah yang menghambat terkait dengan edukasi, bagaimana caranya kita menciptakan ruang online yang aman dan nyaman buat semua orang terkait,” katanya. 

Terapkan SOP untuk Melindungi Komunitas dari KBGO

Menurut Neqy, berkaca dari keterbatasan aturan hukum yang selama ini menjadi rujukan jika terjadi kekerasan khususnya kekerasan seksual, maka perlu adanya mekanisme-mekanisme tersendiri untuk melakukan pencegahan terhadap kekerasan berbasis gender online (KBGO). Hal ini perlu dilakukan karena aturan-aturan hukum yang ada selama ini tidak memfasilitasi kelompok umur diatas 18 tahun yang justru lebih rentan menjadi korban KBGO. 

Padahal, pengguna aktif media sosial di Indonesia, berdasarkan data dari situs We Are Social per November 2019, terkait usia pengguna usia aktif media sosial Instagram adalah kelompok usia 18 tahun sampai 34 tahun. Artinya, adalah irisan usia  yang di satu sisi sama sekali tidak terlindungi aturan hukum jika mengalami kekerasan seksual khususnya online. Di sisi lain, kerentanan kelompok ini di ranah online menjadi berlapis dibandingkan kelompok umur lain.

Sehingga, yang perlu difokuskan dalam pencegahan KBGO adalah membuat aturan yang bisa melindungi minimal dimulai dari lingkup komunitas. Caranya dengan membuat ground rules atau Standard Operating Procedure (SOP) sederhana untuk menciptakan ruang aman dan nyaman di lingkungan masing-masing. Selain itu, kebijakan juga perlu dibuat baik dari tataran negara atau dari institusi dimana mereka berada, serta dari aplikasinya sendiri. 

Sosialisasi Penggunaan Internet Yang Aman

Kasubdit/Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Reinhard Hutagaol, S.I.K yang juga hadir sebagai Pembicara pada diskusi multidimensi tersebut mengatakan, Dittipidsiber Bareskrim Polri memiliki unit khusus yang menangani permasalahan perempuan dan anak terkait KBGO, sehingga pelaporan dapat dilakukan di Bareskrim Polri ataupun di tingkat Polda dengan membawa persyaratan, yaitu percakapan yang di screenshot atau file-file terkait, sebagai alat untuk mengembangkan kasus yang dilaporkan. 

Menurut Reinhard, yang perlu dilakukan untuk mengatasi maraknya kasus KBGO, khususnya Sextortion dan Love Scam adalah dengan memberikan sosialisasi tentang bagaimana menggunakan internet yang aman dan KBGO bagi pengguna perempuan. Sosialisasi tersebut sangat penting, karena faktanya korban-korban yang mengalami kekerasan tersebut berasal dari kalangan yang berpendidikan, memiliki jabatan dan berkecukupan secara finansial. Ditambah lagi, pelaku menggunakan metode social engineering untuk menjerat para korbannya. 

“Artinya tidak memberikan data yang massive kepada tersangka untuk bisa membuat tersangka melakukan social engineering terhadap calon korbannya,” ucapnya. 

Inovasi Kebijakan, Fitur, Teknologi, dan Pendidikan Literasi DIgital

Sementara Desy Septiane Sukendar Facebook menuturkan, Facebook memiliki beberapa kebijakan dan inovasi untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan anggota komunitas yang dikombinasikan dengan alat-alat, fitur dan teknologi serta mempromosikan sumber daya untuk meningkatkan kewargaan komunitas. 

Kebijakannya antara lain:

  1.  Melakukan kontrol terhadap penggunaan nama asli dan penertiban terhadap akun-akun yang melanggar karena mencantumkan informasi palsu. 
  2. Tidak mengizinkan para pengguna akun untuk melakukan  ancaman untuk mengekspos gambar yang tidak pantas atas dasar kepentingan apapun.
  3. Facebook memberikan fasilitas-fasilitas tertentu seperti form yang bisa dikirimkan ke portal aduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah online.  Form ini juga dibagikan kepada rekanan NGO. 
  4. Menyediakan fitur seperti blocking, mengelola komen ,dan restricting account. Fitur-fitur ini merupakan insight yang didapatkan dari pembelajaran terkait dengan bullying

Selain mengkombinasikan alat, fitur dan teknologi dan sebagai inovasi dalam menjaga keamanan para pengguna platform, Facebook juga fokus pada mempromosikan sumber daya untuk meningkatkan kewargaan digital. Facebook bersama dengan pihak-pihak seperti Kominfo terus menyuarakan tentang literasi digital. Hal ini sebagai suatu hal yang fundamental untuk pencegahan permasalahan yang terjadi tidak hanya terkait dengan KBGO,tapi juga untuk semua bentuk penyalahgunaan pada platformnya.

Pihak UNDP Indonesia yang diwakili oleh National Project Coordinator Restore Project, Lulu Muhammad mengungkapkan, Upaya UNDP Indonesia mendukung penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan juga anak melalui dalam bentuk penyusunan SOP  sebenarnya sudah berjalan sebelum covid-19. Selama pandemi berlangsung, pihaknya melihat isu-isu Kekerasan Berbasis Gender  justru makin meningkat secara signifikan.

Langkah yang diambil UNDP Indonesia dalam merespon fenomena ini dilakukan dengan memfasilitasi pihak-pihak yang berkepentingan dan para pemangku kepentingan, untuk bisa mendapatkan informasi atau pengetahuan yang memadai bagaimana menangani kasus-kasus yang muncul yang volumenya sangat melesat tinggi. 

“Kami percaya diri bahwa dukungan UNDP untuk bagian GBV ini, akan sangat strategis dan penting.” katanya

Selain itu, perlu juga memfasilitasi dan meningkatkan kapasitas-kapasitas Frontline, tidak hanya dalam penyusunan SOP yang melibatkan para pemangku kebijakan serta penguatan kapasitas, tapi juga dengan memberikan alat-alat perlindungan diri. Alat-Alat ini digunakan agar dapat memberikan kenyamanan bagi si Pelapor saat kasusnya akan ditangani selama masa pandemi, sekaligus menjaga agar tidak muncul cluster-cluster covid-19 yang baru.

“Ini penting, kita tidak mau memberikan dukungan tapi malah meningkatkan risiko bahwa Covid-19  ini menyebar dari hal-hal yang sebenarnya bisa kita antisipasi,” Jelas Lulu. 

Webinar SDGs Talks bertajuk What Women Want: Cyber Safety diadakan oleh UNDP Indonesia bekerja sama dengan Magdalene.co. Kegiatan ini merupakan bagian dari strategi dan komunikasi yang UNDP Indonesia lakukan dalam rangka mempromosikan pesan penting dari Sustainable Development Goals (SDGs) 

Acara yang juga bertepatan dengan 16 Days of Activism Melawan Kekerasan Berbasis Gender dibuka oleh Sophie Kemkhadze dari UNDP Indonesia dan dimoderatori oleh Puri Anindita, News Anchor JawaPos Tv.