“Kamu opname di bangsal psikiatri selama dua minggu kemarin karena mau bunuh diri?!” tanya seseorang kepada orang lain di sampingnya.
Menggunakan nada rendah dan sedikit tergagap dijawab, “I.. iya”.
“Oh, kayaknya, sebenarnya kamu sedang lemah iman dan kurang perhatian saja itu,” respon si oknum yang bertanya tadi.
Percakapan singkat di antara seseorang dengan penyintas percobaan bunuh diri di atas mungkin ada yang pernah mendengar juga. Barang kali tidak persis sama penuturannya, tetapi memiliki maksud serupa.
Jika saya yang ditanya dan direspon demikian, bisa jadi akan merasa sangat disudutkan, jatuh secara mental. Sakit hati, bahkan. Kenyataannya, stigma semacam ini terus ada. Bahwa, orang yang berusaha mengakhiri hidupnya hanya ingin mencari perhatian.
Stigma tersebut diamini Into the Light (ITL), sebuah komunitas yang fokus kepada advokasi, kajian, serta edukasi seputar pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental. Sebenarnya, cibiran soal “mencari perhatian” tersebut hanya satu dari sekian banyak stigma yang melekat terhadap tindakan maupun percobaan bunuh diri.
Faktanya? “Mencari perhatian hanya berasal dari persepsi yang salah,” jelas ITL di dalam paparan tertulis di laman resminya. Lebih lanjut dikemukakan, “saat seseorang mengalami rasa sakit yang terlampau besar, ia akan kehilangan kemampuan untuk mengatur emosi negatif. Ini menyebabkan perilaku suicidal muncul, yang (kerap) dianggap sebagai aksi cari perhatian bagi mereka yang tidak paham. Mereka yang berbicara atau berusaha untuk mengakhiri hidup banyak yang sebenarnya mengalami kecemasan, depresi, dan rasa putus asa berkepanjangan, terlebih merasa tidak memiliki solusi apapun.”
Sesungguhnya, kondisi seperti yang dijelaskan di atas mengindikasikan bahwa seseorang yang secara intens membahas bahkan berupaya bunuh diri itu sedang membutuhkan pertolongan sesegera mungkin.
Dan sejujurnya, saya memberanikan diri membahas tentang topik ini lantaran kerap merasakan ada yang “mengganjal” di dalam hati. Rasa ini sering muncul setiap kali teringat tentang pengalaman menyangkut tindakan bunuh diri seorang kawan, sosok yang ceria dan sungguh ramah.
Citra Diri Juan
Ceria, dalam tanda kutip. Ramah, dalam tanda kutip. Dua poin ini menjadi kesan utama saya terhadap sosok Juan (bukan nama sebenarnya). Tak ada yang menyangka bahwa pria muda yang tangannya pandai melakukan seni potong kertas itu akhirnya memutuskan bunuh diri. Sekitar 4 tahun lalu, pada usia 20-an awal.
Ya, persepsi terhadap sosok Juan bahwa dia adalah pemuda yang ceria dan ramah perlu mendapat tanda kutip. Mengindikasikan, keceriaan dan sikap ramahnya semu. Ternyata, di balik citra diri ini ada sosok manusia yang sedang berjuang melawan (atau berkawan?) dengan psikotik dan paranoid, yang menyebabkan begitu bisingnya ruang dengar di dalam kepala.
Entah apa yang persis dirasakan Juan dan entah apa yang sesungguhnya dia alami, yang pasti keputusan bunuh diri benar-benar diambilnya kala itu. Orang-orang terdekat seperti keluarga bertanya-tanya; “Ada apa atau mengapa?”. Kejadian ini menyisakan trauma dan rasa kehilangan mendalam bagi sang orang tua.
Ponsel saya berdering beberapa pekan selepas melayat Juan. Itu pesan dari ayahnya, bertanya tentang layanan kedokteran jiwa terdekat yang bisa dijangkau. Dengan kata lain, si bapak sedang mencari rekomendasi psikiater maupun psikolog terdekat (pasalnya, rumah kami masih satu kota). Selepas kepergian Juan, giliran orang tuanya yang membutuhkan bantuan profesional untuk membantu menenangkan gejolak trauma pada diri mereka.
Di atas hanya sekelumit cerita yang selama ini saya simpan dalam hati. Sebab saya takut, merasa itu tabu, sehingga sungkan untuk mengemukakan. Tapi akhirnya, dari berkali-kali kilas balik memori tentang sosok kawan bernama Juan tersebut, serta berangkat dari pengalaman personal, saya memberanikan diri untuk membahasnya secara terbuka.
Mengapa?
ITL menyatakan, apabila pertanyaannya adalah mengapa, “mengapa seseorang melakukan bunuh diri?”, maka jawabannya; tidak ada penyebab tunggal atau penyebab pasti. Pasalnya, tindakan ini sering kali muncul karena tekanan-tekanan yang datang melebihi batas kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Apa yang ada kemudian menyebabkan perubahan kondisi kesehatan mental seseorang.
“Bunuh diri paling sering terjadi saat faktor-faktor yang memberi tekanan, dan masalah kesehatan mental, terjadi bersamaan sehingga menciptakan rasa putus asa,” tulis ITL dalam laman resminya.
Sejumlah pendapat menyatakan, bunuh diri dipicu oleh gabungan faktor terkait biologis, psikologis, dan sosial/kultural. Konteks biologis terkait bagaimana tubuh manusia bereaksi atas kondisi fisiologis, biokimia, dan genetik. Aspek psikologis menyangkut kesadaran pikiran dan kondisi kejiwaan seseorang. Sementara sisi sosial banyak terkait dengan lingkungan, dan interaksi dengan orang lain atau hubungan sosial. Kompleks.
WHO memperkirakan lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Bunuh diri juga menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada rentang usia 15 – 29 tahun. Sayangnya, stigma seputar bunuh diri menjadikan banyak kasus tidak dilaporkan atau tak diketahui. Alhasil, jumlah sesungguhnya diperkirakan mencapai beberapa kali lipat lebih tinggi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) turut mengemukakan, “ketika ada satu orang meninggal karena bunuh diri, diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri. Setiap kasus bunuh diri merupakan tragedi yang mempengaruhi keluarga, teman, dan masyarakat, serta berakibat jangka panjang bagi orang-orang yang ditinggalkan”.
Guna melihat gambaran terkini di Indonesia, kita dapat menengok kajian dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. PDSKJI sempat melakukan analisis data terhadap 4.010 swaperiksa saat pandemi Covid-19 ini. Hasilnya, satu dari lima responden memiliki pemikiran tentang “lebih baik mati”. Pikiran kematian terbanyak pada usia 18 – 29 tahun. Sekitar 15 persen responden memikirkan “lebih baik mati” setiap hari, dan 20 persen lainnya terpikir hal sama selama beberapa hari dalam sepekan.
Jika diibaratkan, tindakan bunuh diri serupa puncak dari sebuah gunung es. Sungguh, ada begitu banyak emosi, pengalaman, dan perasaan di bawah atau di dalam gunung tersebut. Sementara itu, saya juga meyakini, bunuh diri bukan solusi, melainkan gejala gangguan/penyakit tertentu dan selayaknya penyintasnya didukung untuk segera mencari pertolongan.
Ah, entahlah. Saya sadar, mungkin ini bukan momen yang benar-benar tepat untuk berbicara tentang bunuh diri, toh Hari Pencegahan Bunuh Diri maupun Hari Penyintas Kehilangan Bunuh Diri sudah berlalu. Tapi, saya tak tahu pula kapan waktu yang tepat untuk membahasnya.
Yang pasti, ketahuilah, mereka yang memiliki dorongan bunuh diri mungkin tidak seutuhnya ingin mati, melainkan ingin menyudahi rasa “sakit” yang terasa di dalam diri. Jangan remehkan kemampuan kita untuk membantu seseorang agar lebih terbuka membicarakan dorongan suicide di dalam dirinya. Pembicaraan kecil yang terjalin antara kita dan mereka mungkin saja dapat menyelamatkan nyawa.