Penyebaran Video Intim: Perempuan Sebagai Korban Berlipat atas Penghakiman, Hujatan atau Stigma

Penyebaran Video Intim: Perempuan Sebagai Korban Berlipat atas Penghakiman, Hujatan atau Stigma

Merespon kasus yang menimpa GA (Perempuan) atas penyebaran video intimnya bersama MYD (Laki-laki) menyebabkan GA bukan hanya sebagai korban atas penyebaran video intim tanpa konsensus, namun juga korban atas sekian objektifikasi seksualitas, penghakiman, hujatan dan stigma.

Komnas Perempuan melalui pers rilisnya pada 30 Desember 2020, juga mengingatkan bahwa dalam kasus-kasus yang terkait moralitas, terdapat dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Dampak yang dialami oleh perempuan lebih besar dan mendalam daripada yang dialami laki-laki. Hal ini terkait dengan konstruksi masyarakat tentang posisi perempuan sebagai simbol moralitas publik. Penghakiman, hujatan atau stigma akan lebih tertuju kepada pihak perempuan. Hal ini juga tampak pada model pemberitaan yang memuat penyebutan nama lengkap GA, namun menggunakan inisial untuk laki-laki, dan yang mengaitkannya dengan peran GA sebagai ibu. Situasi ini menghalangi perempuan dapat mengakses dukungan di dalam proses hukum dan perlu menjadi perhatian khusus dalam pemulihan korban.

Berikut adalah pers rilis Komnas Perempuan selengkapnya dalam merespon kasus GA:

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap PerempuanPenyikapan Terhadap Penetapan GA sebagai Tersangka Tindak Pidana Pornografi dan Pemberitaannya

“Fokuskan Proses Hukum pada Pendistribusian dan Hentikan Reviktimisasi Korban melalui Penerapan UU Pornografi”

Jakarta, 30 Desember 2020

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan penetapan GA dan MYD sebagai Tersangka karena keduanya adalah korban dari Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG). Juga, pemberitaan media massa maupun media sosial yang telah menghakimi kehidupan pribadi GA. Penetapan ini terkait beredarnya sebuah video intim pada November 2020 dan menjadi perhatian publik khususnya warganet hingga penghujung Desember 2020. Pada 29 Desember 2020, Polda Metro Jaya telah menetapkan GA dan MYD dengan sangkaan melanggar Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 29 atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa UU Pornografi sudah bermasalah sejak awal pembentukannya. Pembahasan UU ini telah menimbulkan polemik dan protes yang keras dari berbagai kalangan. Kritik terhadap UU Pornografi di antaranya yaitu: Pertama, berpotensi mengurangi hak atas rasa aman terutama akibat perumusan hukum yang condong melakukan kriminalisasi warga dengan penghakiman moralitas. Kedua, berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dan mengurangi jaminan perlindungan hukum akibat perumusan frasa-frasa dalam UU Pornografi yang bersifat multitafsir. Ketiga, berpotensi mengkriminalkan korban kekerasan seksual akibat ketidakmampuan UU Pornografi dalam melihat perempuan sebagai korban kekerasan berbasis gender, termasuk dalam konteks industri pornografi. Persoalan-persoalan tersebut telah disampaikan Komnas Perempuan, termasuk ketika menjadi pihak terkait dalam uji materi UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (Perkara No.10/PUU-VII/2009, No.17/PUU-VII/2009, dan No.23/PUU-VII/2009).

Potensi berkurangnya hak atas rasa aman dan perlindungan hukum, dan sebaliknya mengalami kriminalisasi, menjadi nyata ketika UU Pornografi digunakan untuk menjerat perempuan yang sebetulnya dalam posisi dikecualikan di dalam UU Pornografi, yaitu:

1. Pasal 4 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan…” di mana dalam penjelasannya secara tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

2. Pasal 6 yang menyatakan “Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi..” Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

3. Pasal 8 yang menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Yang dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Sejak penerapan UU Pornografi, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan kasus kriminalisasi yang dialami oleh perempuan yang semestinya dikecualikan dari pemidanaan, termasuk (1) Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan (2) Korban KSBG berbentuk penyebaran konten intim non konsensual. Dalam kasus terkait TPPO, salah satunya adalah korban dari tindak suaminya yang merekam, menyebarkan dan memperjualbelikan video hubungan seksual korban. Korban kemudian dipidana penjara selama 3 tahun dan denda 1 milyar, karena dinilai melanggar pasal 8 jo. pasal 34 UU Pornografi. Sementara itu, sejak Januari hingga awal Oktober 2020, Komnas Perempuan telah menerima 659 kasus KSBG di antaranya ancaman dan penyebaran konten intim. Pola kedua inilah yang menimpa GA (dan MYD). Dalam kasus GA dan MYD, keduanya melakukan hubungan seksual dan merekamnya tidak untuk ditujukan kepentingan penyebarluasan ke publik.

Merujuk kepada pengaturan dalam UU Pornografi, Komnas Perempuan berpendapat bahwa GA dan MYD semestinya tidak dapat dikenakan ketentuan pemidanaan, melainkan pengecualiannya. Dalam kasus ini, fokus aparat penegak hukum (APH) semestinya diberikan pada persoalan pendistribusian muatan tersebut. Kepolisian perlu menyegerakan proses hukum pada pihak yang menyebarkan video tersebut yang menyebabkan konten pribadi dapat diakses oleh publik dan sebaliknya memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat penyebarluasan informasi privacy-nya. Langkah ini berkontribusi membangun budaya hukum yang lebih berkeadilan dan juga mengurangi distraksi pada berbagai persoalan mendesak yang membutuhkan atensi intensif dari APH dan publik.

Langkah ini juga berkesesuaian dengan upaya mewujudkan tanggungjawab konstitusional negara, terutama pada Pasal 28D UUD NRI 1945 yang menjamin hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil, dan Pasal 28G ayat (1) yang menjamin hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, dan atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Jaminan hak ini juga ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia mengenai atas hak rasa aman, tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Juga, pada UU No. 12 tahun 2005 yang mengesahkan Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik dimana pada Pasal 9 ayat (1) Kovenan tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Serta, UU No. 7 Tahun 1984 yang mengesahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, khususnya pada Pasal 2 mengenai tanggung jawab negara pada perlindungan hukum bagi perempuan.

Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa dalam kasus-kasus yang terkait moralitas, terdapat dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Dampak yang dialami oleh perempuan lebih besar dan mendalam daripada yang dialami laki-laki. Hal ini terkait dengan konstruksi masyarakat tentang posisi perempuan sebagai simbol moralitas publik. Penghakiman, hujatan atau stigma akan lebih tertuju kepada pihak perempuan. Hal ini juga tampak pada model pemberitaan yang memuat penyebutan nama lengkap GA, namun menggunakan inisial untuk laki-laki, dan yang mengaitkannya dengan peran GA sebagai ibu. Situasi ini menghalangi perempuan dapat mengakses dukungan di dalam proses hukum dan perlu menjadi perhatian khusus dalam pemulihan korban.

Sehubungan dengan hal ini, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:

1. Kepolisian Republik Indonesia untuk:

a. Memfokuskan dan menyegerakan penanganan penyebaran video bermuatan intim ini pada proses hukum dari pihak yang melakukan penyebarannya,

b. Menghentikan penyidikan pada pihak yang dirugikan atas penyebarluasan muatan intim yang dimaksudkan untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri, yang sesuai dengan ketentuan hukum bukanlah merupakan tindak pidana,

c. Mengembangkan kebijakan dan program penguatan kapasitas dalam penanganan kasus perempuan berhadapan dengan hukum agar peka pada persoalan kekerasan berbasis gender, terutama dalam perkembangan kekerasan seksual di ranah siber sehingga dapat memberikan perlindungan hukum pada pihak yang mengalami pelanggaran hak privasinya;

2. DPR RI agar merevisi UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi untuk memutus keberulangan kriminalisasi dan atau reviktimisasi korban dan menguatkan tanggung jawab negara atas pemulihan korban;

3. Media massa agar menghindari bias gender dalam penyajian berita dan tidak menjadikan kasus berdimensi seksualitas untuk menaikkan jumlah pengunjung, dengan cara a.l.:

a. Menggunakan inisial untuk para tersangka baik laki-laki maupun perempuan,

b. Tidak mengaitkan dengan perannya sebagai ibu atau istri, dengan demikian menghindari dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak GA,

c. Memusatkan perhatian pada kasus-kasus urgen yang membutuhkan atensi publik seperti penanganan pandemi Covid19, korupsi, perbaikan sistem hukum, dan lain-lain;

4. Warganet agar menghentikan penyebaran konten intim dan lebih selektif dalam membagikan postingan-postingan media sosial untuk menghindari reviktimisasi korban.

Narasumber: Siti Aminah Tardi Rainy Hutabarat; Andy Yentriyani; Theresia Iswarini Narahubung; Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)