Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kembali mendorong Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (P-KS) masuk kembali dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021. Sejak tahun 2017, KUPI melalui hasil musyawarahnya pada 2017 telah mendukung penuh penghentian kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya.
ALIMAT
Menurut Masruchah, Pengurus ALIMAT, hasil musyawarah keagamaan KUPI menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah haram, baik dilakukan di luar maupun di dalam perkawinan, karena bertentangan dengan penegasan Allah Swt bahwa manusia adalah mahluk yang dimuliakan Allah Swt. Hal tersebut sejalan dengan wacana Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sudah muncul sejak tahun 2014. RUU P-KS juga diharapkan dapat menjadi payung hukum perlindungan perempuan dari tindakan kekerasan seksual.
ALIMAT adalah gerakan pemikiran dan aksi masyarakat Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga. ALIMAT juga merupakan salah satu lembaga inisiator pelaksana kegiatan KUPI.
Pada Senin (23/11/2020), ALIMAT kembali menginisiasi dukungan untuk mendorong kembali RUU P-KS sebagai Prolegnas Prioritas 2021. Melalui focused grup discussion (FGD) “Menutup Pintu Penyalahgunaan Norma dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, ALIMAT sangat mengharapkan para pemangku kebijakan, para ahli hukum & HAM, Ulama Perempuan, Tokoh Masyarakat dan Agama, lembaga/institusi pendamping korban kekerasan seksual serta pihak-pihak lain yang peduli terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk duduk bersama merumuskan pandangan dalam hal menutup celah penyalahgunaan norma dalam RUU ini.
FGD melibatkan dua narasumber, yaitu Ninik Rahayu, perwakilan ALIMAT, KUPI dan Ombudsman RI, membahas tentang “Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual: Analisis Poin-poin Penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Narasumber kedua adalah Sri Nurherwati, Konsultan & Advokat Klinik Hukum Ultra Petita, membahas tentang “Menolak RUU Penghapusan Kekerasan: Melanggengkan Impunitas Pelakunya”.
Dalam pelaksanaan FGD, ALIMAT juga melibatkan 50 partisipan perwakilan baik dari organisasi, lembaga, komunitas, maupun pegiat yang selama ini melakukan penanganan, pendampingan dan pencegahan untuk korban kekerasan seksual.
MENUTUP KEMUNGKINAN SEBARAN MISINFORMASI & KERANCUAN
Tahun 2016 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke dalam daftar Prolegnas, namun dalam perjalanannya mengalami perdebatan alot dan cukup lama. Bahkan pro-kontra di tengah masyarakat pun tak bisa dihindari akibat massifnya misinformasi terhadap isi dan semangat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).
Tahun 2020 di tengah situasi pandemi covid- 19 dan terus bermunculannya kasus-kasus tindak kekerasan seksual, RUU P-KS malah dikeluarkan dari Prolegnas prioritas. Kendati RUU ini disebut-sebut tetap akan dilanjutkan pembahasannya pada tahun 2021 mendatang.
Menurut Masruchah, dalam masa penantian dibahasnya kembali RUU ini tentu tak menutup kemungkinan sebaran misinformasi, kerancuan berpikir bahkan hoaks yang menimpa RUU ini juga akan kembali terjadi. Namun hal lain yang perlu dan penting dipikirkan adalah bagaimana agar RUU ini tidak sampai menimbulkan kerancuan dalam hal penerapannya.
RUU yang diharapkan implementasinya bukan saja harus tepat sasaran, tetapi juga bagaimana menghindarkan diri dari para pihak yang semestinya bukan pelaku menjadi pelaku, atau menempatkan korban menjadi non korban dan begitupun sebaliknya.
Tujuan FGD di antaranya untuk sosialisasi proses carry over dan prioritas 2021 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sampai saat ini masih dalam proses pembahasan. Selain itu, untuk mengidentifikasi dan membuka ruang pendapat untuk memperkuat Draft yang ada di DPR; menutup celah penyalahgunaan norma dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; penguatan informasi yang substantif terhadap RUU P-KS; terbangunnya dukungan dan komitmen untuk terus mendorong DPR membahas RUU P-KS. Serta adanya kemungkinan perbaikan substansi Draft agar terhindar dari celah potensi salah implementasi Undang-undang.
RUU P-KS DISUSUN BERDASARKAN PENGALAMAN KORBAN
Ninik Rahayu, dalam pembahasannya mengingatkan kembali tentang konseptualisasi RUU Penghapusan Kekerasan Sekual (P-KS). Salah satunya adalah RUU disusun berdasarkan pengalaman Korban.
RUU PKS juga memperhatikan 4 pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu kebijakan pencegahan (primary prevention) segala bentuk kekerasan; perlindungan hak-hak dan pemulihan bagi korban; pemidanaan (penal) dan penindakan (matregel) untuk rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual; pemulihan keseimbangan tatanan (restitutio an integrum) dan partisipasi Masyarakat. Serta, memperhatikan Instrumen Hukum HAM dan memedomani UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan.
Ninik juga memaparkan secara detail tentang beberapa hal yang menjadi kontroversi sejulah pihak terkait isi RUU P-KS. Misalnya bagaimana kasus pencabulan diselesaikan dengan KUHP.
KUHP hanya mengatur pencabulan yang melibatkan kontak fisik. Tidak mengatur pelecehan non fisik. Sehingga, korban berpotensi dikriminalkan. Seperti salah satu kasus yang pernah dia dampingi terkait kekerasan seksual yang pernah menimpa BN. Dia justru dikriminalkan oleh M (pelaku). Sementara polisi kesulitan menjerat M sebagai pelaku pelecehan seksual.
Sementara dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pelaku dapat dijerat hukuman pidana pokok berupa rehabilitasi khusus selama 1 (satu) bulan, ditambah pemberatan pidana berupa kerja sosial.
PERSOALAN HAMBATAN AKSES KEADILAN
Persoalan hambatan akses keadilan menjadi salah satu bahasan Sri Nurherwati dalam pembahasannya. Menurutnya, kekerasan seksual hanya 10 persen yang berhasil dimejahijaukan dan pelakunya mendapatkan sanksi pidana. Dari 10% tersebut tidak semua pelaku dikenai hukuman yang menjerakan dan dipastikan tidak berulang, masih ada hakim yang meloloskan pelakunya.
“Tantangan dan hambatan akses keadiilan bagi korban kekerasan seksual mencakup seluruh pilar sistem hukum, struktur, aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, budaya hukum dan substansi hukum (isi perundang-undangan),” papar Sri.
Dari fakta tersebut, Sri menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan UU yang melindungi masyarakat untuk menjamin akses keadilan diperoleh dengan mudah.
Sri juga menyoroti bahwa RUU P-KS memberikan mandat Negara untuk melindungi sistem, organ, fungsi dan kesehatan reproduksi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan secara biologis memiliki sistem, organ, fungsi dan kesehatan reproduksi yang lebih beresiko. Dampak kekerasan seksual bagi perempuan tidak hanya melanggar agama dan mengganggu psikologi, namun berdampak secara biologis terjadi kehamilan, mengalami kerusakan dan melahirkan generasi bangsa.
Oleh karenanya pengalaman perempuan menjadi basis penyusunan RUU P-KS, agar dapat diberlakukan secara adil baik laki-laki maupun perempuan.
Penghapusan didefinisikan sebagai upaya yang harus dilakukan negara dalam mencegah, menangani dan memulihkan korbannya, merehabilitasi pelaku agar sadar perbuatannya melanggar nilai agama, hukum, dan HAM serta memastikan perbuatannya tidak berulang kembali. Bila hendak ciptakan praktik masyarakat beragama dan bermartabat, dukunglah RUU P-KS.
“Penyimpangan seksual yang diusulkan berbagai pihak deng menyebut sebagai Kejahatan Seksual sebagai pengaturan yang melanggar norma agama, sehingga pengaturannya melindungi normanya itu sendiri,” ungkapnya.
Sementara, kekerasan seksual dipilih bukan karena mengabaikan nilai agama dan nilai yang hidup dalam masyarakat, namun khusus melindungi sistem, organ dan fungsiserta kesehatan reproduksi dari serangan pihak yang menjadikan perempuan dan pihak yang lemah sebagai objek seksual semata.
Perbuatan melakukan kekerasan seksual sebagai perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia dan makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga sasaran pengaturan sangat berbeda dan tidak tepat menjadi satu aturan dalam RUU P-KS.
PEMBULATAN ARAH RUU P-KS
Salah satu rekomendasi dari FGD ini adalah DPR dan Pemerintah harus memiliki ketegasan membangun politik hukum yang berpedoman pada pembukaan UUD NRI 1945—tidak melanggengkan budaya patriarkhi yang merugikan perempuan, menggerakkan sistem hukum bekerja, memudahkan aparat penegak hukum dan pemerintah bekerja menangani kasus kekerasan seksual baik korban dan pelaku menuju pada mencegah keberulangan terjadinya kekerasan seksual. Substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengarah pada pencapaian tujuan RPJMN, Nawacita dan SDGS serta implementasi CEDAW dalam menciptakan nilai kesetaraan gender melalui 6 elemen kunci—Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah berubah per 18 Juli 2019.