Mengapa Banyak Perempuan Menyerah pada Mimpinya?

Mengapa Banyak Perempuan Menyerah pada Mimpinya?

Dengan harapan besar yang menyala dalam jiwa, kita menjadi manusia seutuhnya. Pribadi yang kuat, berkarakter, dan tidak pernah lelah untuk ditempa menjadi lebih baik.

Data dari Global Dream Index Survey (2016) yang dilakukan olek SK-II menerangkan bahwa lebih dari setengah populasi perempuan di dunia ini menyerah dengan mimpinya dan kurang bahagia dengan kondisinya sekarang ini.

Oprah Winfrey pernah mengatakan bahwa kepuasan terbesar dalam hidup ini bukan pada seberapa banyak materi yang bisa dikumpulkan, namun bagaimana mimpi itu sendiri dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Álvaro Pascual-Leone, Profesor Neurologi di Harvard University pun juga menjelaskan, impian dengan visi dan misi yang jelas akan memberikan banyak manfaat, seperti meningkatkan fungsi otak ketika menghadapi tantangan yang hidup yang berat dan mengembangkan kecerdasan kongnitif manusia.

Segudang manfaat dengan memiliki impian, namun mengapa banyak perempuan menyerah dengan mimpinya? Berdasarkan survei dari 5,400 wanita dari 14 negara dan 6 benua menerangkan ada 3 alasan utama yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni keterbatasan finansial, tidak percaya diri, dan tidak sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat.

Keterbatasan Finansial

Tidak bisa dipungkiri bahwa mimpi yang tinggi perlu banyak sekali “biaya” yang dikeluarkan. Anda ingin melanjutkan studi ke kampus elit di luar negeri? Ratusan juta hingga miliyaran harus disiapkan. Ingin menjadi supermodel? Biaya konsumsi dan pakaian akan menjadi pengeluaran utama dalam catatan keuangan, atau menjadi peneliti ternama? Jika ingin melakukan cakupan penelitian yang besar, tentu biayanya pasti sangat tinggi. Melihat hampir semua hal membutuhkan kapital yang besar, alasan ini menjadi salah satu penyebab terbesar wanita tidak ingin menggapai cita-cita yang tinggi.

Apakah finansial yang berlebih dapat membantu untuk mencapai mimpi yang besar? Saya, secara personal sepakat bahwa kapital bisa menjadi sumber yang besar untuk mewujudkannya. Namun, itu juga bukan menjadi pokok yang paling utama.

Mari kita lihat Maudy Ayunda dan Ashley Dawn Loggins, mereka berdua sama-sama kuliah di kampus ternama di dunia, Maudy di Oxford University sedangkan Ashley di Harvard University. Jika melihat latar belakang keluarga dan ekonomi, tentu akan sangat kontras. Ashley berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia harus bekerja sebagai petugas kebersihan. Sesuai dengan pepatah “hasil tidak akan mengkhianati usaha”, ia bisa melanjutkan kuliah di Harvard karena kegigihannya.

Poin terpenting dibandingkan finansial, kegigihan yang lebih menentukan masa depan seseorang. Uang memang membantu, namun jika tanpa tekad tentu semuanya adalah percuma.

Kurang Percaya Diri

Cornell University (2003) melakukan studi mengenai tingkat kepercayaan diri antara murid laki-laki dan perempuan pada murid di kampus tersebut. Hasilnya sangat menarik, yakni murid laki-laki cenderung memberi nilai yang terlalu tinggi atas kemampuan dan kapasistasnya, sedangkan murid perempuan menilai terlalu rendah akan dirinya. Padahal, secara kenyataan kemampuan antara responden cenderung setingkat.

Mirip juga dengan hasil kuisioner dari Manchester Business School, Profesor Marilyn Davidson selalu menanyakan ekspektasi gaji untuk 5 tahun kedepan pasca kelulusan. Secara keseluruhan, murid laki-laki mengharapkan US$80,000, sedangkan murid perempuan 20% di bawahnya, yakni US$64,000. Satu lagi yang tidak kalah menarik, laporan internal Hewlett Packard mengemukan bahwa laki-laki melamar pekerjaan atau promosi jabatan ketika mereka memenuhi 60% dari kualifikasi, tetapi perempuan, hanya melamar jika mereka memenuhi 100% dari mereka.

Apa yang menghancurkan perempuan bukanlah kemampuan mereka yang sebenarnya, melainkan keputusasaan atas dirinya dan ketika mereka tidak mau mencoba.

Saya sangat yakin sekarang banyak sekali perempuan yang memiliki edukasi dan kemampuan yang sangat bagus, namun tidak berani untuk mengeksplor dirinya lebih dalam lagi karena keraguan atas kemampuannya. Padahal, jika kita tidak dapat mempercayai kemampuan sendiri, apalagi orang lain?

Pada Desember 1920, Amelia Earhart memutuskan untuk menjadi pilot perempuan pertama yang memiliki lisensi resmi dalam menerbangkan pesawat. Keyakinan yang dia miliki adalah salah satu kekuatan terbesarnya yang membuatnya mencetak banyak rekor di dunia penerbangan. Amelia Earhart bukan satu-satunya pilot perempuan yang sangat kompeten selama waktu itu dalam sejarah. Saya tidak percaya keterampilannya yang menyebabkan Amelia menjadi begitu sukses.

Kepercayaan diri, kesediaannya untuk mengejar yang mustahil, dan keyakinannya bahwa dia bisa melakukannya lah yang mengantarnya menjadi pilot perempuan yang sukses memiliki lisensi terbang.

Definisi Tradisional “Sukses” Untuk Perempuan

Ada pepatah bahwa perempuan wajib hukumnya untuk memiliki 3M, yakni masak, macak, lan manak (memasak, berdandan, dan melahirkan keturunan). Jika melihat latar belakang sejarah Indonesia sejak sebelum merdeka, perempuan diwajibkan untuk selalu untuk mengurus rumah dan anak, tidak diperbolehkan menerima pendidikan lebih, dan juga tunduk sepenuhnya kepada kepala keluarga. Dalam konteks cita-cita, karir, dan edukasi yang bersifat kognitif, laki-laki lebih diutamakan dalam mengejar hingga titik puncak pencapaiannya.

Perspektif pribadi saya, sekarang perempuan telah diberikan akses yang sama dengan pria, namun terdapat nilai moral yang menyatakan bahwa perempuan cukup melakukan pekerjaan yang sewajarnya dan banyak fokus ke bagian rumah.

Apakah hal ini salah? Saya tidak ingin menjustifikasi pendapat pribadi terhadap opini lainnya, karena kita hidup di era demokrasi dan saya sangat percaya setiap umat manusia berhak memilih apa yang terbaik dalam hidupnya. Menurut saya secara umum hal tersebut tidaklah salah. Namun, jika seorang perempuan memiliki keinginan dan cita-cita yang sangat tinggi hingga, nilai sosial juga tidak dapat memaksakannya, karena itu adalah keinginan pribadinya.

Ada konsep yang dinamakan hak asasi manusia, yang di mana semua manusia adalah sederajat dan bebas untuk memilih apapun yang ia anggap sesuai untuk dirinya (agama, gender, dan impian) selama masih dalam kaidah hukum.

Jadi, ingatlah walaupun ada nilai tradisional semacam 3M, setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan apa yang dia inginkan.

Jadi, Perlukah Perempuan Memiliki Harapan yang Besar Terhadap Dirinya?

Mungkin ketika membaca artikel ini, akan ada pertanyaan, harapan yang dimaksud oleh saya seperti apa? Berhubung harapan yang besar memiliki makna yang beragam, maka akan saya perjelas di bagian ini.

Cita-cita tinggi saya maksudkan adalah ketika perempuan memiliki tujuan untuk mencapai titik tertinggi dalam perjalanan karirnya, misalnya ingin menjadi pengusahan, CEO, Supermodel, atau berkarya di bidang kemanusiaan seperti Bunda Teresa. Sekarang kita sudah mempunyai satu pemahaman akan harapan yang besar, lalu perlukan perempuan memilikinya? Menurut pendapat subjektif dan pribadi saya, IYA dan WAJIB.

Saya pernah bertanya-tanya kepada orang terdekat saya mengapa dia begitu tahan untuk bekerja banting tulang, mengurangi jam tidurnya untuk bekerja dan belajar. Beliau melakukan 2 pekerjaan sekaligus dan terus belajar hingga terkadang harus menahan rasa lelah sehabis kerja. Dia dengan lantang berkata “Saya tidak peduli dengan rasa lelah yang saya harus hadapi karena saya memiliki cita-cita dan visi misi dalam hidupku. Karena impian itulah yang membuat saya semakin kuat dan terus bertahan sampai sekarang walaupun masalah harus datang ke kehidupan saya.” Saya merasa sangat terenyuh sekaligus sangat terkesima mendengar kata-kata yang luar biasa itu.

Dengan cita-cita yang tinggi, kita memiliki semangat untuk menjalani hari esok. Dengan visi dan misi, kita memiliki paduan untuk melakukan kehidupan yang bermakna.

Ilustrasi: freepik