Sewaktu kecil, seorang guru pernah berkata agar senantiasa mengingat dan mengucapkan tiga kata ajaib saat berinteraksi dengan orang lain: “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”. Nasihat mulia itu sempat berjeda tidak berhasil menembus nurani dan akal sehat yang mengeras di masa pubertas, lalu kemudian kembali hadir saat menempuh pendidikan di negeri sakura, hampir satu dekade silam. Saat itu tidak ada satu pun sivitas akademika yang abai terhadap tiga kata ajaib tersebut. Tak pandang status sosial, jabatan, umur, jenis kelamin, hingga kewarganegaraan, semua mengimplementasikannya dengan bahasa tubuh yang jujur dan ucapan yang tulus dari hati terdalam. Tak peduli seremeh apapun perbuatan yang ditimbulkan, kata ajaib tersebut selalu terngiang di telingaku hingga sukses mengubah pola pikir yang awalnya dipandang sebagai basa-basi yang merepotkan, menjadi sebuah tindakan wajar yang tidak berat dilakukan.
Namun, ada satu momen ketika pikiran ini tergelitik dengan kekuatan tiga kata ajaib tersebut. Tahun 2020, saat seisi dunia kacau balau dengan kehadiran COVID-19 yang tidak diminta. Jika memang kata-kata ajaib tersebut dinilai mampu memperbaiki kualitas relasi antar manusia karena dinilai mampu membuat mitra tutur merasa dihargai, bukankah sebaiknya hal tersebut juga dilakukan pada diri sendiri? Bagaimana bisa kita membuat mitra tutur – istilah linguistiknya sih, begitu – merasa dihargai dengan baik jika kita sendiri belum mampu membuat diri ini merasa berharga seratus persen? Logika macam apa yang bisa menjamin kemampuan seseorang mampu mengisi tangki kehidupan orang lain hingga penuh di saat tangki kehidupannya sendiri dalam keadaan kering kerontang, berkerak lumut tebal?
Mungkin kata “tolong” masih terlalu rumit jika diujarkan kepada diri sendiri. Begitu juga dengan kata “maaf” yang terlalu berat diucapkan dalam beberapa momen tertentu. Bagaimana jika berangkat dari kata “terima kasih”? Di tengah berbagai macam dinamika kehidupan yang sukses membuat alur cerita hidup terasa berat dan melelahkan, bukankah ini media yang tepat untuk meregangkan bahu sejenak agar lebih tenang dan tangguh dalam melanjutkan perjalanan sampai akhir? Tidak perlu berat-berat. Kita mulai dari ragam hal yang sederhana, ya.
Terima Kasih Telah Beranjak dari Tempat Tidur
Tidak semua orang mampu mengawali harinya dengan penuh debaran antusias bagaikan lagu anak-anak yang serta-merta membuat semangat seiring dengan matahari yang berangsur naik meninggi. Ada yang harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya sekadar untuk membuka mata. Padahal energinya baru saja terisi berkat tidur – itu pun belum tentu terisi seratus persen. Ada sebagian orang yang justru merasa tertekan dan tidak siap saat perlahan mendengar sayup-sayup ayam berkokok, atau saat menyadari perubahan warna langit dari balik tirai kamar. Rasanya ingin memiliki kekuatan super untuk menghentikan waktu, ingin enyah dalam sekejap dan menjalani hari di tempat asing tanpa satu manusia pun, hingga ingin lupa ingatan atau tidak sadarkan diri untuk beberapa saat ke depan. Bukan karena malas. Bisa jadi karena sama sekali tidak punya alasan logis yang membuatnya berpikir untuk tetap berjuang melewati delapan puluh ribuan detik di hari itu.
Terima kasih sudah berhasil membuka mata lebar-lebar. Terima kasih telah bersedia berdiri dan merasakan bagaimana lantai kamar pagi ini melalui kedua telapak kakimu. Terima kasih sudah bersedia menghirup udara pagi dan mengizinkan tubuhmu merasakan sensasi kesejukan udaranya. Terima kasih telah berupaya melakukan peregangan tubuh sederhana dan melangkah menjauh dari tempat tidurmu. Terima kasih sudah berhasil mencoba berpikir untuk menemukan satu hal bahagia yang membuatmu bersyukur telah diizinkan hidup di hari itu. Terima kasih banyak, ya.
Terima Kasih Telah Merawat Diri dengan Baik
Rasa tidak berdaya dan tidak memiliki harapan yang berangsur membebani kedua bahu, sangat ampuh membuat seseorang enggan memperlakukan dirinya dengan baik. Hanya ada kemelut keraguan dan kata-kata temaram yang selalu diujarkan pada diri yang lemah. Mulai dari, “Untuk apa aku diciptakan?”, “Apa ada yang memandangku menarik di balik ketidaksempurnaan tubuhku?”, “Tidak ada orang yang ingin di sisiku”, “Semua yang kuperjuangkan akan berakhir sia-sia”, hingga, “Pada akhirnya tidak akan ada yang menangisiku di pemakaman nanti”, semuanya berputar dengan jelas tanpa lelah di dalam kepala. Hal inilah yang membuat seseorang merasa tidak memiliki alasan kuat untuk memerhatikan dirinya dengan baik.
Terima kasih telah membasuh dirimu dengan guyuran air di pagi ini. Terima kasih telah memberikan tubuhmu ragam makanan sehat nan lezat sebelum dan setelah beraktivitas. Terima kasih telah duduk manis depan cermin dan memoleskan ragam warna-warna indah pada wajah cantikmu. Terima kasih telah mengenakan pakaian nyaman yang menguatkanmu memulai hari. Terima kasih telah mengenakan alas kaki indah yang mampu mengantarmu ke tempat-tempat penuh senyuman. Terima kasih banyak, ya.
Terima Kasih Telah Bersikap Tegas pada Siapa Kamu Layak Berelasi
Ada ragam fakta menyakitkan yang harus siap ditelan kapan pun. Salah satunya, tidak semua orang mampu dan mau menempatkan diri ini di posisi yang sehat, secara sehat, serta berkenan memberi ruang untuk bertumbuh dengan sehat. Memang tiap orang yang tengah bernapas di dunia ini pastinya sedang memeluk luka batinnya masing-masing. Namun, hidup adalah soal pilihan: ingin menyembuhkannya atau alih-alih justru memproyeksikannya ke orang lain? Fakta menyebalkan selanjutnya, sayangnya tidak semua orang dalam keadaan sadar dan berdaya untuk pulih. Ragam tuturan pahit dan perlakuan buruknya terus menerus menghujam jantung tanpa ampun. Tidak melulu salah kita, namun seakan-akan semua persoalan hidupnya muncul karena kehadiran kita di dunia ini. Secara perlahan, segenap energi dan pikiran positifmu terhisap habis tak tersisa, sadar maupun tidak. Hari-hari yang penuh warna kini perlahan menggelap tanpa terkendali. Seringkali mempertanyakan diri sendiri, “Apakah aku seburuk itu?”, “Apakah benar akulah sebab dari segalanya?”, “Apa lagi kurangku, yang telah mengusahakan semuanya?”, hingga, “Apakah Tuhan menciptakanku hanya sekadar mainan di waktu luangNya?”, hingga lelah dan tak bersemangat meneruskan hidup.
Terima kasih, kuucapkan padamu yang telah berjuang membentengi diri dari segala tuturan buruk dan perilaku tak bermoral orang-orang beracun. Terima kasih karena telah memahami ragam nilai diri dan berani berdiri untuk mempertahankan ragam hak hidupmu. Terima kasih telah berani memutus relasi beracun dan kembali meneruskan hidup dengan kepala tegak dan derapan langkah yang pasti. Terima kasih telah menutup segala panca inderamu dari segala cacian dan makian untuk kemudian meyakinkan dirimu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Terima kasih telah bersedia mengambil ragam pelajaran berharga dari sosok beracun di hidupmu serta telah membuat janji agar tidak meneruskan perilaku dan tuturan menyakitkan kepada orang-orang tak berdosa di luar sana. Terima kasih banyak, ya.
Terima Kasih Telah Senantiasa Belajar dan Bercengkrama Dengan Diri Sendiri
Banyak sekali ragam kiat atau bahkan ragam kelas non formal yang bertujuan mengasah kemampuan berkomunikasi dengan orang lain yang mudah diakses kapan pun dan di mana pun. Namun adakah ragam kiat atau ragam kelas non formal yang sukses menstimulus kemampuan introspektif dengan kuantitas dan kualitas yang sama – atau bahkan lebih baik? Kembali lagi ke awal tulisan ini, bagaimana kita memiliki kemampuan memahami orang lain dengan baik apabila kita masih dalam posisi penuh tanda tanya dengan diri sendiri? Bagaimana bisa memperjuangkan diri jika tidak tahu apa yang baik dan yang sejatinya dibutuhkan? Bagaimana bisa menarik relasi romantis dan relasi pertemanan yang sehat apabila tidak tahu apa sejatinya definisi serta indikator relasi yang sehat? Bagaimana bisa berkata “tidak” jika kita benar-benar buta akan pentingnya ruang pribadi serta alasan dibutuhkannya ruang pribadi? Bagaimana bisa mengelola emosi secara sehat apabila kita bahkan tidak mampu menamai dan memperlakukan baik-baik ragam emosi yang tengah hinggap dalam pikiran? Bagaimana bisa menjelajahi hidup dengan nyaman apabila belum mampu sepenuhnya percaya dengan diri sendiri?
Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu dan mengerahkan seluruh kekuatan demi mengenali diri sendiri. Terima kasih telah bercengkrama dengan jujur dan terbuka kepada diri sendiri, meski terkadang terasa memalukan hingga menyakitkan. Terima kasih telah menaruh bibit-bibit percaya kepada diri sendiri dan menyuburkannya meski terkadang dunia berlaku kejam padamu. Terima kasih telah memberdayakan diri dengan belajar banyak hal agar tidak terjatuh di tempat serupa. Terima kasih banyak, ya.
Terima Kasih Telah Meminta dan Menerima Bantuan
Menjadi rentan adalah hal yang berat, bahkan terasa memalukan untuk sebagian orang. Berbagai macam standar masyarakat yang mengatakan bahwa meminta bantuan sama saja membongkar aib ranah privat dan dinilai membesar-besarkan masalah, nilai-nilai budaya yang mempersepsikan bahwa meminta bantuan adalah hal yang mengalutkan, hingga pantangan-pantangan pembeda dalam gender seperti laki-laki yang dilarang berekspresi secara emosional dan perempuan yang merupakan sosok wajib patuh dan menjadi penurut tanpa tapi, pada akhirnya membuat seseorang enggan mencari bantuan dan membiarkan segala persoalan itu menghabisi dirinya dari dalam. Bukankah hal yang semestinya apabila berteriak meminta tolong jika memang itu yang dibutuhkan? Bukankah hal yang semestinya apabila setelahnya ada yang bersedia menawarkan bantuan dan kita menerimanya dengan senang hati? Bukankah hal yang semestinya apabila manusia bersikap saling agar tidak ada yang terpisah dan tertinggal?
Terima kasih telah berani untuk mengakses segala bentuk bantuan demi kebaikan dan keselamatan dirimu. Terima kasih telah berhasil melawan ragam aturan masyarakat tak berdasar dan menerima bantuan yang hadir di depan mata tanpa merasa kecil pada diri sendiri. Terima kasih telah merangkak keluar dari lubang kenestapaan dan berjuang menempatkan diri pada kehidupan yang lebih baik. Terima kasih telah memperjuangkan dirimu sendiri di kala orang-orang berlomba-lomba memalingkan muka seakan tidak tahu apa-apa tentang penderitaanmu. Terima kasih banyak, ya.
Masih banyak ragam ucapan terima kasih yang layak diucapkan untuk diri sendiri. Rayakanlah segala hal yang menjadi titik awal kemajuanmu. Akan terlalu berisik apabila terus memusingkan pendapat orang lain. Pada akhirnya, kamulah satu-satunya yang menjadi saksi atas perkembangan dan pertumbuhan dirimu. Kamulah satu-satunya penulis untuk kisah hidupmu. Sehingga, kamu memiliki kendali penuh menyusun rangkaian kata dan alur cerita yang diingini. Terima kasih telah bertahan hidup hingga detik ini. Terima kasih telah hadir di dunia ini dan menorehkan warna bahagia pada sesama. Terima kasih banyak, ya. Kehadiranmu sangat berharga.