Pekerja Migran Perempuan Rentan Alami Kekerasan Berbasis Gender: Saat Bekerja Maupun Purna

Pekerja Migran Perempuan Rentan Alami Kekerasan Berbasis Gender: Saat Bekerja Maupun Purna

Meningkatnya jumlah pekerja migran perempuan hari ini diakibatkan oleh banyak faktor, konsep Feminisasi migrasi ditandai dengan jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2022 sebanyak 200.761 jiwa melakukan migrasi internasional dan 61% nya atau sebanyak 122.147 adalah pekerja migran perempuan. Konsep feminisasi migrasi juga menjelaskan pekerjaan yang menjadi tujuan perempuan migrasi adalah pekerjaan domestik atau pekerja rumah tangga yang tidak membutuhkan spesifikasi yang tinggi. 

Pekerja Migran Merupakan Kelompok Rentan

Perempuan pekerja migran memiliki peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Mereka merupakan kelompok rentan karena relasi kuasa yang dihadirkan dalam proses migrasi seringkali masih memarjinalkan pekerja perempuan. Perempuan pekerja migran seringkali tidak punya relasi kuasa di dalam keluarganya, sehingga memutuskan bekerja dan meninggalkan keluarga serta anaknya. Banyaknya pengangguran yang disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja, serta tidak adanya kesesuaian antara penawaran kerja dengan keahlian yang dimiliki. Hal ini menyebabkan banyak perempuan terutama perempuan yang mempunyai keterbatasan akses informasi, serta ketidakmampuan dalam bersaing dengan pekerja lainnya. Belum lagi keterbatasan lapangan pekerjaan di desa, hal ini menjadi salah satu alasan banyaknya pekerja Indonesia khususnya perempuan yang memilih untuk melakukan migrasi internasional.

Tapi, Pekerja Migran Perempuan Lebih Rentan

Masalah yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial yang terjadi dalam konteks ekonomi, sosial dan politik. Pekerja migran baik perempuan dan laki-laki punya kerentanan yang sama, tetapi perempuan punya kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena faktor sistem patriarki dan sistem yang masih bias akan gender sehingga menyebabkan perempuan seringkali menjadi korban akibat kerentanan migrasi internasional. 

Keterbelakangan ekonomi, tingkat pendidikan rendah, serta tidak tersedianya lapangan pekerjaan serta adanya multiple burden atau beban yang berlapis yang dimiliki oleh perempuan untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarganya sehingga hal demikian merupakan dorongan dari luar yang didasari atas kebutuhan keluarga bukan atas keinginan individu. Kemiskinan menjadi salah satu faktor banyaknya tingkat migrasi internasional terutama perempuan yang juga menanggung beban ekonomi keluarga. Besar harapan gaji besar dan remitan  yang diterima keluarga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Persoalan lainnya adalah jika mindset masyarakat dengan memiliki anak perempuan adalah aset ekonomi mereka sehingga anak perempuan harus menjadi pekerja migran internasional dan menjadi tulang punggung keluarga sampai mengabaikan aspek pendidikan. Arus migrasi menjadi siklus perekonomian yang dapat melanggengkan subordinasi pada perempuan, karena pekerjaan yang tergenderisasi bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh perempuan. 

“Pahlawan Devisa” dan Sekian Kekerasan Berbasis Gender

Remitan yang dikirimkan ke negara asal adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pekerja migran untuk merubah nasib keluarga dan negara. Pekerja migran yang mengirimkan remitannya disebut “Pahlawan Devisa” karena menyumbangkan pemasukan devisa dengan jumlah yang besar kepada negara, namun kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi dan negara belum maksimal melakukan perlindungan terhadap pekerja migran yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Selain perlindungan terhadap pekerja migran, diskursus mengenai pemberdayaan purna migran harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Dalam hal ini, untuk memberikan pelatihan dan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh pekerja  migran perempuan purna supaya tidak melakukan migrasi internasional dan bekerja keluar negeri. Sehingga tidak menjadi budaya turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat dan perempuan menjadi objek dari subordinasi pekerjaan tersebut.

Ketahanan serta keharmonisan  keluarga menjadi dampak dari banyaknya perempuan yang melakukan migrasi internasional, karena suami atau keluarga tidak mampu untuk mengurus serta mengelola rumah tangga ketika istri sedang bekerja keluar negeri. Beban ganda yang dirasakan perempuan bertambah ketika mereka harus bekerja ke luar negeri, sebagai upaya untuk mengubah perekonomian keluarga namun setelah mereka pulang dihadapkan pada permasalahan keretakan rumah tangga.