Jadi Feminis Kritis, Lepas dari Internalisasi Patriarki

Jadi Feminis Kritis, Lepas dari Internalisasi Patriarki

Setelah bergabung di Komunitas Perempuan Berkisah yang menjadi ruang aman bagi perempuan serta penyintas korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG), sebutan feminis kerap disematkan pada diri saya. Sebetulnya, saya sendiri tidak–atau belum–pernah menyebut diri demikian. Saya justru kerap menyebut diri sebagai pembelajar sepanjang hayat, pendidik paruh waktu, dan penulis lepas. Bukan berarti saya menolak disebut feminis, hanya saja, saya pribadi belum yakin dengan kapasitas diri hingga pantas disebut feminis.

Kebimbangan tersebut membuat pertanyaan mengenai kriteria seseorang layak disebut feminis pun berkelindan dalam diri. Bahkan, saya bimbang saat seorang kawan sempat bertanya tentang kepantasan dirinya bergabung dalam komunitas, dengan asumsi ia mempertanyakan kepantasannya menjadi feminis. Bukan karena meragukan kepantasan kawan tersebut, tetapi ukuran feminis itulah yang bagi saya pribadi masih menjadi misteri.

Jika melihat fenomena di media sosial saat ini, ada beragam orang yang mendapat sebutan feminis. Sosok perempuan yang lantang menyuarakan standar kebahagiaannya sendiri dipanggil feminis. Perempuan lain yang memilih menggunakan hak reproduksinya dengan tidak memiliki anak pun disebut feminis.

Namun, ada juga yang menyematkan sebutan feminis bagi perempuan yang tidak segan menceritakan pengalaman seksualnya secara terbuka dengan dalih pendidikan seksual. Bahkan yang lebih ajaib, perempuan yang misuh-misuh karena melihat perempuan lain rajin membuatkan bekal makan siang untuk pasangannya juga mendapat label feminis. 

Melihat begitu beragamnya standar masyarakat dan media pada sosok feminis, mana sebetulnya yang feminis atau layak dianggap feminis? 

Feminis dan Kebencian pada Lelaki

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata feminis berarti orang yang menganut paham feminisme, yakni sebuah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki. Definisi tersebut sebetulnya merujuk pada salah satu aliran feminisme, yakni feminisme liberal. Padahal, feminisme sendiri memiliki beberapa aliran dengan tujuan yang berbeda-beda. 

Saya pribadi, menyetujui frasa menuntut persamaan hak pada definisi KBBI tersebut. Sayangnya, frasa ini kerap dikaitkan dengan sikap membenci laki-laki dan segala bentuk interaksi lain yang melibatkan relasi perempuan dan laki-laki seperti salah satu contoh feminis yang saya paparkan di awal. Padahal, jelas yang menjadi tuntutan utama dalam perjuangan ini adalah persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang yang, dalam waktu lama, dikuasai oleh sebagian besar lelaki. Sebut saja penguasaan pada hak dalam berpolitik, pendidikan dan pengasuhan anak, persamaan upah, dan tentu saja akan menjadi daftar yang amat panjang jika seluruh tuntutan persamaan hak tersebut  saya sebutkan di sini. 

Saya bisa saja memaparkan statistik untuk membuktikan ketimpangan hak antara perempuan dan lelaki yang ternyata masih saja terjadi hingga saat ini. Namun, tulisan ini bukanlah tentang angka ataupun data. Misteri yang ingin saya pecahkan adalah pemaknaan feminis itu sendiri sebagai seorang pribadi, alih-alih termakan stereotipe media sosial bahwa feminis adalah sosok pembenci laki-laki. Sebab, frasa kesetaraan hak yang menjadi landasan definisi kamus tersebut mengesankan bahwa perempuan dan laki-laki adalah oposisi, dengan posisi perempuan yang lebih di bawah tentunya.

Dalam hal ini, proses saya belajar mengenai feminisme membawa saya berkenalan dengan bell hooks. Saya pun akhirnya menemukan definisi feminisme yang saya cari, atau yang menurut pemahaman saya, tidak menyudutkan pihak manapun, termasuk laki-laki. Menurut hooks, feminisme merupakan gerakan mengakhiri ketidaksetaraan, eksploitasi seksual, dan penindasan. Sederhananya, sosok yang disebut feminis semestinya merupakan sosok yang menjunjung kesetaraan, saling menghormati, serta tidak melakukan kekerasan kepada pihak yang lebih lemah.

Bagi saya, yang masih terus belajar terkait feminisme, membaca definisi tersebut membuat semua terasa masuk akal. Dalam berbagai diskusi di Komunitas Perempuan Berkisah, teman-teman pendamping kerap menyinggung mengenai relasi kuasa yang menjadi bentuk nyata patriarki dan menjadi akar terjadinya KBG. Namun, kala itu pemahaman saya masih begitu sempit. Saya pikir, relasi kuasa hanya terjadi saat ada kondisi KBG dan hal itu tidak berkaitan sepenuhnya dengan gerakan feminisme. Namun, definisi Hooks menyorot bahwa esensi dari feminisme, dan yang sejatinya dilakukan para feminis, adalah menyadari relasi kuasa tersebut dalam setiap lini kehidupan untuk kemudian berjuang mengakhirinya hingga sampai pada relasi yang setara.

Hak yang Direbut dan Esensi yang Terenggut

Pengejawantahan dari definisi tersebut tentu banyak macamnya. Kita mungkin patut berbangga bisa melihat perkembangan–meski belum banyak–dari pola pikir perempuan di negeri ini. Publik figur perempuan yang memiliki prinsip untuk tidak tunduk pada mitos perempuan ideal berdasarkan standar patriarki mulai dikagumi. Perempuan yang berani merebut hak reproduksinya juga mendapat apresiasi. Mereka pun tidak segan bersuara dan menggunakan media sosial mereka sebagai alat untuk berbagi pemikiran kritisnya.

Intinya, makin banyak feminis bermunculan di negeri ini. Apalagi, komunitas dan kampanye mengenai feminisme serta gerakan perempuan pun semakin menjamur. Tidak hanya di perguruan tinggi, di media sosial pun tidak terhitung media hingga komunitas yang menguatkan gerakan ini.

Sayangnya, di tengah fenomena positif perkembangan feminisme, segelintir sosok yang melabeli diri sebagai feminis ternyata menunjukkan sikap dominan kepada perempuan lain. Contoh paling sederhana adalah kemarahan oknum yang mengaku (atau diakui?) sebagai feminis akibat pos media sosial tentang bekal suami hari ini. Membuat bekal makan siang untuk suami dianggap sebagai degradasi perjuangan kesetaraan pun disebut mengabaikan peran perempuan yang juga bekerja dan butuh bekal makan siang. 

Media sosial yang sejatinya membantu perempuan untuk lebih didengar secara harfiah maupun metafora, hingga perempuan mulai bisa merebut haknya kembali ternyata juga menjadi ladang terkikisnya esensi. Hak perempuan untuk berpendapat yang berhasil direbut seiring meningkatnya kampanye terkait feminisme di sisi lain menunjukkan terkikisnya esensi feminisme itu sendiri.

Gerakan feminisme yang bertujuan untuk mengakhiri ketidaksetaraan dan penindasan, ternyata menimbulkan penindasan baru pada perempuan lain yang tanpa sadar membuat pola relasi kuasa baru. Bukankah mengolok-olok perempuan lain yang secara sukarela serta penuh cinta memasak untuk pasangannya karena merasa kita lebih feminis merupakan bentuk penindasan?

Fenomena ini membuat saya teringat pada sebuah nasihat Alimah Fauzan, pendiri Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh dan Berdaya (Pribudaya) dan Komunitas Perempuan Berkisah, saat baru bergabung dalam komunitas. Beliau sering berpesan agar kami tidak menjadi jadi feminis yang patriarkis. Saya yang dahulu, masih belum mengerti dan hanya bisa mengamini nasihat tersebut dalam diam sambil mencoba belajar untuk memahami maksudnya. 

Bukan berarti saat ini saya menjadi yang paling mengerti. Namun, setidaknya saat mengamati pola relasi kuasa yang menjadi akar patriarki, saya tidak mau menjadi sosok perempuan yang mengulang kembali bentuk relasi tersebut kepada perempuan lain, entah sebagai feminis ataupun bukan. 

Sadari Privilege Tanpa Merasa Paling Intelek

Memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai hak perempuan memang menjadikan saya memiliki privilege untuk lebih berdaya secara pribadi. Namun, hal tersebut tidak serta-merta membuat saya memiliki hak untuk mendikte perempuan lain yang mungkin belum sejalan atau memiliki pemahaman yang berbeda dengan saya. 

Buat apa merasa paling feminis kalau akhirnya jadi apatis? Salah satunya, ya apatis pada kondisi perempuan lain yang mungkin belum seberuntung sebagian dari kita. Padahal, bisa jadi kita yang telah merasa feminis ternyata masih dianggap terbelakang oleh perempuan dari negara dan kebudayaan lain atau oleh penganut feminis aliran lain. Siapa tahu, kan?

Seingat saya, hal ini pernah terjadi saat warganet ramai-ramai menyerang istri seorang pesohor yang notabene bukan Warga Negara Indonesia (WNI) karena mengutarakan pendapatnya mengenai kondisi perempuan negeri ini. Jadi, kita yang sudah merasa feminis ini pun belum tentu sudah dianggap maju jika dilihat dari kacamata orang lain. 

Menurut pemahaman dangkal saya, fenomena merasa paling feminis ini bukan terjadi akibat perbedaan standar feminis yang paling benar atau paling salah. Semua ini terjadi akibat perbedaan privilege, budaya, dan jangan lupa perbedaan sudut pandang–atau secara spesifik aliran feminisme itu sendiri. 

Jadi, yang bisa kita lakukan adalah menyadari perbedaan tersebut. Dengan menyadari privilege yang kita miliki seharusnya kita terhindar dari sikap sok intelek dibandingkan orang lain. Padahal, seperti yang Hooks katakan, feminisme itu semestinya mengakhiri penindasan. Sehingga, pertanyaan yang terpenting bagi siapa pun yang merasa seorang feminis adalah sudah sejauh mana usaha kita memutus relasi kuasa yang menjadi akar penindasan dalam kondisi diri masing-masing? Ingat, everyone has their own battle. Memangnya, siapa saya untuk menghakimi saat saya tidak mengalami pengalaman mereka (baca:perempuan lain)?

Pada akhirnya, hal yang bisa saya lakukan dalam rangka mempertanggungjawabkan sebutan feminis pada diri saya adalah dengan menyadari keistimewaan tersebut. Saya sadar pada hak untuk menggunakan platform saya berkampanye mengenai kesetaraan, tanpa harus nyinyir atau mengolok-olok perempuan lain yang mungkin belum sadar pada haknya.

Toh, bagi saya, membuatkan bekal untuk pasangan secara sukarela sama sekali tidak terlihat sebagai degradasi karena semua dilakukan atas dasar cinta dan bukan dominasi. Jadi feminis memang mesti kritis tetapi hal tersebut jangan membuat kita jadi anarkis! Apa bedanya, dong kalau kita memperjuangkan kesetaraan tetapi sikap kita justru merendahkan?