Sebagai seorang anak perempuan yang berasal dari keluarga sederhana dan dari seorang ibu yang single parent, saya dituntut untuk menjadi sosok yang selalu siap dengan banyak tanggung jawab. Bukan hanya memenuhi kebutuhan pribadi saya sendiri, tetapi juga memenuhi kebutuhan anggota keluarga lainnya. Sebagai seorang anak perempuan yang saat ini menjadi tulang punggung keluarga, membuat saya juga memilih untuk belum menikah di usiayang kata kebanyakan masyarakat sudah sangat matang dalam berumah tangga.
Generasi sandwich, merupakan istilah yang ditujukan kepada orang dewasa yang menanggung hidup tiga generasinya, yaitu orang tuanya, dirinya sendiri, dan juga anaknya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat yang bernama Dorothy A. Miller pada tahun 1981. Dan hingga saat ini, istilah ini semakin melekat dan dirasakan oleh banyak anak muda baik laki-laki maupun perempuan, tetapi perempuan menjadi lebih rentan dengan beban ganda ini.
Ketika ada perempuan yang saat ini belum menikah, bukan berarti ia ingin menyaingi laki-laki apalagi menjadi musuh laki-laki.
Sebagai perempuan, saya sangat merasakan betul bagaimana rasanya menjadi generasi sandwich yang harus berbagi kebutuhan dengan diri sendiri sekaligus kebutuhan keluarga lainnya. Begitupun ketika memilih pasangan. Di saat teman-teman seumuran saya sibuk dengan anak-anak dan keluarga kecilnya, saya masih sibuk nonton spongebob, seperti lagu yang lagi viral saat ini. Bukan tidak butuh pasangan dalam hidup, namun ada banyak pertimbangan untuk menjalin relasi dengan berbagai tanggung jawab yang tak semua orang akan mengerti.
Ini bukan perihal mengeluh apalagi tidak iklas memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi ini perihal pemahaman kepada banyak pihak, bahwa perempuan dengan beban ganda itu sungguh sangat tidak mudah. Lalu, ketika ada perempuan yang saat ini belum menikah, bukan berarti ia ingin menyaingi laki-laki apalagi menjadi musuh laki-laki. Namun, banyak hal yang sedang ia perjuangkan, entah itu karirnya sendiri, keluarganya, maupun yang lainnya.
Bahkan banyak teman perempuanku yang sampai mengalami KDRT
Beberapa waktu lalu, salah satu teman perempuan saya bercerita, tentang bagaimana ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan orang tuanya yang tidak lagi bekerja, sekaligus memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil juga adik-adiknya yang masih kuliah. Setiap bulan ia harus memikirkan pengeluaran keuangan untuk dirinya, anaknya, orang tuanya, juga adik-adiknya. Terkadang ia merasa lelah dan sering menangis dengan kondisi yang ia hadapi, tetapi ia selalu bilang bahwa ia bersyukur bisa menjadi kemudahan bagi keluarganya yang membutuhkan dirinya. Sampai pada akhirnya ia juga harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari pasangannya yang tidak mampu memahami kondisinya saat ini.
Sedangkan teman perempuan saya yang lainnya juga memiliki kisah yang tidak jauh berbeda, dia baru saja memutuskan untuk menikah dengan pilihannya, dengan cara yang sederhana, tentu itu lagi-lagi adalah pilihan mereka berdua, karena mereka ingin kehidupan yang layak setelah menikah, bukan seberapa mewah dan hebohnya resepsi pernikahan mereka di mata masyarakat kebanyakan. Namun, sebagai anak perempuan tertua, ia juga harus menanggung beban ganda, tak hanya memikirkan kebutuhan keluarga kecilnya, tetapi ia juga dituntut keluarga untuk melunasi cicilan keluarganya.
Saya fokus menjalankan peran menjadi anak generasi sandwich
Saya sendiri, dengan pilihan sadar saya, memutuskan untuk belum menikah di saat gempuran pertanyaan “kapan nikah” karena saya memang sedang fokus dengan peran menjadi anak generasi sandwich. Masih fokus untuk memenuhi kebutuhan ibu saya, menyekolahkan adik saya, juga sedang menata impian-impian yang sedang saya perjuangkan. Karena bagi saya, tangggung jawab saya cukup menjadi tugas priibadi tanpa melibatkan sosok lain, yang pada akhirnya akan saling mengintimidasi di masa hadapan. Bersyukur bisa menemukan pasangan yang iklas dengan kondisi itu dan siap berjalan bersama, namun jika tidak, maka akan ditakutkan hanya akan menjadi bahan intimidasi atas nama jasa.
Itu baru segelintir cerita para perempuan di luar sana yang sedang berjuang untuk mengangkat derajat keluarganya dengan jatuh bangunnya mereka. Tak banyak yang tahu, yang mereka lihat masih saja para perempuan dengan stigma-stigma yang sangat tidak memanusiakan mereka. Perempuan belum menikah dianggap terlalu pilih-pilih, terlalu ngejar karir, pesaing laki-laki, dan sebagainya. Padahal, banyak perempuan di luar sana sedang berjuang dengan perjuangan dan prosesnya masing-masing demi ksejehteraan keluarganya.
Please, kita harus lebih empatik terhadap sesama perempuan.
Maka, dari sekarang coba kita merubah perspektif dan berempati terhadap perempuan lainnya. Jika kita belum mampu memahami apa yang sedang perempuan lain hadapi, setidaknya kita mampu menjadi support mereka dalam setiap pilihan hidup mereka. Stop melabeli mereka dengan stigma, pelit, perhitungan, dan lainnya, apalagi sampai adu nasib dengannya. Menjadi generasi sandwich itu bebannya bukan lagi ganda, tetapi sangat berat. Satu sisi ia harus berusaha mencintai dirinya sendiri agar tetap waras, namun disisi lain, mereka harus tetap terlihat siap siaga untuk orang-orang yang mereka cintai.
Maka, teruntuk kamu yang sedang di posisi ini, tolong tetap kuat ya, kamu juga berhak untuk bahagia.