Penyintas Kanker di Usia Muda: Bukan Kutukan, Kami Hanya Butuh Dukungan

Penyintas Kanker di Usia Muda: Bukan Kutukan, Kami Hanya Butuh Dukungan

“Diagnosis kanker di usia muda bukanlah sebuah kutukan maupun awal pintu kematian. Diagnosis ini membuktikan bahwa kita adalah manusia terpilih untuk menikmati jalan hidup dengan cara yang berbeda”

Tahun 2019, lobi laboratorium Fakultas Kedokteran UGM menjadi saksi bisu bahwa sampel patologi yang saya bawa dari Solo membuktikan saya terdiagnosa kanker getah bening (limfoma) jenis Hodgkin’s. Di salah satu rumah sakit swasta di Solo, diagnosis sempat tidak bisa ditegakkan karena dokter onkologi saya meragukan hasilnya. Sehingga dokter saya menyuruh saya melakukan pengecekan lagi di Fakultas Kedokteran UGM. Saat itu, usia saya baru menginjak usia 21 lebih 1 bulan. Usia yang dikatakan masih muda untuk menanggung sebuah kanker, kata masyarakat.

Saat itu, saat sedang riweuh menghadapi kehidupan semester 6, yang akan menghadapi KKN dan magang. Saya pun harus mengurus segala persyaratan yang ‘sedikit’ meringankan beban kuliah saya, agar saya bisa juga melakukannya bersama kemoterapi saya. Tetapi saya harus menyerah dengan keadaan ketika menghadapi magang. Magang yang seharusnya saya hadapi tiga bulan di salah satu kementerian, harus saya persingkat karena sel kanker mengalami pembesaran yang disebabkan kecapekan. Saya pun harus kembali ke kampus untuk melanjutkan skripsi saya.

Keadaan ini sempat membuat saya menjadi merasa bersalah dengan teman magang saya. Belum lagi rambut saya yang rontok efek kemoterapi, menjadikan kamar kos kami kotor. Keadaan ini sempat membuat rendah diri. Ini awal dari saya mulai menutup diri dari masyarakat. Mungkin ini juga dirasakan oleh semua penyintas kanker muda lainnya.

Singkat cerita, terapi saya dilanjutkan ke tahap radioterapi. Efek radioterapi menyebabkan kulit saya sensitif menjadi hipersensitif. Kulit leher saya mengalami luka bakar (kanker saya tumbuh di leher dan ketiak saat itu), yang menyebabkan bekas luka yang menghitam. Ke-pedean saya pun turun drastis. Bahkan saya menjadi orang tertutup.

Katanya Penyakit Kutukan Bagi Keluarga yang Tidak Percaya Tuhan

Di tahun 2020, saya bisa menyelesaikan riweuh-nya skripsi dan pengobatan saya. Tetapi akhir tahun ini juga, jadi malapetaka buat saya. Setelah Natal yang seharusnya saya menikmati keindahan Natal, karena Juruselamat saya lahir. Malah menjadi kesedihan buat saya. Kanker getah benih saya tumbuh dan menimbulkan tumor di tulang belakang. Saya pun akhirnya mengalami depresi, usia yang seharusnya saya mencari kerja setelah wisuda. Diganti dengan kemoterapi selama 3 hari di setiap bulan selama 6 bulan. Depresi dan efek kemoterapi ini menyebabkan saya badan saya kurus dan kebotakan secara cepat. Saya pun akhirnya harus menjalani pengobatan mental juga.

Setelah pengobatan mental dan kemoterapi saya selesai, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah saya. Dengan kepingan semangat yang sempat hancur ini, saya mulai meniti pendidikan lanjutan. Tetapi kepingan itu dihancurkan kembali, ketika saya mendengarkan sebuah khotbah dari seorang pemuka agama yang mengatakan bahwa penyakit adalah sebuah kutukan bagi orang atau keluarga yang tidak percaya dengan Tuhan. Ini bentuk hukuman bagi keluarga yang tidak taat akan perintah-Nya. Bahkan dia menggunakan perumpamaan bahwa seorang pemuda yang mengidap kanker stadium empat (yang menanti ajal katanya) tidak layak untuk menjadi pelayan Tuhan. Masa sehat pemuda ini sudah habis dia sia-siakan untuk pendidikan dan urusan duniawinya. Dia mengatakan bahwa pemuda itu bagaikan bunga yang layu, yang pantas untuk dibuang, karena tidak layak dipersembahkan bagi Tuhan.

Saat itu saya sedang menghadapi pengobatan pasca kanker pun langsung down, karena saya sudah melalui masa tiga tahun pengobatan. Gejala depresi saya mulai muncul. Saya merasa pendidikan yang saya tempuh sia-sia, hampir putus asa karena hal tersebut, Saya merasa tidak layak melayani dengan pendidikan saya. Saya juga merasa menjadi kutukan bagi keluarga saya. Repetisi khotbah tersebut terus diulang, hingga saya memilih undur untuk ibadah. Gejala depresi ini berimbas bagi kesehatan fisik saya. Akhirnya pengobatan mental saya pun harus kembali diulang bersama pengobatan pasca kanker.

Kami Butuh Dukungan, Bukan Stigma Negatif

Ketika pengobatan mental, saya pun menceritakan hal ini kepada psikolog saya. Beliau menguatkan saya seperti ini ‘Penyakit itu bukan kutukan, buktinya ada pengobatan. Kamu bisa sampai tahap ini juga karena kamu kuat menghadapinya. Kalau kutukan pasti sulit kan dipatahkan, buktinya kamu udah mematahkannya. Kamu itu bukan beban keluarga, buktinya ibu (ibu saya) tetap mendukungmu, jangan berkecil hati”

Pastinya ini juga dirasakan oleh penyintas kanker lainnya, stigma di masyarakat yang mengatakan bahwa kanker adalah vonis mati. Menyebabkan banyak penyintas kanker (muda maupun tua) kehilangan semangat hidupnya. Belum lagi penyintas kanker muda sering menghadapi perkataan “ah, kasihan ya. Masih muda kok udah penyakitnya berat” dan ekspektasi masyarakat yang selalu menghantuinya. Hal ini pun pernah diungkapkan oleh lembaga non-profit Leukemia & Lymphoma Society dalam postingan instagramnya, bahwa ekspektasi yang tumbuh dalam masyarakat perihal anak muda harus produktif. Malah membawa dampak negatif dalam mental penyintas kanker muda. Mereka merasa sudah gagal dalam kehidupan muda dengan penyakit yang dideritanya ini. 

Padahal yang diperlukan oleh penyintas kanker muda adalah dukungan, bukan alih-alih kata kasihan dan penghakiman. Mereka butuh dukungan tidak hanya dalam bentuk emosional belaka, tetapi juga dalam kepastian dalam dunia kerja maupun pendidikan. Terkadang dengan rekam medis yang dimilikinya, menyebabkan kebimbangan dalam mencari pekerjaan atau meneruskan pendidikan. Pandangan bahwa mereka ini “lemah” di masyarakat, sering juga menghambat dalam menjalani kehidupan pasca kanker. 

Tentunya stigma ini harus mulai dihilangkan, karena kanker bukan akhir dari kehidupan. Dengan kanker, kita dapat melihat kehidupan dari sisi yang lain. Yang biasanya tidak pernah kita lihat, ketika kita sehat. Penyintas kanker muda juga layak mendapatkan kehidupan layak seperti orang lain. Mereka layak untuk melayani Tuhan, sesama, dan bumi ini, mereka bukan bunga layu yang pantas untuk dibuang.. Mereka adalah secercah cahaya yang diberikan Tuhan dunia ini, untuk menerangi dunia ini tentunya. Dengan segala apa yang mereka miliki.