Darurat Perundungan di Satuan Pendidikan Indonesia

Darurat Perundungan di Satuan Pendidikan Indonesia

Sepekan ini media sosial dikejutkan dengan pemberitaan memilukan yang dialami oleh anak perempuan dengan inisial SAH, anak yang duduk dikelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Gresik, Jawa Timur. Nahasnya, perundungan (bullying) yang dilakukan oleh kakak kelasnya kepada SAH, yang mengakibatkan mata kanan SAH kini buta.  Miris tindakan ini bisa terjadi. Perundungan fisik ini pun cukup serius, apalagi pelakunya adalah anak. Selain perundungan, akhir-akhir ini kasus kekerasan yang dilakukan sesama murid di sekolah atau bahkan murid kepada gurunya, pun terus terjadi. Tentunya kejadian ini menjadi perhatian bersama.

Kronologis Kasus SAH

Jika menilik apa yang dialami oleh SAH, kejadiannya sudah 1, 5 bulan yang lalu, tepatnya 7 Agustus 2023.  Dimana kakak kelasnya sudah terkenal untuk memalak uang, dan saat SAH dipanggil, dirinya sudah menyadari bahwa dirinya akan dipalak. Namun SAH sempat menolak untuk memberikan uangnya. Peristiwa nahasnya itu lantas terjadi. Kaka kelasnya melakukan aksinya dengan mengangkat telapak tangan SAH hingga menutupi muka. Setelah itu, kaka kelasnya menusukkan tusuk bakso ke tangan SAH dan satu tusukan yang masuk ke mata kanan SAH. Karena SAH merasa sakit luar biasa, makai a lari ke depan kelasnya, menuju keran air. SAH lantas membasuh muka dan mata yang mulai mengeluarkan darah. Dia menangis. 

“Saya lalu ke kelas, duduk di bangku. Nangis,” imbuhnya. SAH belum tahu kalau tusukan itu berakibat fatal pada mata kanannya. Bahkan, SAH masih sempat ikut acara bersih-bersih kelas usai perlombaan. Saat itu, dari matanya sudah tidak mengeluarkan darah.

Dia merasakan ketidaknyamanan pada matanya saat bersih-bersih. Dia terus mengedipkan matanya untuk meredakan sakit. Teman-temannya bisa jadi tidak menyadari ada yang aneh dari mata kanan SAH. Sebab, tidak lagi ada darah, dan mata SAH terlihat normal.

Saat pulang sekolah, tetangga yang menjemput SAH melihat ada bercak darah di seragam. Saat itu dia bertanya kepada guru. Namun, tanpa memeriksa, guru menyebut itu bukan darah. “Katanya saos,” ujar ayah SAH, Samsul Arifin.

Ketika di rumah, SAH mengeluh tidak bisa melihat kepada ayahnya. Lantaran khawatir, dia memeriksakan mata anaknya ke rumah sakit. Dari RS Cahaya Giri Menganti, SAH dirujuk ke RSMM Jatim dan akhirnya ke RSUD dr Soetomo. Disitu dia dapat kepastian kalau ada kerusakan syaraf yang membuat mata kanan SAH buta permanen.

Tiga Dosa Pendidikan 

Dua setengah (2,5) tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 Februari 2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyampaikan tugas dosa Pendidikan. Tiga dosa tersebut adalah intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.

“Harus ada Tindakan tegas yang bisa dilakukan di setiap jenjang terhadap tiga dos aini,” ujar Nadiem Makarim. Pernyataan ini secara langsung dinyatakan oleh Kemendikbud Ristek, sehingga secara tegas ini diakui oleh pemerintah. Sehingga, tiga dosa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama dalam segala lini masyarakat. Karena masyarakat adalah orang tua untuk setiap anak. 

Berdasarkan dua pemikiran tujuan pendidikan di atas, maka pendidikan menjadi bagian terpenting dalam membentuk karakter generasi bangsa. Di tambah menilik pengertian dasar Pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, dan masyarakat untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. 

Menurut Tan Malaka ada 3 tujuan Pendidikan, yaitu mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Sehingga, jika pendidikan justru memperkeras perasaan artinya salah satu tujuan Pendidikan belum tercapai. Lebih filosofis, tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia.

Lebih luas, Pendidikan bukan hanya membuat seorang anak pintar, bisa melafalkan huruf a, i, u, e, o. jauh lebih penting tentang itu adalah memperhalus perasaan dan mampu memanusiakan manusia. Ilmu yang didapatkan mampu bermanfaat untuk dirinya dan orang lain untuk menjalani kehidupan, anugrah Tuhan. Pemimpin di muka bumi ini yang membawa kedamaian. 

Pemikiran di atas menjadi penting untuk membentuk mindset peserta didik yang terbuka dan toleransi. Akan tetapi nyatanya masih banyak tindakan intoleransi, dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan, salah satunya adalah pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri, sebagai perwakilan negara. Sekali lagi tindakan intoleransi masih banyak terjadi. Di sini kita bisa melihat, tidak salah jika tiga dosa di atas ditujukan kepada dunia Pendidikan.

Darurat Perundungan di Dunia Pendidikan 

Perundungan di dunia pendidikan sebenarnya tidak baru baru saja ini terjadi. Tetapi sudah suatu budaya yang dilanggengkan, sejak guru kita di masa lalu. Kekerasan dianggap salah satu cara yang efektif untuk anak dapat memahami. Padahal, tidak ada jaminan dengan pengajaran kekerasan akan terbentuk karakter mental anak yang kuat. Justru bisa mengakibatkan sebaliknya, anak anak masa lalu (orang dewasa saat ini) bertransformasi menjadi pelaku kekerasan akibat penormalisasian kekerasan.  

Maka tidak jarang pula, respon guru saat salah satu siswanya mengadu, justru meremehkan. “Ah, masak gitu aja kamu tidak berani melawan dia, lawan balik!” Apakah ini bagian tujuan Pendidikan? 

Lebih lanjut, berdasarkan hasil riset Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) tahun 2018 telah menyatakan 41% pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) oleh KPPPA tahun 2018 terdapat 2 dari 3 anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka. Data dari Asesmen Nasional Kemendikbud Ristek Tahun 2021 terdapat 24% siswa diluar SD mengalami perundungan dalam satu tahun terakhir. Tidak kalah penting data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dihimpun oleh Republika, terdapat 16 kasus perundungan di dunia pendidikan sepanjang Bulan Januari-Agustus 2023. 

Berdasarkan data di atas, kasus perundungan di lingkungan Pendidikan yang paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi 25% dari total kasus. Ditambah lagi dengan kasus SAH tentunya menambah sederetan kasus perundungan yang terjadi di dunia Pendidikan. 

Pencegahan dan Penanganan Perundungan di Sekolah

Perundungan bukan lagi persoalan yang patuh untuk di remehkan. Karena perundungan juga bagian dari kekerasan dan intoleransi atas ketimpangan relasi kuasa, tanpa memandang dia siapa. Kejadian yang dialami SAH tentunya menjadi refleksi bersama. 

Karena Undang Undang Dasar pun telah menjamin hak perlindungan atas setiap warga negara. Pendidikan sebagai sarana untuk melatih kesadaran seluruh pihak, baik Kepala Sekolah, guru Perundungan menjadi tanggung jawab kita bersama. 

Untuk menjamin maraknya 3 dosa Pendidikan, secara komprehensif Kemendikbud Ristek tanggal 8 Juli 2023 secara resmi meluncurkan Peraturan Mendikbud Ristek No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSPP). 

Dalam peraturan ini cukup lengkap untuk mencegah dan menangani permasalahan kekerasan di dunia Pendidikan, mulai jenjang PAUD sampai sekolah menengah ke atas, baik formal dan non formal. Menariknya, ruang lingkupnya cukup luas. Tidak hanya pelaku dan korban dalam lingkungan Pendidikan yang sama, tetapi juga mengakomodir pelaku dan korban dalam lingkungan Pendidikan yang berbeda. 

Dalam peraturan tersebut, perundungan bagian dari salah satu dari 7 jenis perundungan yang disebutkan pada Pasal 6. Tindakan yang dilakukan oleh kakak kelas kepada SAH terdapat dua unsur kekerasan fisik, yaitu penganiayaan dan eksploitasi ekonomi. 

Dalam upaya pencegahan dan penanganannya, Kemendikbud Ristek di masing-masing satuan Pendidikan meminta untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) Aturan terkait dengan ini, dibahas secara rinci dalam Bab IV, Pasal 24-38. Menariknya, salah satu anggota TPPK tidak hanya diambil dari lingkup guru, tetapi juga perlu melibatkan dari unsur Komite atau pun orang tua untuk ikut serta terlibat. Sedangkan SATGAS terbentuk dari lintas sektor pemerintah, Lembaga, dan ahli. Lebih lanjut dalam Permendikbud ini juga membahas tentang pemulihan korban, serta pelaku jika dia masih dalam kategori anak. Artinya hak atas perlindungan anak juga terpenuhi.

Refleksi

Peristiwa yang menimpa SAH ini tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama. Tidak ada kata toleransi untuk kekerasan. Kolaborasi seluruh pihak menjadi penting. Transparansi dan Kerjasama yang baik antara sekolah dengan orang tua. Jika mencerdaskan anak bangsa dibebankan di Pundak seorang guru, jelas itu adalah hal yang berat. Tak kalah penting, karena anak anak adalah peniru ulung, maka dia bisa melakukan hal tersebut mencontoh siapa? Lingkungan keluarga, teman, ataupun tuntunannya. Serta orang tua pun turut serta untuk membentuk pondasi karakter anak untuk menjadi pribadi yang baik, karena anak adalah peniru ulung terbaik. Bukan menuntut anak menjadi baik, tapi mari sama sama belajar menjadi orang dewasa yang mampu memberikan contoh yang baik untuk anak. Terima kasih