Menulis Pembelajaran Secara Empatik dan Berpihak Pada Korban

Menulis Pembelajaran Secara Empatik dan Berpihak Pada Korban

Disclaimer: Ini adalah catatan pembelajaran kegiatan mentoring dari program Sekolah Konselor Sebaya (SKS) berbasis empatik dan keberpihakan pada korban yang diinisiasi oleh Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) atas dukungan Indika Foundation telah sampai pada tahapan mentoring. Yayasan Pribudaya adalah sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menaungi Komunitas Perempuan Berkisah yang berada di 7 (Tujuh) Wilayah di Indonesia. Yayasan Pribudaya adalah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. 

Di era serba digital, bukan hal aneh melihat banyak orang memanfaatkan mesin pencari untuk mengetahui berbagai hal, termasuk diagnosis mandiri atas gejala yang dirasakan. Mulai dari mengecek gejala sakit ringan hingga gejala terkait kondisi mental. Semua bisa dilakukan dan pasti ada jawabannya. Hal ini sebetulnya tidak dianjurkan karena bisa berbahaya jika diikuti dengan langkah penanganan yang tidak tepat. Namun, tentu tidak mudah mengubah kebiasaan tersebut, terutama untuk diagnosis mandiri terkait kondisi mental.

Salah satu alasan banyak orang melakukan diagnosis mandiri pada kondisi mental adalah stigma penyakit mental yang diakibatkan kurang iman atau kurang bersyukur pada kehidupan. Stigma tersebut akan semakin parah jika penyebab rentannya kondisi mental adalah tindakan Kekerasan Berbasis Gender (KBG).  Sebab, masih ada oknum profesional yang menyalahkan dan menganggap KBG terjadi karena tindakan korban sendiri.

Bayangkan, sudah dicap kurang iman, masih ada risiko dirinya sebagai korban disalahkan dan dianggap menjadi penyebab terjadinya KBG. Itu sebabnya, mencari jawaban di ruang digital dianggap aman dan menjadi solusi. Demi merespons kondisi ini, tentu penting bagi kita menyediakan konten digital yang ramah bagi korban dan penyintas. Itulah yang selama ini dilakukan oleh media pemberdayaan Perempuan Berkisah (perempuanberkisah.id) lewat tulisan catatan pembelajaran. 

Lokakarya Menulis Catatan Pembelajaran sebagai Penutup Rangkaian Program Sekolah Konselor Sebaya

Program Sekolah Konselor Sebaya yang diinisiasi Yayasan Pribudaya dengan dukungan Indika Foundation telah mencapai puncaknya. Setelah melewati proses perkenalan, diskusi, pelatihan, dan praktik untuk mempersiapkan para peserta menjadi konselor, kini saatnya mereka menuliskan catatan pembelajarannya.

Catatan pembelajaran merupakan salah satu jenis tulisan khas di media Perempuan Berkisah. Tulisan ini lahir dari kegelisahan dan proses refleksi pada sebuah fenomena atau peristiwa. Jenis tulisan catatan pembelajaran di media Perempuan Berkisah mungkin berbeda dengan yang dimiliki media atau organisasi lain. Itu sebabnya, para peserta mendapatkan sesi penguatan kapasitas penulisan ini. 

Dipandu oleh Alimah Fauzan sebagai moderator, sesi ini diisi oleh Annisa dan Erlin Fadhylah. Annisa merupakan sarjana hukum dan salah satu konselor di Ruang Aman Perempuan Berkisah. Ia adalah salah satu konselor yang aktif menuliskan catatan pembelajaran hasil konseling di Ruang Aman PB. Sementara itu, Erlin merupakan lulusan sastra Indonesia yang berprofesi sebagai guru sekaligus tim redaksi perempuanberkisah.id. Keduanya hadir untuk memberikan gambaran terkait proses menulis catatan pembelajaran konselor. 

“Itu sebabnya, penting menulis catatan pembelajaran. Ada begitu banyak pengetahuan dan pengalaman yang sayang (jika) tidak ditulis.” (Alimah Fauzan)

Catatan pembelajaran konselor merupakan akumulasi dari seluruh pengalaman konseling yang dipadukan dengan proses belajar di SKS. Setelah proses belajar yang panjang, tentu ada perubahan yang didorong oleh pengetahuan atau kesadaran baru. Perubahan inilah yang hendak direkam dalam sebuah tulisan catatan pembelajaran. Perubahan tersebut pastinya tidak lepas dari proses refleksi berkelanjutan yang dilakukan selama proses belajar. Dalam proses refleksi, akan muncul penilaian, kesimpulan, atau pembelajaran yang sangat disayangkan jika disimpan sendiri. 

Menulis catatan pembelajaran bukan semata agar orang lain tahu, tetapi juga sebagai perjalanan para peserta menjadi konselor yang menggunakan etika feminisme dan keberpihakan kepada korban. Dan proses penulisan ini juga merupakan salah satu keluaran (output) program SKS. Nantinya, catatan pembelajaran yang ditulis para peserta SKS pun akan dibukukan.

Catatan Pembelajaran sebagai Upaya Memutus Rantai KBG

“… tangan kita cuma dua badan, kita cuma satu. Kita nggak bisa menangani semua kasus yang ada tapi dari kasus-kasus yang kita tangani itu setidaknya kita bisa mencatat apa yang kita pelajari di sana, kita bisa bagikan pada khalayak umum, dan itu bisa dibaca oleh banyak orang. Setidaknya, mungkin (itu)  bisa membantu satu-dua orang yang sekarang sedang berjuang menghadapi hal yang sama …” (Annisa)

Itulah kalimat pembuka dari Annisa, pemateri pertama pada sesi ini, yang mungkin bisa menjadi rangkuman dari manfaat penting menulis catatan pembelajaran konselor. Namun, sebelum mulai menulis tentu ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh penulis, terutama terkait interseksionalitas dan etika penulisan. Topik inilah yang menjadi pembahasan pertama pada sesi ini

Pendekatan interseksional adalah kajian tentang titik temu atau hubungan antara segala sistem dan juga bentuk penindasan dominasi. Bagi konselor, pemahaman terkait interseksionalitas akan memberikan manfaat besar dalam melakukan analisis lapisan kekerasan yang terjadi pada korban KBG. Begitu pun dalam proses penulisan catatan pembelajaran, pemahaman pada interseksionalitas akan memberikan konselor ragam sudut pandang untuk ditulis.

Dengan menggunakan pemahaman interseksionalitas, kita tidak akan melihat kasus KDRT hanya sebagai kasus KDRT. Kita akan melihat lapisan identitas sekaligus lapisan kekerasan yang dialami korban. Misalnya, ketika ada korban KDRT yang mencabut laporan kasusnya dan kembali rujuk dengan pelaku, konselor dengan pemahaman interseksionalitas tidak akan menghakimi keputusan tersebut. 

Bisa jadi, korban adalah seorang istri yang tidak bekerja. Lalu, keluarga besar korban tergantung penuh secara ekonomi kepada pelaku. Kemudian, korban juga bisa saja tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Atau bahkan korban berasal dari darah yang memiliki adat dan budaya mengharamkan perceraian. Bahkan, status sosial serta nama baik diri dan keluarga bisa menjadi faktor yang memengaruhi kondisi korban. 

“Lapisan identitas ini itu sifatnya beragam bisa dari ragam seksualitas, bisa dari agama, kemudian asal daerahnya, kepercayaan, pendidikan, pandangan politik, bahkan kondisi kesehatannya … Jadi, hal itu akan mempengaruhi lapisan penindasan atau kekerasan yang dialami oleh seseorang.” (Annisa)

Tidak hanya korban, lapisan identitas yang kita miliki sebagai konselor dan penulis pun akan berpengaruh pada hasil catatan pembelajaran. Kita sebagai konselor yang kini sudah memiliki pengetahuan dan perspektif terkait konseling berbasis empatik dan keberpihakan pada korban tentu akan memiliki analisis yang berbeda dengan konselor lain. Semua hal tersebut saling berkaitan dan bisa menghasilkan sudut pandang baru dalam tulisan.

Terkait sudut pandang atau angle penulisan, seorang konselor sebetulnya memiliki banyak sekali hal yang bisa dituliskan. Mulai dari analisis pada penampilan dan gerak-gerik korban. Bahkan pada pertanyaan yang sering terlontar dari korban. Hal ini pula yang pernah dilakukan Annisa dalam catatan pembelajarannya. Annisa mencatat analisis terkait proses korban memaafkan pelaku. Topik tersebut terinspirasi dari pertanyaan yang diajukan konseli. 

Jadi, penting bagi konselor untuk selalu mengedepankan empati. Bukan hanya bermanfaat pada sesi konseling, saat kita mampu berempati, menempatkan diri pada posisi konseli, diiringi dengan pengetahuan, kita bisa melihat bahwa ada banyak pembelajaran yang bisa ditulis dan dibagikan. Namun, penting bagi konselor dan penulis catatan pembelajaran untuk mengenali dan memisahkan emosinya dari konseli. Selain untuk menghindari konselor dari pemicu rasa tidak nyaman, memisahkan emosi juga bermanfaat dalam menyusun tulisan yang jernih. 

“(Pentingnya mengenali dan memisahkan emosi konseli dan konselor) … agar kita tidak menuliskan sesuatu yang sangat mentah dan secara emosional sehingga itu terkesan sebagai tulisan yang sifatnya hanya trauma dan sifatnya adalah tulisan yang memuntahkan segala emosi yang dirasakan sehingga tercampur emosi korban dan penulis karena pengalaman pribadi penulis …” (Annisa)

Hal ini pula yang membedakan jenis tulisan catatan pembelajaran dengan kisah korban KBG yang sering dibagikan akun Instagram Perempuan Berkisah. Pada kisah korban KBG, tulisan hanya fokus pada masalah dan emosi korban. Belum ada analisis interseksionalitas, apalagi pembelajaran pada prosesnya pulih. 

Terkait empati, Annisa juga menjelaskan bahwa tulisan yang jujur dan empatik merupakan sarana untuk menguatkan korban dan penyintas lain. Ada banyak korban yang mungkin mengalami situasi yang sama dengan konseli yang kita hadapi. Dengan menulis secara empatik, kita bisa menyentuh hati pembaca, termasuk mungkin juga korban yang belum bisa keluar dari lingkaran kekerasan atau belum berani mencari bantuan. Tidak hanya itu, kita pun berkesempatan membantu mereka meski secara tidak langsung.

“… karena tulisan-tulisan yang jujur tulisan-tulisan yang empatik itu adalah tulisan yang ketika dibaca akan sampai ke hati pembacaannya atau bahkan itu bisa jadi sesuatu yang menguatkan korban dan juga penyintas lain di luar sana yang mengalami hal yang sama.” (Annisa)

Empati dalam penulisan juga membuat catatan pembelajaran menjadi jenis tulisan yang jauh dari kesan menggurui. Lewat catatan pembelajaran, pembaca justru diajak melakukan refleksi saat membaca pengalaman penulis. Pada akhirnya, terbukti pula dari survey yang dilakukan kepada para peserta SKS, catatan pembelajaran merupakan sebagai tulisan yang lebih menginspirasi, berkesan, dan menggugah perasaan. dibandingkan jenis tulisan lain meski memiliki tema yang sama.

“Esensi dari catatan pembelajaran itu tidak menggurui, aku berbagi kerentanan, konflik yang kualami secara kronologi, hingga refleksi dan pembelajaran yang bisa dipetik dari kondisi tersebut agar orang lain yang mengalami hal sama bisa ikut merasakan.” (Erlin Fadhylah)

Tahapan Penulisan Catatan Pembelajaran Berbasis Empatik dan Keberpihakan kepada Korban

Setelah memperkuat pemahaman terkait interseksionalitas, para peserta juga mendapat pembekalan terkait tahapan dan etika penulisan. Dalam penulisan catatan pembelajaran, hal pertama yang harus dipikirkan adalah pemilihan sudut pandang. Tentu saja karena ini merupakan catatan pembelajaran konselor, maka sudut pandang utama dari kacamata konselor. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan catatan pembelajaran dituliskan oleh konselor dengan mengambil sudut pandang korban/penyintas. Hal ini memungkinkan selama konselor telah mendapatkan persetujuan korban. 

Hal ini sejalan dalam setiap proses pengambilan keputusan di ruang konseling. Sebab, pada dasarnya etika penulisan catatan pembelajaran konselor sama dengan etika konseling pada umumnya. Selain harus mendapatkan persetujuan korban/konseli. Saat menuliskan kronologis atau hal-hal terkait korban, konselor sekaligus penulis harus memahami prinsip kerahasiaan. Kita tidak boleh menyebutkan hal-hal yang berpotensi membahayakan konseli. 

Hindari juga menggunakan nama samaran yang terkesan melemahkan seperti nama-nama bunga. Kita juga disarankan untuk menulis tanpa mengecilkan pengalaman korban. Jangan perhalus kata perkosaan menjadi rudapaksa atau digagahi. Perhatikan juga penyusunan kalimat agar tidak membuat korban seolah memiliki kontribusi pada terjadinya tindak kekerasan. 

Sebagai konselor dan penulis catatan pembelajaran korban, selaiknya kita juga tidak menghakimi dalam tulisan. Tugas kita adalah menjadi penyambung lidah tanpa penghakiman. Jangan sampai tulisan kita memberikan penilaian pada pilihan korban, misalnya mengatakan korban seharusnya begini, korban semestinya begitu, atau lebih buruk, memberi kritikan. Karena proses analisis yang dilakukan hendaknya justru membuka lapisan kekerasan yang terjadi dan mencatat proses perjalanan pulihnya.

Jadi, tahapan dalam proses penulisan catatan pembelajaran dimulai dari eksplorasi masalah. Saat kita melakukan konseling/pendampingan, kita tentu melakukan analisis pada kekerasan yang dialami konseli. Kesadaran pada ketidakadilan, ketimpangan, dan situasi tidak ideal yang dialami konseli merupakan hal yang harus kita catat. 

Setelah melakukan eksplorasi masalah dan memilih satu topik untuk dikembangkan, kini saatnya menggunakan pendekatan interseksionalitas atau berbagai materi lain yang sudah dipelajari selama program SKS sebagai pisau analisisnya. Bagian ini memuat pemaknaan kita atas peristiwa traumatik serta keterkaitan peristiwa tersebut dengan isu lain. Penting memiliki perspektif yang jelas dan sensitivitas gender untuk memahami akar masalah peristiwa yang dialami oleh konseli.

Terakhir adalah tahapan refleksi. Pada akhirnya, catatan pembelajaran harus mampu menjawab pertanyaan, hikmah apa yang bisa dipetik dari seluruh proses memahami isu, dan sosok seperti apa yang dihasilkan dari pemahaman tersebut?

Dalam penyusunan catatan pembelajaran, kita bisa mengadopsi alur penceritaan naratif. Hal ini perlu diperhatikan sebab kondisi korban kemungkinan tidak membuatnya mampu menceritakan sesuatu secara berurutan. Namun, tugas kita sebagai penulis untuk menyusunnya agar bisa lebih mudah dicerna oleh pembaca.

Kita bisa mulai dengan pengenalan peristiwa/isu. Kemudian, tulisan berproses pada konflik yang terjadi. Lalu, titik balik yang mendiskusikan kesadaran dan pembelajaran dari hasil analisis isu. Baru pada akhirnya, catatan pembelajaran akan ditutup dengan hikmah yang didapatkan dari seluruh proses tersebut. 

“Catatan pembelajaran biasanya pakai pola pengembangan induktif. Jadi saat membahas childfree, tidak dimulai dengan definisi childfree, tidak mulai dari karakteristik, ciri. Mulai dengan sesuatu yang bisa membuat pembaca dekat dengan kita, misalnya dialog, kisah diri, kisah yang kita amati, percakapan, kutipan.” (Erlin Fadhylah)

Pada akhirnya, salah satu misi perempuanberkisah.id dan Yayasan Pribudaya adalah menjadi sebuah media pemberdayaan. Itu sebabnya, kita ingin menyentuh lebih banyak korban/penyintas lewat tulisan yang tidak sekadar informasi, tetapi juga bermakna. 

“Tulisan yang baik bukan berasal dari ide yang gemilang atau luar biasa, Ide bisa dimulai dari diri, pengalaman, dan perasaan, Bukan juga dari tata bahasa yang cemerlang. Tulisan yang baik adalah yang selesai dan sampai pada pembaca dan menyentuh nurani pembaca dengan kejujuran.” (Erlin Fadhylah)