Mentoring III: Self-Healing untuk Penyintas dan Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender

Mentoring III: Self-Healing untuk Penyintas dan Pendamping Korban Kekerasan Berbasis Gender

Disclaimer: Ini adalah catatan pembelajaran kegiatan mentoring dari program Sekolah Konselor Sebaya (SKS) berbasis empatik dan keberpihakan pada korban yang diinisiasi oleh Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) atas dukungan Indika Foundation telah sampai pada tahapan mentoring. Yayasan Pribudaya adalah sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menaungi Komunitas Perempuan Berkisah yang berada di 7 (Tujuh) Wilayah di Indonesia. Yayasan Pribudaya adalah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya menaungi Komunitas Perempuan Berkisah di 7 Wilayah dampingan di Indonesia: Jabodetabek, Jabar, Jateng, Yogyakarta-DIY, Jatim, Sumatera, Indonesia Timur (IT).

Maksud hati ingin journaling secara digital sebagai proses self-healing dengan menyalurkan keresahan lewat status media sosial. Namun, alih-alih mendapat ketenangan malah ada pihak yang tersindir dan marah-marah. Bukan tambah tenang, hati malah semakin tidak nyaman, pikiran pun runyam.

Jadi, salahkah digital journaling?

Tepatkah digital journaling menjadi salah satu media untuk self-healing?

Self-Healing bagi Penyintas, Konselor, dan Pendamping Korban

Self-healing atau penyembuhan diri merupakan proses yang dilakukan oleh diri sendiri untuk memulihkan luka batin. Hal yang belum diketahui banyak orang, self-healing sendiri ternyata merupakan sebuah keterampilan yang bisa dipelajari. Manfaatnya bukan hanya untuk diri sendiri. Bagi para konselor atau pendamping korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG), mengetahui dan memahami beberapa metode self-healing bisa amat berguna dalam membantu korban. 

Atas dasar itulah topik self-healing diangkat dalam sesi mentoring tahap ketiga dalam program Sekolah Konselor Sebaya (SKS) yang diprakarsai Yayasan Pribudaya dengan dukungan Indika Foundation. Dalam sesi yang dilaksanakan pada 18 Februari 2023 ini, dua konselor dari Ruang Aman Perempuan Berkisah (PB) menjadi narasumbernya. Narasumber pertama adalah Inda Marlina, lulusan S1 dan S2 Antropologi UGM yang juga seorang peneliti dan asisten konsultan. Inda aktif membagikan konten terkait isu kesehatan mental juga berperan sebagai konselor PB. Narasumber kedua adalah Izzuliyah Nur, seorang sarjana psikologi lulusan UIN Yogyakarta juga seorang HRD, konselor PB, dan lead facilitator meditation unit.

Keduanya hadir dan memperkenalkan teknik self-healing yang berbeda. Menariknya, konsep self-healing yang dibahas berbeda dengan healing yang selama ini populer di media sosial. Sebab, metode self-healing yang bermanfaat bagi penyintas serta konselor dan pendamping korban KBG tidak hanya bertujuan untuk menghilangkan penat. Tujuan utama dari self-healing ialah penyaluran katarsis hingga memberdayakan diri, terutama untuk korban KBG. Sehingga, pergi liburan atau wisata kuliner yang kerap disebut sebagai healing justru bukanlah cara yang tepat.

Mungkin sebagian ada yang bertanya, mengapa?

Menurut kedua narasumber, self-healing bukanlah hal yang instan. Sebagai sebuah proses, self-healing harus dilakukan secara berkelanjutan dan lahir dari kesadaran. Jadi, pergi liburan sesekali bukanlah self-healing dan lebih tepat disebut self reward atau refreshing. Saat refreshing, bisa jadi kita merasa bahagia dan bisa melupakan rasa sakit. Namun, jika kita kembali sedih setelah sesi refreshing berakhir, berarti kita masih tergantung pada hal-hal eksternal untuk bahagia. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita belum sembuh dari luka batin.

Self-Healing: Ciptakan Ruang Aman bagi Diri Sendiri

Salah satu indikator keberhasilan proses self-healing adalah saat kita tidak lagi banyak bergantung pada hal di luar diri dalam jangka waktu lama. Selain itu, proses self healing mestilah lahir dari kesadaran mengenai alasan kita sembuh. Semestinya, kita menjadi sosok yang paling mengenal diri kita sendiri. Itu sebabnya, sosok yang paling bisa mengobati luka batin yang kita alami adalah diri kita sendiri. Dalam self-healing, kita meminimalisir faktor eksternal dan mulai jujur pada diri sendiri. 

Tentu hal ini sejalan dengan prinsip memberdayakan korban hingga menjadi penyintas pada konseling berbasis keberpihakan kepada korban. Korban didorong kesadarannya untuk mengobati luka batin yang ia alami. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk melakukannya adalah memperkenalkan metode self-healing pada korban maupun penyintas. Namun, sebagai konselor kita tidak bisa asal memberikan saran self-healing. Akan lebih baik jika konselor punya banyak referensi self-healing yang bisa ditawarkan pada konseli.

“Psikolog pun cocok-cocokan jadi self-healing yang dilakukan harus sesuai diri kita. Penting untuk punya banyak referensi.” (Izzuliyah Nur)

Konselor harus mampu mengenali keadaan konseli dan konteksnya. Kedepankan dulu persetujuan korban dan tanyakan cara paling nyaman untuk penyaluran katarsis konseli. Tanyakan juga metode self-healing yang pernah dilakukan oleh konseli. Pahami efektivitas dan efisiensinya pada kondisi konseli, baru tawarkan cara lainnya. Sebab, self-healing harus menjadi ruang aman dan nyaman bagi konseli menyalurkan perasaan negatif secara positif.

“Tidak ada kaidah baku, yang penting menciptakan ruang aman untuk diri sendiri” (Inda Marlina)

Menemukan metode self-healing yang cocok dan tepat serta rutin melakukannya juga dapat membantu konseli meningkatkan rasa cinta pada diri sendiri, mulai berdamai dengan diri, dan pastinya menjadi sosok yang lebih berdaya. Apakah lantas self-healing pasti bisa menyembuhkan luka batin? Izzuliyah menjelaskan dua pandangan tentang indikator sembuh. Pertama, sembuh adalah kondisi ketika pikiran, perasaan, perilaku sudah selaras. Sementara pandangan kedua menganggap bahwa tidak ada kesembuhan, yang ada hanyalah kondisi yang lebih baik. Pada akhirnya, kesembuhan itu hanya bisa dicapai dan disadari oleh diri sendiri. Self-healing hanyalah salah satu proses untuk membantu menuju kondisi tersebut.

Meski begitu, self healing tidak bisa menjadi pengganti terapi. Self-healing hanya digunakan untuk proses pemulihan yang bisa diatasi sendiri dan tidak bisa mengesampingkan pertolongan profesional dalam menangani korban KBG. Self-healing bisa menjadi metode darurat saat kita mengalami hal tidak menyenangkan dan ingin segera mengeluarkan perasaan mengganjal dari dalam diri. Ketika kondisi tersebut sudah kronis dan mengganggu fungsi harian, maka intervensi dari profesional seperti psikolog atau psikiater tetap diperlukan. 

Journaling sebagai Metode Self-Healing

Salah satu metode self-healing yang diperkenalkan kepada para peserta Sekolah Konselor Sebaya adalah journaling. Journaling sendiri tidak terbatas pada tulisan, tetapi juga bisa berbentuk visual atau gambar. 

Bentuk tulisan pada journaling adalah tulisan ekspresif. Seperti namanya, menulis ekspresif merupakan metode mencurahkan emosi lewat tulisan. Dalam menulis ekspresif ataupun menggambar untuk self healing, kita mesti membebaskan diri dari aturan baku. Jangan sampai proses journaling membuat kita terbebani akan bagus jeleknya tulisan ataupun gambar. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita disarankan untuk jujur pada diri sendiri dan menuangkannya dalam jurnal. Kita harus mengakui bahwa semua emosi dan perasaan kita valid. Kemudian, kita lakukan observasi atau meneliti diri sendiri dengan mendeskripsikannya. Pahami pengaruh situasi sekitar pada kondisi fisik, hal yang memicu emosi timbul, dan siapa yang berkontribusi pada perasaan tersebut. Tidak ada benar salah karena yang paling dibutuhkan adalah menulis atau mengekspresikan diri apa adanya.

“Berekspresilah tanpa rahasia, petakan apa yang bisa dan ingin dilakukan untuk mengatasi rasa tidak nyaman di diri sendiri.” (Inda Marlina)

Ada banyak hal yang bisa dijadikan tema saat kita akan mulai melakukan journaling. Jika masih bingung, Inda memperkenalkan empat tema yang paling sering dipilih yakni gratitude journaling, reflective journaling, health journaling, dan goal journaling

Dalam gratitude journaling, kita bisa menulis atau memvisualisasikan hal-hal yang kita syukuri. Tidak harus sesuatu yang besar, sekadar udara segar yang kita hirup pun bisa kita syukuri. Tidak ada juga yang akan memandang remeh rasa syukur tersebut sebab jurnal ini ditujukan bagi diri kita sendiri. Selanjutnya adalah reflective journaling. Jurnal ini bisa berisi refleksi dari pengalaman yang kita alami dengan mnimbang kelebihan dan kekurangan tindakan kita pada pengalaman tersebut. Sementara itu, health journaling cocok untuk menulis riwayat kesehatan baik fisik maupun mental. Sebagai pendamping, kita pun bisa membantu mencatatkan juga kondisi kesehatan konseli dengan persetujuan. Terakhir adalah goal journaling yang berfungsi untuk memetakan target kita.

Dari segi bentuk, ada empat bentuk journaling yang bisa kita lakukan yakni membuat peta pikiran, menulis puisi, menulis dalam bentuk narasi, coretan, dan visual. Setiap bentuk memiliki ciri khas sendiri. Namun, tujuannya sama yakni sebagai media ekspresi yang jujur dan menyembuhkan. Ada banyak metode journaling lainnya, tetapi lima bentuk ini adalah yang paling umum dan mudah dilakukan. 

Menulis ekspresif yang pertama bisa dilakukan dalam bentuk peta pikiran. Bentuk peta pikiran atau yang populer disebut mind map bermanfaat untuk mengelompokkan hal tertentu yang mungkin tersebar dalam pikiran kita seperti prioritas, rencana, dan lainnya. Tulis atau visualkan apa pun yang terlintas di benak dengan garis penghubung untuk membuatnya menjadi kesatuan utuh.

Selanjutnya, ada tulisan ekspresif berbentuk puisi. Puisi umumnya berisi ekspresi emosi yang kuat. Inda berpesan agar kita tidak perlu malu dalam mencurahkan perasaan pun khawatir pada struktur penulisan puisi. Hal yang terpenting adalah kita bisa mencurahkan emosi kita dalam tulisan.

Berbeda dengan puisi, bentuk narasi bermanfaat agar kita bisa menulis perasaan kita secara runut. Selain itu, menulis narasi juga bisa dijadikan sarana dialog diri. Bentuknya pun macam-macam tidak mesti seperti menulis buku harian, tetapi bisa seperti cerpen. Dialog antartokoh rekaan dalam cerpen bisa mencerminkan dialog diri kita. Jadi, jangan batasi kreativitas dan imaji kita selama kita jujur!

Bentuk berikutnya adalah coretan. Ini merupakan bentuk paling random dalam menulis ekspresif. Meski begitu, coretan ini sangat berguna untuk menyalurkan emosi negatif. Tulislah apa pun yang terlintas di kepala. Coretan akan menjadi media penyaluran yang aman saat kepala kita terasa bising dengan emosi negatif tak tertahankan. 

Mengingat fungsinya sebagai penyaluran yang aman bagi diri, journaling atau menulis ekspresif di media sosial yang bisa dibaca dan diakses banyak orang mesti dibarengi dengan pemahaman pada risikonya. Menurut Inda, memang tidak ada ketentuan baku terkait journaling haruslah menggunakan media kertas. Media elektronik bahkan rekaman suara pun bisa digunakan untuk journaling dan merekam emosi kita. Namun, Izzuliyah mengingatkan bahwa tidak semua orang bisa menerima luapan emosi kita. Bisa jadi, justru ungkapan kita menjadi pemicu trauma bagi orang lain. Sehingga, journaling di media sosial tidaklah salah, tetapi cenderung tidak aman baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Self-Healing dengan Mindfulness: Bantu Penyintas Hadapi Pemicu Trauma 

Selain journaling, self-healing juga bisa dilakukan dengan meditasi. Saat meditasi, akan ada proses kimia di otak yang membuat hormon kita seimbang dan memberikan efek menenangkan.  Namun, bagaimana jika trauma kita terpicu di tempat ramai atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan meditasi? Inilah manfaat mindfulness yang ternyata merupakan bagian dari meditasi.

“Intinya (mindfulness) menyadari, menerima, dan menemukan makna baru.” (Izzuliyah Nur)

Menurut Izzuliyah, mindfulness adalah kemampuan dasar manusia untuk hadir sepenuhnya. Sosok yang mindful akan sadar dimana kita berada, sadar akan hal yang dilakukannya, serta tidak terlalu reaktif. Tanpa mindfulness, bisa jadi kita akan reaktif saat terpicu trauma. 

Untuk memanfaatkan mindfulness sebagai strategi self healing, kita mesti memahami empat inti dari mindfulness yakni attention, intention, presence, dan openness

“Strategi menerapkan mindfulness adalah dengan mengenali emosi yang hadir dan menerimanya, melakukan identifikasi dan memberi nama emosi yang hadir, melihat bahwa (emosi) itu adalah hal yang sementara, melepaskan keinginan untuk mengontrol (emosi tersebut), memahami kehadirannya (emosi), dan tetap bernapas dengan tenang).” (Izzuliyah Nur)

Attention berarti mengarahkan dan mempertahankan perhatian pada stimulus tanpa penghakiman, Terkadang, pemicu trauma bisa hadir kapan saja dan di mana saja. Untuk menjadi pribadi yang mindful, kita memang mesti mengenali pemicu trauma, tetapi usahakan untuk tidak memberi penghakiman pada stimulus tersebut. 

Selanjutnya adalah intention yang berarti meningkatkan kesadaran diri. Pada tahap ini, sadari efek yang ditimbulkan dari stimulus pemicu trauma kepada diri. Efeknya bisa bermacam-macam misalnya meningkatnya detak jantung, tangan yang bergetar, atau respons fisik dan nonfisik lain yang ditimbulkan kepada tubuh.

Saat tubuh merespons dengan ketidaknyamanan, pikiran cenderung membawa kita kembali pada fase traumatis. Itu sebabnya, kita perlu being presence atau menyadari keberadaan kita. Untuk melakukannya, Izzul memberikan tips agar kita menarik napas kemudian melihat jam dan kalender terdekat dari kita. Hal ini berfungsi untuk mengingatkan diri bahwa kita tidak berada dalam kondisi traumatis tersebut.

Terakhir adalah openness yanki memerhatikan pikiran, emosi, dan fisik kita secara objektif dan tanpa penghakiman. Pada tahap ini jadilah welas asih dan jujur pada diri sendiri. Terima kondisi diri yang mungkin masih sulit mengendalikan respons trauma sambil terus berusaha menenangkan diri dengan menghadirkan seluruh kesadaran di masa kini.

 Pada intinya, untuk bisa menerapkan mindfulness memang butuh latihan. Namun, ketika kita sudah mampu melakukannya, mindfulness akan membawa kita ke reaksi terbaik yang membantu menghadapi rasa sakit dan juga trauma.