Pembelajaranku Bertumbuh di Tengah Keluarga Minim Apresiasi

Pembelajaranku Bertumbuh di Tengah Keluarga Minim Apresiasi

DISCLAIMER: Ini adalah kisah nyata dari sender, kisah ini juga telah dipublikasikan di instagram perempuan berkisah

“Halo, assalamualaikum diriku, apakah hari ini kamu siap kuajak belajar lagi?,” batinku ketika aku duduk di kursi.

Pikiran saya terseret kembali pada ingatan dimana menjadi anak adalah takdir yang harus saya jalani, ketidaksengajaan yang harus saya nikmati, kehidupan yang harus saya terima dan pelajaran yang harus saya baca berulang kali. Bagaimanapun warnanya, mau bahagia atau sedih. Kehidupan ini harus dibaca.

Menjadi anak adalah takdir yang tidak pernah sama sekali saya tahu sebelumnya, apalagi cerita yang saya miliki seperti apa juga tanpa rencana, sama sekali.

Yang saya tahu, menjadi anak adalah proses saya untuk terus belajar. Saya harus mendapati nilai baik, saya tidak boleh keliru, harus melakukan sesuatu dengan sempurna. Tugas saya sebagai anak adalah memenuhi ekspektasi orang tua, pikir saya saat itu.

Saya tumbuh dari keluarga yang minim apreasiasi

Saat salah, sebagai anak, saya akan banyak menerima kritik. Saya tumbuh dari keluarga yang tanpa sedikitpun memberikan apresiasi atas capaian, keberhasilan dan kesuksesan yang saya miliki. Semua akan menganggap bahwa pencapaian saya biasa saja. Ucapan terima kasih pun tidak ada, kok sampai mikirin apresiasi diberikan hadiah. Tidak sama sekali.

Dalam keluarga, ibu saya adalah pekerja domestikan, yang sejak pukul 4.00 WIB sudah memulai aktivitasnya di dalam rumah. Belum lagi kalau kadang bekerja di sawah orang. Jadi buruh. Sering pulang sore.

Pulang langsung istirahat, dalam waktu seperti ini, ketika ibu menjumpai saya sebagai anak yang diminta membantunya mengerjakan sesuatu tidak tepat. Kerap kali, ibu akan terus marah, banyak bicara, susah diajak ngobrol. Hal seperti ini terus terulang sampai saya dewasa.

“Deg!”

Pertanda, kalau mendapati kondisi ibu yang seperti hati saya tidak tenang, resah, sebagai anak seperti tidak ada gunanya. Berhasil, tidak berarti. Keliru, dimarahi.

Perasaan cemas, sering emosi, sering tidak percaya diri selalu saya rasakan.

Suatu waktu saya pernah berpikir dan begitu percaya diri “Saya ini anak perempuan mandiri, tegas, juga tidak bodoh-bodoh amat, bahkan di kelas pun saya tak jarang menduduki peringat terbaik yang diimpikan banyak orang tua untuk anak-anaknya. Tapi kenapa saya sering cemas, marah dan selalu tidak percaya diri dengan kemampuan saya?”

Apa yang salah dalam diri saya? Apa yang keliru? Saat rasa marah, cemas dan sering tidak tenang itu memenuhi diri saya, rasanya sekian kapasitas dalam diri yang saya miliki sudah tidak berarti lagi.

Saya seperti kaleng kosong yang kalau disenggol akan dengan mudah menggelinding. Saya sering tidak terima dengan diri sendiri, meyalahkan diri-sendiri. Rasa percaya diri itu masih belum selesai sampai menginjak bangku perkuliahan.

Ketika saya masih terus merasakan kondisi yang sama, tidak pernah dihargai capaian saya. Saya mulai menolak, melawan keluarga saya bahwa saya tidak boleh terus-terusan dituntut untuk sempurna.

Saya menolak dan melawan ekspektasi orang tua, dengan niat tidak untuk merasa paling tahu, paling paham, paling benar apalagi paling pintar. Tidak, saya melawan pandangan orang tua saya yang saya rasa sangat meresahkan tidak lain adalah untuk mengingatkan bahwa orang tua adalah manusia biasa. Bukan Tuhan, bukan diktator yang bisa seenak hati memaksa anaknya. Kalaupun berbeda, itu gapapa.

Anak tidak harus menjadi orang tua, anak tidak harus sempurna

Sudah berusaha, kok salah, itu gapapa. Saya menolak keras sejak saat itu ketika merasa tidak nyaman. Saya mulai berani bicara keras dan marah. Saya berani mengkritik keras orang tua, keluarga yang saya rasa keliru dalam hal memberikan contoh baik dalam hidup saya.

Kejadian itu memberikan tamparan keras di hati keluarga saya. Sejak saat itu saya mulai jarang mendengar kritik atas kesalahan yang dilakukan anggota keluarga di dalam rumah, termasuk saya. Saya sudah bosan mendengar, orang tua saya saling adu perjuangan dan marah-marah. Itu karena orang tua saya merasa tertampar atas tindakannya selama ini yang keliru. Dari situ orang tua mulai pelan dan tidak sering marah lagi.

Dalam waktu yang bersamaan pula, saya menyadari itu bukan hal yang diinginkan ibu untuk marah saya anak-anaknya. Ibu adalah perempuan yang bisa dikatakan mengalami double burden. Dalam kondisi capek dengan banyaknya aktivitas yang telah dilakukan tak jarang selalu membawa dirinya dalam kondisi tidak baik. Ya, sering marah.

Saya tahu dari mana pemicu ibu yang sering merasa tidak puas dengan pekerjaan yang dilakukan orang rumah dan sering marah. Tahupun tidak bisa dengan mudah membuat saya bisa menerima kondisi ini. Saya anak, biasa saja. Perasaan kesal tentu sering memeluk diri saya.

Pengetahuan yang pernah saya pelajari tentang emosi yang muncul pun seperti tidak berlaku saat itu. Saya kesal, saya sakit hati.

“Hufftttt” dalam kondisi begini, saya tarik nafas dalam. Tidak bisa diganggu, butuh waktu sendiri sampai benar-benar stabil. Tidak bisa dengan cepat mudah menerima bahwa sikap yang timbul dari orang tua saya memang berangkat dari tekanan hidup yang keras yang belum berhasil mereka ketahui, identifikasi bahkan sadari. Ya, kemampuan yang minim mungkin menentukan itu semua. Tapi apalah, saya masih butuh waktu menerima itu semua.

Pembelajaran tentang sensitivitas gender, buku yang pernah saya jumpai, saya baca, seakan tidak berarti lagi bagi saya

Namun, saya menyadari betul bagaimana buku, petualangan, kawan memberikan pengaruh kuat bagi diri saya sampai hari ini. Dengan siapa saya berkawan, memilih bertumbuh dengan komunitas seperti apa, memilih buku seperti apa yang harus saya baca memberikan kekuatan besar bagi saya. Dari sinilah saya menjadi manusia yang mencoba membuka teka-teki yang selalu dilarang, tidak boleh dilanggar, tidak boleh berani dengan orang tua, saya melanggar itu, saya mulai menolak ketika diperlakukan dengan tidak nyaman.

Ibu yang biasanya setiap hari selalu terdengar marah-marah, mulai memikirkan perkataan saya dan perlawanan yang saya berikan.

Belajar isu perempuan, gender, bertemu dengan buku-buku yang keren membuat diri saya semakin hidup.

Buku-buku itu juga membuat saya berproses memaknai hidup pelan-pelan, mulai menerima diri saya, belajar menoleransi pola pengasuhan orang tua yang sebentulnya saya tahu orang tua adalah juga korban. Untuk menerima itu sendiri juga butuh waktu, tidak harus sehari-dua hari sadar. Butuh support system juga.

Keberanian saya menyampaikan ketidaknyamanan atas sikap orang tua saya tidak lepas dari petualangan menjelajahi dunia melalui buku-buku dan pelukan hangat kawan-kawan perempuan.

Perjalanan ini membuat diri saya berani mengatakan “mendidik” itu bukan hanya relasi orang tua pada anak, melainkan anak kepada orang tua. Anak juga memiliki tanggung jawab mendidik orang tua. Mereka sebenarnya adalah manusia biasa, sama seperti saya, anaknya. Butuh sama-sama saling belajar, mengingatkan, bahkan kadang sekali-kali perlu berdebat untuk membangun hubungan yang setara. Bukan hubungan mandor dan buruh.

Energi besar saya dapatkan dari kawan-kawan perempuan

Proses ini yang membuat saya makin penasaran untuk mengukir cerita dalam hidup. Berkat energi besar dari kawan-kawan perempuan yang tanpa diminta mendukung ketidakberdayaan saya. Mencintai saya dalam segala cuaca, tanpa syarat dan ragu. Yang selalu dengan tabah memvalidasi perasaan saya, meski tahu kadang saya yang keliru, mereka menahan diri untuk tidak menghakimi. Mereka dengan ikhlas dan tulus merangkul.

Memang benar, saat ada kawan kita yang sedang tidak baik-baik saja, mereka tidak butuh apa-apa, kadang hanya butuh divalidasi perasaannya, mengakui kalau ada yang hadir membersamai langkahnya. Tindakan ini adalah langkah yang paling efektif, yang paling tepat, yang paling empati dan mendekati tujuan kemanusiaan manusia diciptakan untuk saling mengasihi.

Saya menulis ini dengan percaya diri juga berkat hadirnya kekuatan besar dari kawan-kawan perempuan yang selama ini secara konsisten memeluk saya. Tulisan ini adalah persembahan saya atas nikmat hidup yang saya miliki hari ini, perjalanan yang sudah saya lalui, patah hati yang pernah saya rasakan, juga ketidakjelasan yang akan terus saya lakukan untuk mewarnai hidup saya telah membawa saya, orang tua saya dan keluarga saya memaknai ulang apa arti artinya berkeluarga dan tujuan berkeluarga.

Melalui orang tua saya, saya belajar banyak hal. Hidup ini dinamis, dan akan terus bergerak. Meski berjalannya pelan sekali, tidak akan secepat saat seseorang mengayuh sepeda.