Mentoring II: Memahami Kebutuhan Korban dalam Konseling dan Pendampingan Korban KBG

Mentoring II: Memahami Kebutuhan Korban dalam Konseling dan Pendampingan Korban KBG

Disclaimer: Ini adalah catatan pembelajaran kegiatan mentoring dari program Sekolah Konselor Sebaya (SKS) berbasis empatik dan keberpihakan pada korban yang diinisiasi oleh Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya) atas dukungan Indika Foundation telah sampai pada tahapan mentoring. Yayasan Pribudaya adalah sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menaungi Komunitas Perempuan Berkisah yang berada di 7 (Tujuh) Wilayah di Indonesia. Yayasan Pribudaya adalah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. 

Mengacu pada UU TPKS, pasal 26 ayat 3–4, disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi pendamping korban KBG diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. Namun, fakta di lapangan tidak semudah teori. Selain keterbatasan tenaga pendamping profesional, di antara para pendamping yang sudah tersertifikasi pun belum tentu memiliki perspektif keberpihakan kepada korban. Melihat fakta tersebut, dapatkah kita membayangkan kesulitan korban berjenis kelamin non-biner dalam mengakses pendampingan? 

Sesi Mentoring SKS Tahap Kedua: Analisis Pendampingan Langsung

Pada 21 Januari 2023, Yayasan Pribudaya didukung oleh Indika Foundation telah melaksanakan sesi mentoring SKS pertama dengan topik Tahapan dan Analisis Proses Konseling di Ruang Aman Perempuan Berkisah. Ada banyak hal teknis serta contoh nyata dari tahapan konseling yang pernah dilakukan para konselor di Ruang Aman PB dipaparkan pada sesi ini. Kemudian pada 4 Februari 2023, peserta mendapatkan sesi mentoring kedua yang mengangkat topik mengenai Analisis Pendampingan Korban Langsung

Sesi mentoring ini dipandu oleh Angelino Vinanti selaku Knowledge Management & Communication Yayasan Pribudaya dan Perempuan Berkisah. Hadir pula Afif Hida, M. H.  dan Triska Nurita, S. Psi., dua konselor dan pendamping korban dari Ruang Aman Perempuan Berkisah. Mereka membagikan pengalamannya dalam melakukan pendampingan korban langsung di Jawa Barat dan Jawa Timur bersama Perempuan Berkisah selama kurang lebih tiga jam.

Kedua narasumber tidak sekadar membahas mengenai materi terkait pendampingan korban KBG secara langsung, tetapi juga berbagi praktik baik dan tantangan yang telah dilakukan dan dihadapi sebagai pendamping di daerah masing-masing. Mereka pun menekankan pentingnya pemahaman terkait etika feminisme dalam pendampingan korban secara langsung untuk mendorong kesadaran kritis transformatif korban KBG. 

Pendamping Tidak Bisa Bekerja Sendirian

Saat sesi mentoring berlangsung, salah seorang peserta dari kelompok 3 berbagi pengalamannya sebagai korban sekaligus pendamping KBG yang terjadi di sebuah universitas. Prosesnya memperjuangkan hak sebagai korban, menemui berbagai hambatan salah satunya dengan tuduhan pencemaran nama baik institusi. Korban mendapatkan ancaman dan intimidasi hingga membuatnya sangat lelah baik secara fisik maupun mental. Belajar dari pengalaman tersebut, ia pun memahami bahwa mendampingi korban butuh tenaga ekstra dan tidak bisa sendirian. 

Hal ini sejalan dengan materi yang disampaikan oleh Afif Hida sebagai narasumber pertama. Untuk menangani satu korban, bisa jadi kita membutuhkan penanganan dari berbagai lembaga dan melibatkan banyak pihak. Itu sebabnya, pendamping perlu memahami betul posisi dan perannya untuk memaksimalkan proses pendampingan yang akhirnya bisa memberdayakan korban.

Menilik definisi, pendamping adalah orang yang terkategorikan sebagai pengantar perubahan agent of change baik yang berada dalam sistem sosial masyarakat (Susanto). Mengacu pada UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 ayat 14, yang dimaksud pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional di bidangnya. Dapat disimpulkan bahwa pendamping merupakan pengantar perubahan. Jadi, yang ditekankan adalah penyadaran korban.  Itu sebabnya pendamping korban KBG mestilah memahami etika feminisme untuk membantu korban bertransformasi menuju pulih. 

Dalam proses pendampingan korban KBG, setidaknya ada beberapa pihak yang mungkin terlibat selain pendamping yakni psikolog atau psikiater, paralegal,  pengacara, atau advokat. Belum lagi dalam proses pendampingan bisa jadi melibatkan pihak lain seperti tenaga kesehatan maupun kepolisian sesuai kebutuhan korban. Untuk itu, pendamping perlu memahami kapasitas dirinya. Hal ini penting agar pendamping bisa mengambil peran yang paling sesuai dengan kondisi dan posisinya saat itu.

Apa pun posisi yang dipilih sebagai pendamping, perlu diingat bahwa menjadi pendamping tidak hanya perlu memahami kapasitas diri melainkan juga kekurangannya. Pendamping mestilah sosok yang empatik, bersedia meluangkan waktu, bahkan tidak jarang turut menyediakan anggaran dalam proses pendampingan. Empati ini juga semestinya hadir dalam sikap pendamping yang tidak mendominasi, menghargai perbedaan, serta mau mendengarkan tanpa menggurui. 

Meski demikian, untuk menjadi seorang pendamping korban tidak bisa hanya mengandalkan empati. Ada beberapa persyaratan untuk menjadi pendamping korban. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU TPKS pasal 26 ayat 3–4. Pertama, pendamping mesti memiliki kompetensi tentang penanganan korban yang berperspektif HAM dan sensitivitas gender. Kedua, khusus untuk pendampingan di ranah hukum sebaiknya pendamping telah mengikuti pelatihan penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Terakhir, pendamping diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. 

Pentingnya Memahami Kebutuhan Korban dalam Pendampingan Kasus

Terkait syarat ketiga menjadi pendamping yakni berjenis kelamin sama dengan korban, ternyata belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan korban. Hal ini pun menjadi poin penting diskusi dalam sesi mentoring SKS kedua. Sebab, bagaimana nasib korban yang merupakan transpuan dan translaki? Di mana mereka bisa mendapatkan akses pendampingan?

Afif Hida menjelaskan ada perbedaan ranah antara konselor dan pendamping. Konselor bisa jadi siapa saja, tetapi dalam pendampingan langsung, terutama yang menyangkut kondisi vital korban, sebaiknya tetap dilakukan dengan jenis kelamin yang sama. Contohnya dalam proses visum.

“Saya pernah bergabung dalam kasus perempuan pemerkosaan, ada laki-laki pendamping. Namun, saat menceritakan kronologi pemerkosaan, korban sendiri merasa itu aib jika diceritakan kepada pendamping yang berbeda gender.” (Afif Hida, M. H.)

Dari sisi psikologi, Triska Nurita menambahkan bahwa ada kode etik konseling yakni pendamping dan korban harus dari jenis kelamin yang sama. Namun, praktiknya ada yang lebih nyaman dengan jenis kelamin sebaliknya. Alasan kode etik itu adalah menghindari emotional attachment. Misalnya, klien datang ke psikolog karena sangat ketergantungan merasa sosok psikolog yang paling mengerti dirinya. 

“Saya memiliki teman yang gay, saat konseling ia lebih nyaman dengan psikolog perempuan. Namun, ada juga psikolog laki-laki yang menangani kasus berhubungan dengan transgender.” (Triska Nurita, S. Psi.)

Pada akhirnya, baik narasumber maupun peserta sepakat bahwa hal ini masih menjadi tantangan bagi kita semua dalam proses pendampingan korban KBG secara langsung. Sulit mencari pendamping maupun psikolog yang tidak bias gender dan mau menangani kasus yang berhubungan dengan gender. Psikolog masih banyak yang belum berpihak pada korban kekerasan dan gender. Semua pun sepakat bahwa pada akhirnya semua kembali pada kebutuhan dan kenyamanan korban, termasuk dalam hal memilih pendamping dalam penanganan kasusnya. 

Minimnya Perlindungan Korban dan Pendamping dalam Penanganan Kasus KBG

Dalam pendampingan kasus KBG secara langsung, ada ancaman keselamatan yang mungkin dialami oleh korban. Bukan hanya korban, pendamping pun berpotensi mengalami hal serupa. Seperti diceritakan Triska Nurita, S. Psi., sebagai pemateri kedua, dalam proses pendampingan langsung yang pernah ia lakukan di Jawa Barat. Nuri pernah menghadapi pelaku yang datang di malam hari dengan membawa polisi. Pelaku meminta untuk bertemu korban yang sedang ditempatkan di penginapan. 

Situasi tersebut diperparah dengan kondisi aparat penegak hukum yang masih belum berpihak pada ancaman keselamatan korban maupun pendamping. Banyak dari mereka yang justru melakukan mediasi dengan mempertemukan korban dan pelaku kekerasan dengan tujuan mendamaikan. Contohnya kasus yang viral pada 2022 lalu yakni seorang guru yang dibunuh mantan suami. Beberapa hari sebelum kejadian, ada upaya penyelesaian kasus secara kekeluargaan tanpa menganggap serius ancaman pembunuhan yang pernah dilakukan pelaku. Beberapa hari setelah mediasi, pelaku akhirnya betul-betul melakukan kekerasan fisik hingga menghilangkan nyawa.

“Tatanan perlindungan belum memadai, pengalaman saya pendampingan korban biasanya menginap di hotel, tidak ada rumah aman. Pernah juga korban diikuti pelaku hingga ke hotel dan itu sangat berbahaya. Kita tidak pernah tahu senekat apa pelaku, bisa jadi yang dihadapi bukan cuma pelaku KDRT, tetapi juga bisa jadi pembunuh.” (Triska Nuriati, S. Psi.)

Menurut Nuri, belum ada aturan kuat yang melindungi korban dari ancaman. Padahal di luar negeri, ketika korban sudah mendapat ancaman pembunuhan, kekerasan, dan itu sudah dilaporkan, pengadilan bisa mengeluarkan keputusan restraining order. Pengadilan juga bisa membatasi komunikasi maupun jarak untuk melindungi korban saat korban merasa terancam. Tidak hanya pada kekerasan fisik, pelaku penguntitan pun sudah bisa dikenakan keputusan ini. Sayangnya, hal ini belum diterapkan di sistem hukum Indonesia.

Nuri pun berpesan bahwa hal ini harus menjadi perhatian pendamping dalam rangka mitigasi risiko pendampingan.  Kita harus tahu nama dan ciri pelaku. Bisa jadi kekerasan berbalik ke kita dan kita tidak tahu senekat apa pelaku, hingga bukan hanya nyawa korban tetapi nyawa kita sebagai pendamping pun terancam.

  Afif Hida jua menyampaikan bawah terkait perlindungan pendamping, pasal 28–29 UU TPKS menyebutkan bahwa pendamping berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi. Pendamping tidak dapat dituntut secara hukum secara pidana maupun perdata selama etika pendampingan dilakukan. Meski begitu, mitigasi risiko pada keamanan diri korban dan pendamping tetap harus dilakukan. 

SKS Sebagai Wadah Kolaborasi untuk Bersama Menjawab Tantangan Pendampingan Korban KBG

Pada akhirnya, kita semua menyadari bahwa tugas menjadi pendamping bukanlah perkara mudah. Meski demikian, semua ini tidaklah mustahil untuk dilakukan. Menurut Angelino Vinanti, kehadiran SKS bukan hanya untuk memperkuat kapasitas para calon konselor dan pendamping korban. Namun, SKS juga berharap bisa memetakan kebutuhan lain dan berbagai tantangan dalam proses pendampingan kasus KBG dari organisasi lain yang belum dapat difasilitasi. 

Setelah ini, tentu diharapkan kolaborasi dan penguatan jaringan untuk menjawab setiap tantangan tersebut. Lewat program SKS ini, kita bersama-sama memperkaya pengetahuan dan pengalaman sebagai calon konselor dan pendamping. Diharapkan, semua pengetahuan dari narasumber, diskusi, dan setiap sesi bisa melahirkan program yang berdampak luas di masing-masing organisasi yang bermanfaat bagi sekitarnya dan menjawab kebutuhan dalam penanganan kasus KBG di daerahnya.