Aku percaya bahwa setiap orang yang tengah hidup berdampingan dengan kita saat ini, sejatinya tengah berjuang mengukir kisah indahnya masing-masing. Perjuangan mereka tentu tidak bisa sepenuhnya lepas dari luka batin yang terkadang bisa menyabotase diri untuk bangkit pulih dan kembali melangkah untuk menjalani hidup dengan berdaya. Pulih, sejatinya adalah salah satu bentuk perjuangan hidup yang tentunya jauh dari kata mudah untuk dilalui. Tidak sedikit dari mereka yang tengah berjuang pulih, kerap mempertanyakan kemampuan diri hingga sampai menyematkan ujaran negatif kepada diri sendiri.
“Mengapa aku belum pulih juga?”
“Mengapa hidupku semerana ini?”,
“Apakah aku beneran nggak bisa sembuh?”
“Payah banget sih, kamu! Gini aja nggak bisa!”
“Nggak tahu bersyukur banget, sih! Gini doang nggak sanggup. Lemah banget!”
Semua itu adalah salah satu hal yang tidak bisa dihindari ketika seseorang tengah berproses untuk pulih. Banyak hal lain yang barangkali membuatmu merasa tidak nyaman hingga nyaris berbalik arah begitu menyadari bahwa pulih tidak sesederhana yang diujarkan banyak orang di berbagai media selama ini.
Kalau artikel ini sampai di kamu, maka selamat! Kamu memiliki kabar baik tentang proses pemulihanmu mulai saat ini. Dari enam tanda seseorang telah berhasil pulih secara emosional di bawah ini, kira-kira kamu sudah berhasil melakukan yang mana saja, nih?
Kamu Berhasil Mengizinkan Diri untuk Duduk Bersama Emosimu
Bukanlah hal yang mudah untuk menghadiri dan mengenali ragam emosi negatif yang tengah dirasakan saat seseorang berada dalam survival mode. Mudahnya, survival mode adalah sebutan atas respon yang muncul dari dalam otak ketika menerima sinyal bahwa saat ini kamu sedang dalam situasi bahaya sehingga menstimulus reaksi psikologis maupun fisiologis dalam diri sebagai bentuk pertahanan diri. Saat seseorang dalam survival mode, otak bekerja keras mengerahkan seluruh energi agar fokus memikirkan bagaimana caranya menghadapi situasi bahaya itu dan berhasil keluar darinya. Contoh sederhananya ketika tanpa sengaja beradu tatap dengan kecoa, serangga dengan musuh sejuta umat, yang sedang hinggap manis di salah satu sisi dinding rumah. Entah kita memutuskan untuk kabur secepat mungkin (flight, flee), melepas sendal dan memukul kecoa malang itu berkali-kali hingga mati (fight), atau justru hanya bisa bergeming tak bergerak sedikit pun (freeze). Setidaknya pertemuan tak diharapkan dengan seekor kecoa itu bisa kita diselesaikan dalam waktu yang tidak lama, bukan? Lantas bagaimana dengan kondisi seseorang yang terus-menerus berada dalam survival mode karena kesedihan yang berlarut-larut, atau terus-menerus mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dari orang lain, atau hal-hal lain yang berpotensi membebani kehidupannya?
Sepanjang harinya, detik demi detik yang dilaluinya, bagaikan neraka dunia yang sangat menyiksa. Bagaimana tidak? Otak seakan dipaksa untuk tetap bekerja keras tanpa istirahat di bawah alarm bahaya, memikirkan seribu cara demi berhasil keluar dari situasi itu. Sehingga beberapa dampak yang biasanya muncul akibat terus-menerus berada dalam survival mode adalah penurunan fokus saat mengerjakan sesuatu, memiliki kesulitan dalam mengingat sesuatu, mulai mengabaikan kebutuhan dasar diri seperti tidak mengonsumsi makanan yang sehat atau merasa malas untuk sekadar mandi dan melakukan skin care sederhana, hingga tanpa diinginkan menjelma menjadi sosok yang lebih emosional dan lebih reaktif dari biasanya. Sekarang coba bayangkan, dalam situasi penuh tekanan seperti ini apakah seseorang mampu mengenali ragam emosi negatif apa saja yang tengah mengurungnya saat ini dengan cara yang sehat? Ketika kamu berhasil mengenali ragam emosi yang muncul, tidak mengabaikan keberadaannya, hingga mau duduk bersama dan bercengkrama dengan emosi negatif tersebut, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan.
Kamu Semakin Baik Dalam Membangun dan Mengelola Batasan Diri
Apakah di antara kalian ada yang merasa kesulitan untuk berkata “tidak”? Masih berbicara soal survival mode, ternyata hal ini merupakan respon alami yang hadir saat kita disergap oleh situasi penuh tekanan. Kesulitan berkata “tidak” secara asertif adalah bentuk fawn atau appease, yang muncul saat berhadapan dengan seseorang atau satu pihak yang dianggap oleh otak kita sebagai “pemangsa”. Gamblangnya, seseorang menjadi sosok yang kesulitan berkata “tidak” agar dirinya tidak “dimakan hidup-hidup” oleh “si pemangsa”. Contoh sederhananya ketika diminta oleh atasan yang terkenal sulit diajak kompromi untuk lembur mengerjakan sesuatu yang jelas-jelas bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi unit kerja kita. Padahal kondisi kita saat itu sudah teramat sering lembur hingga ada di titik muak setiap kali harus bangun pagi dan bersiap-siap berangkat kerja. Tapi sayangnya, meskipun tubuh sudah memberikan reaksi penolakan dan memintamu untuk beristirahat, lidah terasa kelu berkata “tidak” dan hanya bisa mengeluarkan kata, “Baik, Pak. Saya siap”, saat mendapat perintah lembur. Mengapa demikian? Bisa jadi ada perasaan takut dipermalukan oleh atasan di depan umum, perasaan cemas tiba-tiba diturunkan jabatannya atau dimutasi ke tempat yang terpencil, atau perasaan khawatir dirumahkan oleh atasan sewaktu-waktu karena dianggap tidak memiliki loyalitas pada perusahaan.
Contoh lainnya, ketika seorang perempuan selalu berkata “iya” pada setiap perintah kekasihnya. Mulai dari mengenakan pakaian yang sesuai dengan kemauan kekasihnya, bertindak pasrah tanpa perlawanan ketika smartphone milik kita diambil dan seluruh isinya diperiksa oleh kekasihnya dengan dalih rasa sayang dan khawatir, mengirimkan sejumlah uang berkali-kali setiap diminta tanpa bahkan berani menanyakan alasannya, hingga menuruti hasrat seksual kekasihnya meski harus mengabaikan keberadaan consent. Itu semua adalah fawn, bentuk survival mode yang muncul agar sang kekasih tidak meninggalkannya atau melakukan tindak kekerasan yang membahayakan dirinya.
Membangun dan mengelola batasan diri (personal boundaries) tentu bukanlah hal yang mudah. Membayangkan dimaki-maki atasan di depan banyak orang hanya karena menolak lembur atau membayangkan panasnya kedua pipi setelah ditampar oleh pasangan berkali-kali sudah cukup memunculkan rasa tidak nyaman, ya? Namun dengan membangun batasan diri itulah bentuk rasa sayang dan cinta pada diri sendiri (self-love) yang paling sederhana dan tidak mengeluarkan banyak biaya. Maksudku, self-love tidak melulu berbicara melarikan diri ke pulau terpencil untuk menikmati beberapa area virgin tak terjamah manusia semata. Berani berkata “iya” dan berlaku asertif kepada semua orang adalah bentuk dari self-love juga, lho. Siapa lagi yang akan menyayangi dirimu seutuhnya kalau bukan dirimu sendiri? Jika kamu sudah sampai di tahap ini, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan.
Kamu Menerima Seutuhnya Bahwa Dirimu Telah Melewati Banyak Hal Sulit
Menjadi rentan bukanlah hal yang mudah untuk beberapa orang, termasuk aku yang dulu. Sebagai konselor, awalnya aku sangat malu saat harus menceritakan siapa diriku sebenarnya saat rapat awal bersama dengan teman-teman konselor lain di Yayasan Pribudaya Ruang Aman Perempuan Berkisah (Pribudaya). Saat itu aku sangat iri melihat beberapa teman sesama konselor yang berkenan membuka dirinnya, menceritakan hal-hal apa saja yang sudah mereka lalui, hingga ragam alasan mulia untuk menjadi konselor di Yayasan Pribudaya Ruang Aman Perempuan Berkisah. Di masa itu aku selalu berusaha sekuat tenaga mengabari ragam bahagia atas beberapa pencapaianku di luar aktivitas sebagai konselor di Yayasan Pribudaya Ruang Aman Perempuan Berkisah. Seperti pernah menjalani studi di Jepang beberapa tahun lalu, menjadi researcher assistant di tempat kuliahku dulu, hingga menjadi pengajar Bahasa Jepang untuk teman-teman Timor Leste selama beberapa waktu.
Aku merasa lebih nyaman dipandang sebagai sosok yang tidak pernah hidup susah ketimbang harus menceritakan bahwa aku pernah hidup berdampingan dengan suicidal thoughts bertahun-tahun dan kesulitan melepaskan diri dari upaya self-harm dengan beberapa benda tajam. Aku merasa lebih nyaman dipandang sebagai sosok yang menginspirasi dan sukses menjalani hidup produktif ketimbang harus menceritakan bahwa aku pernah menjadi orang dengan anxiety disorder dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang membuat kamarku sukses terlihat jauh lebih buruk dari kandang sapi dan merasa baik-baik saja meski tidak mandi berhari-hari. Aku merasa lebih nyaman dipandang sebagai sosok yang menjalani hidup penuh kebahagiaan ketimbang harus menceritakan bahwa aku adalah korban dari toxic parents dengan kondisi inner child yang terluka sangat parah.
Menjadi rentan bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Aku melakukan itu karena malu. Aku melakukan itu karena rasa cemas menjadi objek pembicaraan banyak orang di belakangku. Aku melakukan itu karena tidak ingin diberi setetes rasa iba oleh siapapun. Aku melakukan itu karena takut mendapat penghakiman dari semua mata yang berlomba-lomba menelanjangiku. Aku melakukan itu karena aku merasa bahwa hanya akulah yang menderita seorang diri di dunia yang luas ini. Sehingga, aku melakukan itu agar terlihat baik-baik saja. Namun setelah bergabung menjadi konselor untuk Yayasan Pribudaya Ruang Aman Perempuan Berkisah dan menghadapi banyak konseli dengan ragam persoalannya, aku merasa ingin sekali memeluk diriku yang dulu dan menangis bersamanya. Bagiku saat ini, tidak apa-apa untuk menjadi rentan.
Tidak apa-apa untuk menangis tersengal-sengal hingga lelah meski hanya bertemankan angin malam. Ternyata ada banyak orang yang menjalani kenestapaan hidup sama sepertiku. Ternyata ada banyak orang yang harus aku tolong. Itulah yang memotivasiku untuk pulih dan lebih membuka diri kepada setiap konseli yang aku hadapi. Aku membagikan sebagian kecil kisahku pada para konseli semata-mata ingin memberi tahu bahwa mereka tidak sendirian menghadapi ganasnya semesta. Jika kamu sudah mengizinkan diri untuk mengakui hal-hal sulit yang telah dilewati, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan.
Kamu Menyadari Sepenuhnya Bahwa Proses Pemulihan Bukanlah Perjalanan yang Linear
“Pulih”, jelas tidak sesederhana jumlah huruf yang dimilikinya, pun tidak semudah ketika dilisankan. Bayangkan ketika kamu dikejar deadline tugas kuliah yang menumpuk. Kamu harus melakukan banyak hal agar semua tugas itu bisa dikumpulkan tepat waktu. Mulai dari sekadar mencuci muka berkali-kali di kamar mandi agar tetap terasa segar, mendengarkan musik berisik yang sebenarnya bukan tipemu agar tetap terjaga, hingga minum kopi bergelas-gelas demi mempertahankan titik fokusmu. Bisa jadi ragam upayamu untuk begadang semalam suntuk sebenarnya adalah ragam tindakan yang tidak ingin kamu lakukan. Siapa yang tidak lelah harus berkali-kali cuci muka? Padahal efek segarnya hanya sementara. Siapa yang betah mendengarkan musik berisik yang bukan seleramu? Belum ada satu menit diputar sudah sukses membuat kepala semakin pening. Siapa yang tahan dengan pahitnya rasa kopi? Apalagi sampai harus minum bergelas-gelas.
Begitulah proses pemulihan. Ada kalanya seakan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang belum tentu sesuai dengan harapan kita. Banyak ragam tulisan dan konten terkait metode pulih di luaran sana yang layak dicoba, namun nyatanya tidak semua metode tersebut cocok dengan kondisi kita. Menurut A, metode X terbukti efektif untuk pulih. Tetapi sayangnya setelah dicoba, ternyata kita merasa kurang cocok karena beberapa alasan. Akhirnya kita kembali berjuang mencari metode lain, mempelajari ragam metode pulih yang sekiranya cocok untuk diterapkan, mengevaluasi seberapa cocok metode pulih tersebut, dan akhirnya secara perlahan dan konsisten menerapkan metode itu dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya sampai di situ. Saat merasa diri ini siap membuka lembaran baru, kita kembali mempertanyakan keberhargaan diri dan makna hidup ketika tanpa sengaja melihat kabar terbaru dari teman lama di media sosial, misalnya. Atau tanpa sengaja teringat kembali ujaran-ujaran kasar yang dilontarkan oleh orang terdekat ketika menyaksikan potongan adegan dalam suatu drama, atau merasa diri ini terasa payah dan menyusahkan ketika sudah berjuang berkali-kali mengunjungi tenaga profesional dan terlihat tidak ada perubahan yang berarti. Tapi itulah proses pemulihan: tidak instan dan tidak linear. Ketika kamu berhasil mengakui bahwa proses pemulihan bukanlah proses yang mudah dilalui, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan.
Kamu Berani Keluar Dari Zona Aman Secara Perlahan
Zona aman dalam konteks ini adalah hal-hal apa saja yang biasa kamu lakukan ketika berada dalam survival mode. Misal, tetap mengurung diri di dalam kamar meski banyak ajakan dari teman-teman untuk menghadiri ragam acara atau pertunjukan yang sesuai dengan minatmu. Atau mengizinkan diri untuk bertahan dalam kelaparan dan membiarkan isi pikiran menari tak tentu arah saat tubuh sudah mengirimkan sinyal berkali-kali agar tidak membiarkan perutmu kosong. Atau terus mengatakan, “Noted! Siap laksanakan!”, saat tubuhmu sudah meronta kelelahan dan membujukmu untuk istirahat. Atau terus menjalin relasi romantis dengan kekasih yang jelas-jelas menunjukan–kalau kata anak sekarang–red flag, hingga melepaskan rasa sakit dalam diri dengan membiarkan diri berpenampilan kacau tak terurus dan melakukan self-harm seperti yang aku lakukan dulu.
Lagi dan lagi, untuk bisa menuju pada titik ini jelas bukanlah hal yang mudah. Kita perlu memikirkan banyak hal, seperti apa yang harus dilakukan demi mampu keluar dari zona nyaman, bagaimana caranya keluar dari zona nyaman, hingga mulai dari mana untuk bisa keluar dari zona nyaman itu. Tapi percayalah, ketika memutuskan untuk pulih, kita seperti membangun keberanian bersama dengan hati dan jiwa kita agar bangkit dan berdiri dengan pijakan kaki sendiri. Sehingga kita tidak lagi merasa takut dan cemas terhadap hal-hal yang ditakutkan dan dicemaskan sebelumnya.
Kamu berhak bepergian ke mana pun dengan penuh ketenangan dan kenyamanan, meski tanpa atau dengan temanmu. Kamu berhak membahagiakan perutmu dengan makanan sehat yang kamu idam-idamkan sejak lama. Kamu berhak berkata “tidak” secara asertif jika memang di luar kapasitasmu. Kamu berhak mendekor ulang kamarmu dengan tata letak, warna cat, hingga mebel yang kamu sukai. Sungguh, kamu berhak hidup dengan aman dan bahagia. Jika kamu sudah berada di fase ini, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan diri.
Kamu Tumbuh Menjadi Pribadi yang Reflektif dan Responsif, Bukan Reaktif
Ketika kamu terus menjalani hidup dalam survival mode, semua orang dan segala hal yang berdampingan denganmu di dunia ini adalah pemangsa yang siap menerkammu kapan saja. Sehingga hari-hari yang dijalani penuh dengan kewaspadaan dengan kondisi pikiran yang terus fokus bekerja keras memikirkan ragam cara untuk mempertahankan diri. Ragam cara yang biasa dilakukan ketika melindungi diri dari serangan para pemangsa seperti kesulitan membereskan kamar dan merawat diri, kesulitan membiasakan diri untuk olahraga ringan secara teratur, kesulitan dalam membangun batasan diri, hingga kesulitan dalam memutus relasi beracun terasa seperti diuji.
Kamu akan sering mempertanyakan perasaanmu dan seakan dipaksa untuk mengevaluasi kembali keputusanmu berkali-kali. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Salah nggak sih, aku melakukan ini?”, “Apa jangan-jangan aku yang terlalu egois?”, hingga, “Kok bisa sih, aku mikir kalau mereka jahat sama aku? Bisa jadi akunya yang baperan”, akan terus hinggap dan menghantui isi kepalamu tanpa kenal waktu.
Tapi tenang saja, ya. Perasaan-perasaan seperti itu sangatlah valid dan wajar dilalui oleh seseorang yang tengah menjalani proses pemulihan. Justru dalam momen seperti itu bisa digunakan untuk berlatih regulasi emosi, menganalisis diri sendiri, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan yang sudah kamu tetapkan. Hal ini tentu saja tidak mudah untuk dijalani. Terkadang kamu harus membutuhkan tenaga profesional seperti psikiater, psikolog, hingga konselor untuk mendampingi proses pemulihanmu. Tapi tidak apa-apa dan jangan ragu untuk meminta bantuan, ya. Karena sejatinya kamu, dan hanya kamulah, yang bertanggung jawab atas kehidupanmu dan kedamaian hatimu. Jika kamu telah berhasil meninggalkan sisi dirimu yang reaktif, maka selamat! Kamu sudah satu langkah lebih baik dalam proses pemulihan diri.
Pulih, atau lebih dikenal dengan healing, jelas bukanlah suatu perjalanan yang mulus dan singkat. Lebih dari sekadar jalan berduri dan terjangan badai yang akan terus menghajarmu tanpa ampun. Bisa saja proses pemulihan tersebut terus dilakukan dalam hitungan bulan, tahun, hingga kembali dalam pelukan Tuhan. Itu sebabnya aku berpikir bahwa hakikatnya pulih adalah suatu pilihan, karena tidak semua orang siap dengan ragam ketidaknyamanan dan tantangan menuju pulih. Ketika kamu sudah memiliki pikiran dan semangat untuk pulih, maka selamat! Kamu satu langkah jauh lebih baik hari ini. Terima kasih telah lahir di dunia ini! Kamu benar-benar hebat!