Apa yang ada di pikiranmu begitu melihat seorang perempuan sedang menggenggam sebuah benda tipis dan kecil berbentuk persegi panjang dengan dua garis vertikal berwarna di tengah-tengahnya? Sebagian besar akan menganggap hal itu adalah momen penuh anugerah yang sangat dinanti. Bayangan selanjutnya, perempuan tersebut akan merekahkan senyum penuh kebahagiaan sembari tiada henti mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Namun, sempatkah terbesit di pikiranmu bahwa bisa jadi hal itu justru mendatangkan air muka penuh kecemasan, rasa malu, hingga amarah?
“Bukankah kehamilan itu berkah dari Tuhan yang luar biasa besar? Harusnya kamu senang, dong!”
“Dasar tidak bersyukur! Banyak perempuan pejuang dua garis biru di luar sana, sampai harus melakukan ini-itu, ngerogoh isi kantung sampai tak bersisa. Kamu yang dikasih rezeki kok malah begini?!”
Tanggaapan-tanggapan seperti itu akan terlontar apabila melihat seseorang dengan kapasitas untuk hamil, terlihat kosong kebingungan bahkan frustrasi meratapi kemunculan dua garis dari alat tes kehamilan yang digunakannya. Namun pernahkah kamu mencoba untuk sejenak berpikir perihal sebab dan alasannya? World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa dari 200 juta kehamilan per tahun, sekitar 38% atau 75 juta di antaranya termasuk dalam kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa angka kehamilan tidak diinginkan di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 17,5%. Detail lebih lanjut, 19,6% di dalamnya merupakan kasus kehamilan tidak diinginkan dari kelompok remaja dengan rentang usia 14-19 tahun. Data lainnya, hingga Januari 2022, Kementerian Sosial mencatat sebanyak 780 anak perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan seksual yang sayangnya dilakukan oleh lingkungan terdekat.
Lantas sebenarnya apa yang dimaksud dengan kehamilan yang tidak diinginkan? Apakah ada yang bisa dilakukan dalam menindaklanjuti kasus tersebut? Apa yang sebaiknya dilakukan apabila ada orang terdekat yang mengalami kehamilan tidak diinginkan?
Apa itu Kehamilan Tidak Diinginkan?
Sederhananya, Kehamilan yang Tidak Diinginkan, atau bisa juga disebut dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD), adalah saat di mana kehamilan tersebut diinginkan namun tidak direncanakan atau kehamilan yang jelas-jelas tidak diinginkan dan tidak direncanakan. Samsara Indonesia mengungkapkan bahwa Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) dapat terjadi kepada seluruh individu yang memiliki rahim atau memiliki kapasitas untuk hamil. Artinya, kasus Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) tidak terbatas hanya kepada perempuan dengan status pernikahan atau pun dengan rentang usia tertentu. Lantas, apa penyebab terjadinya Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD)?
Samsara Indonesia mengungkapkan setidaknya ada enam hal yang menyebabkan kemunculan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Pertama, keterhambatan pertolongan pertama berupa kontrasepsi darurat, khususnya kepada korban kekerasan seksual. Kedua, kegagalan kontrasepsi dalam aktivitas seksual. Ketiga, adanya tindakan nikah paksa. Keempat, minimnya akses pendidikan seksual yang komprehensif. Kelima, keterbatasan akses informasi dan layanan kontrasepsi. Terakhir, kurangnya akses layanan kesehatan reproduksi yang terbuka dan bersifat inklusif.
Tapi yang namanya hamil itu pemberian Tuhan! Nggak bersyukur banget, sih?!
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tiga di antara enam penyebab Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) adalah adanya kegagalan kontrasepsi, tindakan nikah paksa, dan kasus kekerasan seksual. Jika hal tersebut masih di rasa kurang, pada bagian pendahuluan artikel ini sudah dipaparkan tiga sumber data terkait Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD), lho. Sesungguhnya reaksi demikian merupakan reaksi yang jauh dari kata empatik dan sayangnyna cukup sering terdengar di telinga individu dengan kasus Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa reaksi-reaksi tidak empatik tersebut didapat dari beberapa faktor yang terlanjur langgeng dalam masyarakat. Misal, adanya doktrin agama, ragam norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat, faktor usia kehamilan yang sudah kadung membesar sehingga menekan mereka untuk mempertahankan kehamilan, ketiadaan dukungan psikososial dari orang terdekat, hingga stigma negatif masyarakat yang semakin membebani korban dengan ragam perasaan bersalah sehingga mengharuskan dirinya untuk mempertanggungjawabkan kehamilan itu, bagaimana pun alasannya.
Samsara Indonesia mencatat bahwa Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) rentan terjadi di dalam suatu relasi dengan dinamika kekerasan yang tinggi. Sehingga individu dengan kapasitas untuk hamil yang terlibat dalam hubungan yang tinggi akan dinamika kekerasan, kemungkinan besar akan mengalami Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Di sisi lain, ragam faktor penghambat seperti keterbatasan dalam mengakses informasi dan layanan kontrasepsi dan mengakses layanan kesehatan reproduksi yang terbuka dan inklusif, membuat individu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) berpeluang besar melakukan tindak pengguguran janin yang tidak aman. Individu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) pun berpeluang besar mengalami kekerasan domestik yang melibatkan anak sebagai korban, adanya kerentanan melakukan perilaku berisiko, hingga berpotensi mewariskan trauma antargenerasi (transgenerational trauma) di masa depan.
Berdasarkan fakta tersebut, sejatinya individu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) memiliki hak penuh untuk memutuskan apakah kehamilan tersebut hendak dilanjutkan atau dihentikan. Pilihan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan situasi yang tengah berlangsung serta rencana individu tersebut ke depannya. Tak lupa dalam proses pengambilan keputusan pun harus difasilitasi dengan kemudahan dalam mengakses ragam informasi yang komprehensif terkait Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Sehingga, individu yang mengalami Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) dapat sepenuhnya berdaya dan mampu menentukan pilihan dengan baik sesuai dengan kapasitasnya.
Bentar, bentar. Mengakhiri kehamilan? Jangan bilang maksudnya…
Betul. Aborsi. Mungkin untuk sebagian orang, kata “aborsi” memiliki konotasi yang sangat negatif. Hal ini dapat dipahami, mengingat ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang, seperti doktrin agama dan stigmatisasi masyarakat. Namun, perlu diketahui bahwa sebenarnya aborsi atau abortus, menurut World Health Organization (WHO), adalah penghentian kehamilan secara spontan atau induksi sebelum janin mampu hidup di luar kandungan, dengan penentuan usia kehamilan yang berbeda-beda, tergantung dari kebijakan masing-masing negara. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa aborsi tidak terbatas pada tindakan pengguguran janin atau penghentian kehamilan secara induksi saja. Peristiwa keguguran pun dapat dikategorikan ke dalam bentuk abortus, lebih tepatnya aborsi yang terjadi secara spontan.
Di Indonesia, tindakan aborsi induksi atau tindakan penghentian kehamilan dengan disengaja sebenarnya bersifat legal bersyarat (legal restricted). Hal ini didasari oleh empat kebijakan hukum. Pertama, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75 hingga Pasal 77 dan Pasal 194. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 hingga Pasal 39. Ketiga, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Terakhir, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 346 hingga Pasal 349 terkait Tindak Pidana Aborsi Akibat Perkosaan.
Berdasarkan empat kebijakan tersebut, dapat diketahui bahwa pada dasarnya tindakan aborsi induksi dapat dilakukan apabila kehamilan tersebut dapat mengancam keselamatan individu yang tengah mengandung atau kehamilan yang disebabkan oleh tindak perkosaan. Sayangnya sistem hukum di Indonesia yang timpang tindih dan jauh dari kata implementatif. Sangat jelas terdapat kebijakan perihal kesehatan reproduksi hingga pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan aborsi. Namun pada praktiknya, individu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) yang hendak melakukan aborsi masih harus menghadapi beberapa kendala. Misalnya mereka tidak tahu baiknya harus mengunjungi ke mana karena ketiadaan tenaga medis yang mampu memberikan layanan aborsi. Kendala selanjutnya adalah penentuan usia maksimal kehamilan untuk aborsi, yakni enam minggu atau empat puluh hari. Bagaimana bisa korban kekerasan seksual sebegitu peduli dengan perubahan kondisi tubuhnya, sedangkan dirinya masih harus berjuang untuk pulih dari seluruh trauma yang dimilikinya? Ketiga, adanya persyaratan bahwa sebelum melakukan tindak aborsi harus mendapat persetujuan dari orang lain seperti wali atau suami dari individu yang berkapasitas hamil. Padahal individu itulah yang memiliki tubuh sehingga paling berhak memutuskan apakah kehamilan tersebut hendak dilanjutkan atau dihentikan, bukan orang lain.
Tapi kan aborsi itu serem. Ngebayanginnya aja nggak kuat!
Lagi-lagi anggapan tersebut tidak bisa dihindari, ya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, adanya keterbatasan dalam mengakses pendidikan seksual secara komprehensif dan keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi secara terbuka dan inklusif adalah dua dari sekian banyak faktor yang melanggengkan stigma negatif perihal aborsi. Samsara Indonesia menjelaskan bahwa tindakan aborsi induksi secara garis besar dikelompokan ke dalam dua jenis. Pertama, menggunakan alat-alat kedokteran seperti aspirasi vakum manual atau aspirasi vakum elektrik. Kedua, menggunakan pil penggugur kandungan seperti Misoprostol atau Mifepristone.
Dari hasil temuan atas riset yang dilakukan oleh Samsara Indonesia bersama dengan Ibis Reproductive Health, 97% individu secara komplit melakukan aborsi medis tanpa bantuan atau konfirmasi keberhasilan dari rumah sakit atau klinik. Hanya 1% yang mengalami pendarahan hebat pasca aborsi medis. 2% lainnya mendatangi rumah sakit atau klinik untuk memastikan keberhasilan tindakan aborsi yang dilakukannya, memeriksa apakah terjadi pendarahan, atau memeriksa apakah ada kemungkinan terjadi infeksi.
Bentar, pakai pil? Berarti aborsinya sendiri? Nggak ke dokter, gitu?
Betul. Ada yang namanya Self-Managed Abortion (SMA), atau bisa juga disebut dengan aborsi mandiri. Sesuai dengan namanya, aborsi mandiri adalah tindak aborsi yang dilakukan tanpa bantuan dari tenaga medis, dengan catatan, individu yang akan melakukan aborsi mandiri telah mendapatkan informasi yang komprehensif perihal dampak aborsi dengan pil pengugur kandungan serta telah melakukan persiapan yang matang. Namun kehadiran aborsi mandiri tidak serta-merta menghapus peran dan bantuan tenaga medis karena sifatnya hanya mengurangi saja. Peran tenaga medis tetap direkomendasikan saat individu yang melakukan aborsi membutuhkan informasi atau bantuan lebih lanjut.
Melakukan aborsi mandiri tentu memiliki beberapa sisi baik. Pertama, kita tidak perlu mendatangi rumah sakit atau klinik secara intens. Kedua, aborsi mandiri dapat dilakukan di rumah atau tempat lain yang dirasa nyaman dan memenuhi standar keamanan bagi individu yang akan melakukan aborsi mandiri, dengan pendampingan orang-orang terdekat dan terpercaya. Melalui dua hal tersebut, individu yang hendak melakukan aborsi mandiri dapat merasa lebih nyaman dan rileks sehingga memengaruhi kondisi psikologisnya saat dan setelah melakukan aborsi mandiri. Selain itu, biaya yang dibutuhkan relatif terjangkau untuk semua lapisan masyarakat dan lebih aksesibel dalam berbagai kondisi.
Di balik beberapa sisi positif tersebut, perlu diingat bahwa ada lima kategori individu yang tidak bisa melakukan aborsi mandiri, yaitu:
- Individu yang sedang menggunakan alat kontrasepsi seperti IUD karena alat tersebut jelas menutup jalan lahir, kecuali jika telah dilepas;
- Individu dengan gagal ginjal kronis atau individu dengan penyakit yang berhubungan dengan darah seperti thalassemia, hemophilia, leukemia, dan lainnya;
- Individu yang sedang menggunakan steroid;
- Individu yang telah melakukan operasi caesar dan memiliki bekas operasi caesar yang kurang dari enam bulan; dan
- Individu dengan kehamilan yang terjadi di luar kandungan (kehamilan ektopik).
Terus kalau ada orang yang mengalami KTD, baiknya gimana, ya?
Terima kasih ya, karena telah bertanya demikian. Aku senang sekali jika kamu telah berada di titik ini. Itu artinya kamu sudah mulai peduli dengan isu Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Setidak-tidaknya ada dua hal yang harus diingat. Pertama, individu dengan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) sudah pasti sedang berada dalam posisi yang sulit, kalut, frustrasi, dan penuh kecemasan. Sehingga sudah sewajarnya kita, sebagai orang yang dipercaya oleh mereka, memberikan reaksi yang empatik dan tanpa stigma. Validasilah segala emosinya. Tunjukan bahwa kita benar-benar peduli dan benar-benar tulus ada untuknya.
Kedua, kita berhak memberikan bantuan kepada mereka yang tengah mengalami Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Namun bukan berarti kita bertanggung jawab penuh untuk menuntaskan seluruh permasalahannya. Tidak ada salahnya kamu mengarahkan mereka untuk melakukan Konseling KTD ke beberapa lembaga yang menyediakan layanan tersebut, seperti misalnya Samsara Indonesia. Hal ini dilakukan agar mereka yang tengah mengalami Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) mendapatkan informasi yang valid dan menyeluruh perihal ragam kemungkinan yang akan dihadapi, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Sehingga harapannya mereka lebih berdaya dalam membuat keputusan dan dapat belajar mengenai tubuhnya.
Sudah saatnya berhenti menghakimi keadaan orang lain berdasarkan apa yang menurut kita baik dan benar. Pada realitanya, di dunia ini tidak ada permasalahan yang benar-benar sama karena individu yang mengalaminya jelas berbeda. Berilah rangkulan hangat dan dukungan yang tulus, bukan dengan ragam respon tajam yang justru membuat mereka semakin terpuruk. Bukan waktunya pula mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana mendapatkan solusi yang tepat dan bijak. Bagaimana pun, mereka tetap memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh secara sehat dan bahagia.