Saya beruntung hidup dikelilingi oleh perempuan-perempuan kuat yang tangguh. Mereka yang menyuarakan opininya dengan lantang. Mereka yang tahu persis apa yang diinginkan, dan apa yang dibutuhkan baik dari kehidupan, lingkungan, maupun pasangan. Mereka yang mampu mengambil keputusan tanpa ragu. Mereka yang dengan tegas pula menolak apabila mendapatkan perlakuan tak pantas, dari siapapun itu. Bertahun – tahun menyaksikan bagaimana perempuan – perempuan ini bagai nahkoda yang handal berhasil melewati satu persatu badai dalam bentuk cobaan menuju kedewasaan, membuat saya seringkali bertanya – tanya.
Bagaimana mereka melakukannya?
Rahasia apa yang mereka miliki agar dapat menjadi batu yang kokoh dan tak mudah goyah meskipun dihadapkan dengan berbagai macam ujian? Mulai dari lingkungan kerja yang melelahkan batin, kewajiban yang harus dipenuhi sembari tetap mengejar mimpi, sampai dengan mencari pasangan tanpa mengikis diri sendiri. Sebagai seseorang yang kesulitan menavigasi jalan keluar dari masalah – masalah tersebut, tentu saya ingin tahu.
Dan dari pertanyaan itu, selalu muncul sebuah jawaban yang beberapa kali menjadi kesamaan dari sebagian besar sosok perempuan tegar di sekitar saya. Yaitu hubungan dekat antara ia dengan ayahnya. Yah, meskipun hubungan tersebut tak selalu disertai dengan keadaan ideal sebuah rumah tangga yang serba berlebih.
Peran Ayah dan Ibu dalam Rumah Tangga
Tentu, ayah dan ibu merupakan dua sosok berbeda dengan peran masing – masing dalam mendidik anak mereka. Umum di Indonesia sebagai sebuah negara yang cukup kental akan budaya patriarki, sosok ibu menjelma menjadi pihak yang dituntut untuk merawat serta menjaga tumbuh kembang anak, dan ayah merupakan bagian superior dari keluarga yang tidak hanya memegang kendali sebagai kepala, tetapi juga memberikan dukungan finansial bagi istri dan anaknya.
Namun implementasi peran yang menganut budaya patriarki jika tidak terbuka pada pertumbuhan jasmani dan rohani seorang anak, dapat berubah buruk ketika dihadapkan dengan alur kehidupan yang serba tak pasti. Seperti kekerasan dalam rumah tangga ketika kekuatan tunggal seorang ayah tidak didukung dengan kontrol dan pemahaman yang baik, ibu yang tidak siap secara finansial melindungi keluarganya sepeninggal sosok ayah, sampai dengan disparitas antara ayah dengan anak yang muncul dari pemikiran bahwa tugas seorang kepala keluarga terbatas pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan saja.
Seiring berjalannya waktu, keadaan – keadaan tersebut membuat budaya patriarki seringkali dianggap tak lagi sanggup menciptakan lingkungan yang sehat untuk perkembangan anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendobrak stigma – stigma yang muncul dari melekatnya gambaran ‘saklek’ pada rumah tangga. Sehingga sama halnya dengan ibu yang harus mampu mandiri secara finansial, seorang ayah juga wajib memiliki peran dalam mengelola pertumbuhan anaknya.
Pentingnya Peran Ayah dalam Hidup Anak Perempuannya
Pandangan bahwa relasi antara ayah dengan anak perempuannya merupakan suatu hal yang vital tergambar dari dampak emosional dan hubungan sosial sang anak ketika bagian ini ‘absen’ dalam jangka waktu yang cukup lama. Terutama jika ketiadaan peran ayah dialami oleh sang anak sedari kecil.
Tumbuh besar tanpa figur ayah akan membuat seorang anak perempuan menyalahkan dirinya sendiri atas kenyataan tersebut. Semakin dewasa, perasaan bersalah itu seringkali berganti wujud dalam bentuk depresi, perasaan gelisah yang tidak normal, sampai dengan merasa tidak percaya diri. Dikutip dari Dywer mengenai perbedaan dampak ketiadaan figur ayah dalam hidup seorang anak perempuan dibandingkan laki – laki yaitu, “Anak perempuan akan cenderung untuk menghubungkan pengabaian ayahnya sebagai penolakan atas dirinya.” Mirisnya tidak hanya berlaku pada anak kecil, dampak emosional ini dapat berlanjut hingga dewasa (Carlee, 2020).
Selain itu, mangkirnya seorang ayah dalam tumbuh kembang seorang anak perempuan dapat membuat anak itu kesulitan untuk membentuk hubungan dengan lawan jenis, terutama dalam jalinan percintaan. Seringkali, hubungan yang ia jalani akan menjadi tidak sehat baik untuk anak perempuan tersebut maupun pasangannya. Kasus ini dapat dikarenakan beberapa hal, yaitu kesulitan sang anak perempuan dalam menilai perlakuan orang lain terhadapnya sampai dengan kemampuannya untuk mempercayai laki – laki secara umum.
Seorang ayah merupakan laki – laki pertama dalam hidup anaknya. Oleh karena itu, hubungan ayah-anak ini akan menjadi dasar dari afiliasi anak perempuan dengan laki – laki lain di masa depan, termasuk bagaimana seorang wanita memilih pasangannya kelak. Tanpa hubungan ini, seorang perempuan akan cenderung kebingungan memahami bagaimana ia sepatutnya diperlakukan oleh lawan jenis. Secara tidak langsung, sang anak perempuan juga akan kesusahan dalam memberikan kepercayaannya pada laki – laki.
Jika diteruskan, emosional seorang anak perempuan yang tumbuh tanpa sosok ayahnya dapat terbentuk menjadi dua kutub yang berbeda di masa depan; wanita yang menolak untuk berhubungan dengan pria karena minimnya rasa percaya pada ikatan lawan jenis, atau wanita yang bersikeras dalam mencari perhatian laki – laki termasuk dilakukannya aktivitas seksual secara dini sebagai pengganti afeksi yang tidak ia dapatkan sedari kecil. Cukup populer diteliti akhir – akhir ini, fenomena dampak absennya ayah pada kehidupan anak perempuannya melahirkan sebuah kosakata bernama ‘daddy issue’.
Doomed Without Daddy?
Sosok kuat dan tegar perempuan – perempuan di sekitar saya tentu belajar sedikit banyak tentang kehidupan dari ayah mereka. Hingga paham betul persona seperti apa yang pantas disebut pasangan sampai dengan mampu untuk percaya pada laki – laki yang tepat tanpa banyak hambatan. Lain halnya dengan kepercayaan masyarakat zaman dahulu bahwa tugas ayah semata – mata untuk mencari nafkah bagi keluarga, pada masa yang serba tak tentu ini seorang ayah juga dituntut untuk mampu memberikan contoh baik dan intensitas kasih sayang yang sama seperti desakan untuk figur ibu.
Mengikuti definisi dari sebuah peran, sosok inipun dapat digantikan dengan kehadiran laki – laki terdekat dari sebuah keluarga dengan tujuan yang serupa. Dengan tujuan mencontohkan pribadi ideal laki – laki untuk menjadi pelajaran bagi seorang anak perempuan, jikalau keluarga tersebut memiliki keadaan tertentu yang mengharuskan ibu menjadi dominan satu – satunya dalam hidup anaknya. Hanya karena anak tersebut tak lahir dengan sepasang orang tua lengkap, bukan berarti ia ditakdirkan berkembang dengan kekosongan besar dalam hidupnya.
Dan untuk para calon ayah di luar sana, ketahuilah bahwa meskipun kadang kasat mata, kehadiran dan ketegaranmu berpengaruh besar dalam kehidupan anak perempuanmu. Libatkan dirimu dalam hal – hal terkecil sekalipun di hidupnya, semata – mata untuk memberitahukan bahwa akan ada seorang laki – laki yang selalu mencintainya dengan segala kurang dan lebih yang ia miliki. Dan tanpamu sekalipun, ia dengan ajaran yang kau berikan telah dapat melindungi dirinya serta apa yang berharga untuknya.
Sumber :1. Carlee Castetter (2020). The Developmental Effects on the Daughter of an Absent Father Throughout her Lifespan. Spring.