Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II sukses digelar di Pondok Pesantren (PP) Hasyim Asyari, Krasak, Bangsri, Jepara pada 23–26 November 2022. Berbagai rangkaian acara telah memantik kesadaran seluruh hadirin, terutama saya sendiri terkait makna ulama perempuan. Mendengar kata ulama perempuan, mungkin terdengar aneh dan banyak yang bertanya-tanya, siapa ulama perempuan itu?
Kongres Ulama Perempuan Indonesia II, Gerakan Bersama Merespons Isu Perempuan
Istilah ulama perempuan mempertegas perspektif pelibatan perempuan sebagai subjek dan penerima manfaat dalam kiprah keulamaan. Ulama sebagai arti jamak dimaknai oleh KUPI sebagai gerakan kolektif perempuan dan laki-laki dari lintas disiplin pengetahuan yang berbeda-beda. Lintas pengetahuan, bukan sekadar agama karena untuk melahirkan sebuah pandangan keagamaan dibutuhkan perspektif dari berbagai aspek, sosial, budaya, dan ekonomi.
Untuk menciptakan ruang perjumpaan bagi ulama perempuan maka lahirlah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). KUPI yang dilaksanakan di Jepara merupakan gelaran yang kedua setelah sukses diadakan pertama kali di Pondok Pesantren Kebun Jambu, Cirebon pada 2017 lalu.
KUPI 2 ini rupanya sangat begitu menarik perhatian para ulama perempuan yang terdiri dari aktivis perempuan, akademisi, mahasiswa, pengasuh pondok pesantren, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), organisasi masyarakat sipil, bahkan diikuti oleh 31 negara sahabat. Masih banyak pihak yang hadir untuk turut menyukseskan dan memeriahkan KUPI II ini.
Berbicara tentang kongres, jika biasanya acara kongres bertujuan untuk melahirkan pemimpin atau pengurus baru dalam sebuah organisasi atau komunitas, di KUPI hal tersebut tidak untuk menentukan siapa pemimpin atau pengurus struktural organisasi. Justru, KUPI diadakan untuk melahirkan sebuah gerakan dan pemikiran yang kemudian digunakan untuk merespons isu-isu perempuan yang krusial belakangan ini.
Senada dengan pidato Badriyah Fayumi dalam pembukaan KUPI 2, bahwa KUPI tidak ingin terjebak dalam strukturalisme. KUPI adalah sebuah gerakan bersama untuk menghasilkan sebuah fatwa.
Peran Santri Putri Dalam Menyukseskan KUPI II
Selama mengikuti kongres di Jepara, dari awal masuk lokasi perhelatan kongres, saya sudah dikejutkan dengan banyak hal. Mulai dari pelayanan panitia lokal yang sangat baik sampai dengan terjaminnya keamanan bagi peserta atau pengamat kongres yang hadir.
Panitia lokal memiliki kontribusi besar dalam menyukseskan KUPI. Tenaga, pikiran, dan seluruh keringat para panitia memang patut diapresiasi. Panitia lokal ini sangat beragam, yang paling menarik perhatian saya adalah santri putri yang tidak ketinggalan untuk mendapat sorotan.
Karena kesalahan dalam membaca lokasi, saya salah masuk di kompleks A yang sebenarnya akan digunakan tamu laki-laki. Ada satu santri putra yang mengantarkan dan memberikan petunjuk jalan untuk saya menuju ke Joglo Tahfidz milik Nyai Hindun Anisah.
Sesampainya di lokasi, santri putri sudah menyambut saya dengan senyum manisnya. Mereka-mereka inilah yang membawakan barang-barang saya menuju ke tempat istirahat. Karena merasa tidak enak, saya berkali-kali menolak tawaran itu, cukup ditemani saja menuju ruang peristirahatan, ucap saya. Namun, mereka ramai-ramai menolak.
Kerja panitia lokal, yang termasuk di dalamnya santri putri ini, bukan sekadar memastikan peserta, pengamat, atau undangan kongres mendapatkan ruang istirahat yang nyaman. Mereka inilah yang aktif naik turun tangga untuk mengingatkan jam makan pagi, siang, dan malam kami semua. Karena kebetulan ruangan saya ada di lantai tiga maka panitia ini pun sibuk ikut naik turun.
Santri putri ini juga yang tidak capek-capeknya menata sepatu dan sandal semua peserta supaya berjejer dan rapi. Bayangkan saja jika peserta banyak keluar masuk ruangan, sudah pasti mereka akan kerepotan. Perlu kesadaran secara pribadi untuk merapikan sepatu atau sandal pribadi supaya tidak kembali merepotkan para santri putri ini.
Mereka jugalah yang setiap kali semua peserta ke luar untuk mengikuti forum kongres memastikan keamanan barang bawaan kami semua. Mereka semua saling berjaga di depan dan aktif melakukan koordinasi dengan panitia lokal.
Salah seorang santri putri yang saya jumpai saat itu menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan, yang sering saya tolak itu, adalah tugas mereka dalam menyukseskan KUPI 2. Mendengarkan itu saya terharu dan merinding.
Tampak dalam raut wajah mereka ada ketulusan yang tidak terlihat. Meski mungkin lelah mereka terus melaksanakan tugasnya. Mereka ini juga yang kuat berjaga di depan kamar peserta sampai larut malam. Lagi-lagi karena saya selalu tidak tega melihat santri putri yang kebetulan masih anak sekolah ini harus bekerja untuk kami semua. Saya tidak berhenti untuk memintanya tidur dan kembali ke tempat yang telah disediakan.
Namun mereka masih menolak, sebelum benar-benar selesai mereka tidak pernah meninggalkan kami semua. Mereka yang membantu memenuhi kebutuhan kami. Saya pun belajar makna saling tolong-menolong lewat mereka. Jika tampak beberapa santri tertidur, yang lain siaga untuk menggantikan. Semua sudah saling membantu dan memahami satu sama lain.
Bagi saya, KUPI II bukan sekadar acara seremonial besar yang meriah yang memberikan wawasan, pengetahuan, serta pengalaman. Kongres ini telah memberikan pembelajaran bagi saya agar tidak luput menyoroti hal-hal kecil yang kadang tidak diliput oleh media.
____
Editor: Erlyn Fadhillah