“Jangan nikah kelamaan biar bisa cepet punya anak!”
“Buruan punya anak, nanti rahimmu keburu kedaluwarsa. Jangan egois, gimana mau bahagia keluarganya, hamil aja belum!”
Sebagai perempuan ujaran semacam itu pasti sudah akrab di telinga. Biasanya, kalimat tersebut akan diikuti dengan beragam doa supaya kita ringan jodoh serta segera mendapat titipan anak dari Tuhan melalui rahim yang kita miliki. Perempuan dan rahimnya memang selintas terasa seperti milik bersama. Rahim perempuan awalnya bisa dibilang sebagai milik orang tua yang berpindah pada suami setelah menikah. Bahkan, bisa dibilang rahim perempuan juga merupakan milik mertua dan segenap keluarga besar, milik komplek perumahan, hingga milik negara.
Perempuan, seperti seluruh aspek hidupnya, selalu didikte supaya sesuai dengan konstruksi masyarakat akan keluarga dan masyarakat yang bahagia. Karena itu, rahim yang dititipkan Tuhan pada perempuan seolah menjadi alasan atas dibebankannya tanggung jawab terhadap reproduksi sosial dalam memproduksi keturunan serta generasi baru bangsa. Kondisi ini memunculkan anggapan perempuan adalah alat pencetak keturunan demi memenuhi ilusi akan keluarga bahagia seperti yang ada di masyarakat.
Anggapan Perempuan sebagai Alat Pencetak Keturunan
Narasi mengenai perempuan baik salah satunya digambarkan sebagai seorang istri yang mampu memberi anak untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Belum lagi, anggapan semakin banyak anak artinya semakin subur rahim perempuan tersebut yang sering dikaitkan dengan kemurahan rezeki. Sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan masyarakat, “Semakin banyak anak, semakin banyak rezeki”.
Oleh karena itu, rahim perempuan, organ yang memegang peranan besar dalam keberhasilan proses menciptakan dan melahirkan manusia baru ke dunia ini, diharuskan mengemban tanggung jawab yang besar pula dalam keberhasilan pemenuhan ekspektasi dan proses regenerasi masyarakat. Hal-hal semacam ini pada akhirnya diam-diam menyelinap menjadi beban yang menindas perempuan, si empu rahim, secara fisik maupun psikis.
Penindasan terhadap perempuan melalui rahimnya dapat kita temui dengan beragam rupa. Salah satunya, lewat cara masyarakat mengerdilkan nilai perempuan sebagai manusia hanya dari mampu atau tidaknya organ reproduksi mereka, dalam kasus ini rahim, untuk mengandung dan mengantarkan manusia baru ke dunia ini.
Hal ini, tentunya menjadi beban yang harus ditanggung perempuan ketika mulai memasuki usia produktif. Di usia produktif, perempuan rentan mengalami ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengandung secara biologis, bahkan ketakutan mengenai mampu atau tidaknya ia menjadi seorang ibu. Perempuan dipaksa untuk mengadopsi nilai bahwa hamil dan melahirkan adalah kodrat perempuan yang wajib untuk dipenuhi supaya memenuhi standar masyarakat sebagai seorang perempuan yang utuh.
Apalagi, proses hamil dan melahirkan, yang merupakan kodrat perempuan telah menjadikan perempuan sebagai subjek pasif. Hal ini terjadi karena pendapat serta hak mereka untuk memilih yang ingin mereka lakukan terhadap tubuh mereka menjadi sesuatu hal yang didikte dan tidak dipedulikan masyarakat.
Namun, di kesempatan lain, perempuan menjadi subjek aktif ketika dalam keluarga terjadi kegagalan selama proses berusaha mendapatkan garis keturunan. Perempuan adalah pihak pesakitan yang harus disalahkan. Rahim mereka adalah sesuatu yang perlu diobati, ketidakmampuan mereka adalah suatu dosa besar, bahkan mereka adalah para perempuan yang tidak utuh. Masyarakat lupa melihat kepada laki-laki atau sperma yang juga memiliki peluang sebagai pihak penyebab kegagalan saat upaya mendapatkan anak. Laki-laki sebagai kepala keluarga yang memiliki peran dominan di ranah publik dianggap tidak memiliki peran besar serta tanggung jawab di ranah privat, salah satunya saat proses perencanaan dan berjalannya kehamilan
Kepemilikan rahim juga menyebabkan perempuan rentan mendapat Kekerasan Berbasis Gender (KGB) dalam pernikahan. Kegagalan memiliki anak, yang bisa terjadi karena berbagai hal, seringkali menargetkan perempuan sebagai samsak untuk meluapkan kekecewaan, baik itu dari pihak suami dan keluarga, maupun keluarga pihak perempuan sendiri. Hal ini terjadi sebab perempuan dianggap gagal memenuhi kodrat dan tugas mereka sebagai seorang perempuan dan istri. Hal ini seperti yang pernah saya baca di salah satu jurnal mengenai masalah psikologis yang dialami pasangan dalam pernikahan tanpa keturunan yang dikenal sebagai bentuk relationship concern.
Paksaan Memenuhi Ilusi Keluarga Bahagia
Masyarakat kita membangun ilusi keluarga bahagia dengan komposisi ayah, ibu, serta anak—baik tunggal maupun jamak. Mayoritas masyarakat menutup segala kemungkinan di luar itu dan menganggap bentuk keluarga lain sebagai sesuatu yang disfungsional. Hal ini menjadikan memiliki anak adalah suatu kewajiban bagi tiap pasangan yang memilih berkomitmen untuk menikah. Konstruksi bentuk keluarga bahagia ini memberi banyak masalah di kehidupan banyak keluarga atau individu terkhusus perempuan.
Masalah ini telah dipupuk sejak anak perempuan masih kecil sehingga menyebabkan mereka dididik supaya nantinya mampu memenuhi standar keluarga bahagia masyarakat dengan menjadi ibu yang baik. Bahkan, mereka sudah dibiasakan untuk memainkan peran sebagai pihak yang merawat anak lewat permainan peran menjadi ibu atau pengasuh dengan boneka berbentuk bayi ataupun sepaket boneka gambaran keluarga bahagia.
Setelah dewasa, perempuan seakan dikejar biological clock atas organ reproduksi mereka. Perempuan harus menikah dan punya anak sesegera mungkin. Perempuan menjadi pihak yang dibebankan untuk mewujudkan hadirnya keluarga bahagia versi masyarakat seperti yang selalu ditayangkan melalui acara atau iklan televisi.
Memerdekakan Rahim Perempuan
Masyarakat kita luput bahwa mereka telah memainkan peran besar dalam mengerdilkan perempuan sebagai manusia seutuhnya. Banyak orang melakukannya lewat pandangan serta tindakan yang sudah melembaga di struktur sosial kita dengan melihat perempuan dari kemampuan rahim untuk memiliki anak atau tidak.
Karena itulah, ketika wacana childfree ramai dibicarakan akibat seorang influencer ternama Gitasav yang berkata bahwa ia memilih untuk tidak memiliki anak, masyarakat kita seketika kebakaran jenggot. Perempuan childless saja sudah dipandang sebagai cacat dalam masyarakat yang mendambakan kehidupan sosial dengan sekumpulan keluarga bahagia. Jadi, tidak heran ketika perempuan-perempuan berani menyuarakan pilihan terhadap rahim mereka, apalagi memutuskan untuk childfree, tentunya akan segera diserang. Mereka dianggap mengganggu nilai-nilai sosial yang sudah susah payah dibangun masyarakat.
Hal ini terjadi tentu dikarenakan rahim perempuan selama ini dianggap sebagai milik bersama sehingga masyarakat merasa berhak untuk mendikte perempuan atas tubuh dan hak reproduksinya. Padahal, bagaimanapun juga, perempuan, sebagai si empunya rahim adalah pihak yang paling berhak dalam mengambil keputusan atas rahimnya. Sehingga, memberi kemerdekaan kepada perempuan atas rahim mereka merupakan salah satu bentuk nyata untuk memanusiakan perempuan dan mengembalikan hal yang memang menjadi hak mereka sedari awal.
Catatan Editor:
*Childfree didefinisikan sebagai kondisi pasangan yang kesehatannya memungkinkan untuk memiliki anak tetapi memilih untuk tidak memilikinya.
**Childless didefinisikan sebagai kondisi pasangan yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak sekali pun mereka menghendakinya.
Penulis: Annisa Azzahra
Editor: Erlyn Fadhillah