Perhelatan sejarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 yang terselenggara di PP Hasyim Asyari, Jepara telah mendiskusikan dan merumuskan berbagai macam tantangan perempuan di era ini. Terdapat 21 diskusi paralel, salah satunya membahas tentang Keluarga Muslim di Indonesia Perspektif KUPI. Jumat, (25/11/22)
Realita Sosial Perempuan Sebagai Kepala Keluarga
Salah satu pembicara dalam diskusi ini adalah Fitria Villa dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Aa mengungkapkan sudah ada 80.190 kepala keluarga perempuan yang bergabung dalam kelompok PEKKA. Hal ini bukan angka yang sedikit dan dialami oleh kebanyakan perempuan di Indonesia. Tentunya masih banyak perempuan di akar rumput yang mengalami hal yang serupa.
“Ini harus dipahami sebagai realitas kehidupan. Seringkali perempuan menjadi kepala keluarga karena kemiskinan, ketidakadilan, dan tidak punya pendidikan tinggi,” ungkapnya.
Perempuan yang sering disapa Villa tersebut menceritakan bahwa para perempuan kepala keluarga ini harus menghidupi diri mereka sendiri dan salah satu kelompok PEKKA ada yang sebagai korban poligami baik istri pertama dan kedua.
“Ini kekerasan struktural dan kultural. Kalau melihat dari realitas, mereka menanggung tiga hingga tujuh anggota keluarga. Ini pasti membebani kepala keluarga. 38% dari mereka menanggung pasangan dan anak, 27% menanggung keluarga besar, 13% menanggung suami, 13% menanggung diri sendiri, 8% menanggung orang tua, dan 2% menanggung bukan keluarga,” paparnya.
Dengan beragamnya tanggung jawab yang dialami oleh perempuan sebagai kepala keluarga, pengertian keluarga tidak lagi terdiri atas suami, istri, dan anak. Berkenan dengan keluarga, PEKKA telah mendefinisikan keluarga dalam 18 ragam, bahkan lebih.
“Keluarga ada seratus ragam, tidak tunggal. Keberagaman keluarga dan membangun keluarga yang berkeadilan. Di kerangka hukum, keluarga masih hal yang tunggal, jelas Villa.
Lebih lanjut Villa menjelaskan, PEKKA telah mengidentifikasikan problematika keluarga dalam kehidupan perkawinan, baik karena dipaksa menikah, perkawinan anak, dan kekerasan dalam pacaran. Ini ada kaitannya dengan masa sebelum, saat, dan pasca-perkawinan di beberapa wilayah PEKKA. Walaupun sudah berpisah dan bercerai secara adat, perempuan tetap mengalami permasalahan stigma masyarakat. Pasca-perkawinan, bercerai adalah pintu terakhir yang dapat diambil akibat kekerasan. Untuk itulah PEKKA turut mendorong dan membantu pencatatan akta kelahiran anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan
“Perempuan sebagai kepala keluarga, sebagai siklus kehidupan. PEKKA bagian dari siklus kehidupan. Pemberdayaan bagi perempuan sebagai kepala keluarga menjadi hal yang penting karena kita tidak tahu siklus di masa depan akan seperti apa,” tegasnya
Problematika Hukum Perkawinan bagi Perlindungan Perempuan
Berbicara tentang keluarga muslim di Indonesia, maka tidak bisa lepas atas undang undang yang berlaku di Indonesia. Di antaranya adalah UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 Tahun 2004.
“Bapak/Ibu yang hadir dalam ruangan ini, siapa yang sudah menikah”
“Bapak/Ibu yang hadir dalam ruangan ini, siapa yang sudah membaca UU Perkawinan”
“Apakah sudah pernah membaca buku nikahnya”
“Siapa yang sudah baca UU PKDRT”
“Bapak/Ibu yang hadir dalam ruangan ini, apakah bahagia”
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh Sri Wiyanti Eddyono, Ketua Pusat Kajian Law Gender Society FH UGM. Dari sekian banyak peserta yang hadir, semakin pertanyaan berlanjut, semakin sedikit yang mengangkat tangan. Banyak peserta yang sudah menjalani pernikahan, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang belum membaca dan mengetahui dampak hukum yang timbul akibat pernikahan. Mereka pun banyak tidak pernah membaca dan mengetahui isi dari buku nikah yang sudah mereka dapatkan.
“Kebahagiaan itu berat ngukurnya, tapi bisa dirasakan. Kebahagiaan itu sangat beragam indikatornya. Indikatornya perlu dipikirkan. Harus kita lihat kebijakan hukum tentang keluarga ini bersandar pada sembilan nilai dasar KUPI, diantaranya: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan,” jelas perempuan yang sering disapa Iik ini.
Selaku pakar hukum, Sri Wiyanti menjelaskan bahwa hukum keluarga di Indonesia sangat penting untuk diketahui karena mengikat hubungan seseorang yang sudah menikah, khususnya UU Perkawinan dan UU PKDRT.
“Kalau dilihat UU perkawinan ada sejak tahun 1974, undang-undang ini ada sisi baik dan masih ada juga problem-nya. Terkait definisi keluarga yang dalam UUP didefinisikan ikatan antara suami dan istri. Kalau tadi menurut PEKKA ada 18 ragam definisi keluarga,” paparnya
Perempuan yang menyelesaikan studi doktor hukumnya di Monash University 2012–2015 ini melanjutkan tantangan kedua yang dialami oleh perempuan bahwa keluarga di dalam UUP membedakan peran laki-laki dan perempuan. Terjadinya pembakuan peran gender berdampak ketika perempuan melakukan kerja-kerja reproduksi dan dianggap tidak punya nilai. Akhirnya perempuan dianggap tidak berharga dan tidak setara. Ketika tidak bernilai, maka perempuan dianggap rendah. Sehingga, perempuan melakukan kerja domestik dan itu berpengaruh terhadap kerja-kerja di publik yang dianggap tidak berkontribusi terhadap kerja kerja pembangunan.
Begitu pula tentang UU PKDRT. UU PKDRT sudah membahas lebih lanjut tentang kekerasan yang terjadi. Namun dalam praktiknya, yang diakomodir masih saja kekerasan fisik.
“Kasus KDRT tidak mudah sebenarnya untuk dicabut karena adanya tingkatan dalam penganiayaan, kalau sudah tingkatan sedang dan berat, maka kasus wajib untuk dilanjutkan. Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis, penelantaran, dan sebagainya, maka ini juga penting untuk dipikirkan,” tegasnya.
Kesetaraan Gender dalam Keluarga Islam
“Ketika saya periksa ke dokter, dokter tersebut bertanya “Ibu sibuk mengurus cucu ya?” Seolah saya ini nenek-nenek saja yang cape mengurus cucu. Saya juga punya kesibukan mengajar dan penelitian,” cerita singkat dari Prof. Nina Nurmila, Guru Besar UIN Gunung Jati, Bandung.
Prof. Nina menyampaikan bahwa masyarakat memandang seolah laki-laki satu tingkat lebih tinggi dan perempuan dianggap bertugas di rumah suaminya.
“Ketika ada keterbatasan ekonomi dalam keluarga dan memiliki dua anak laki-laki dan perempuan, maka yang terjadi, (yang) diberikan akses pendidikan, kepada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Konstruksi Islam tidak mengidentifikasi harus berjenis kelamin laki-laki, perempuan pun juga bisa,” terangnya
Prof. Nina juga menyampaikan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Islam Kontemporer yang memandang ayat 34 An-Nisa menginformasikan kondisi saat itu, bukan ayat untuk sepanjang masa. Hal yang penting adalah terpeliharanya keadilan dalam kontribusi keluarga. Sehingga terjadi fleksibilitas peran, seperti ibu-ibu yang bergabung dalam PEKKA, misalnya. Islam adalah agama keadilan dan kesetaraan. Di dalam Surat At-Taubah ayat 71, laki-laki dan perempuan setara dan semuanya menjadi pemimpin.
Pembicaraan mengenai keluarga Islam pun disambung oleh Kh. Imam Nahe’i dari Komisioner Komnas Perempuan.
“Ayat tentang umrah dan haji itu ada dua dalam Al-Qur’an, tetapi yang mengurusinya banyak dan di mana-mana. Ayat tentang puasa itu hanya 1satu dan luar biasa pelaksaannya di bulan Ramadan. Ayat tentang perkawinan ada ratusan dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada yang mengurus dan banyak dilanggar. (Hal) yang diseriusin oleh Tuhan, tetapi tidak diurusin oleh kita,” tegas Kiai Imam.
Islam sudah mengatur sedemikian rupa tentang perkawinan, mulai masih lamaran, masa, dan juga pasca-nya, termasuk soal menyapih untuk menyusui anak, Al-Qur’an telah mengaturnya.
“Dalam keluarga ada mawaddah dan visi Nabi Muhammad adalah rahmatan lil’alamin. Maka tidak ada rahmatan lil’alamin kalau di rumah saja tidak ada mawaddah. Al Quran tidak sekedar fiqih, tetapi juga akhlak dan akidah,” terangnya