Akses Atas Ruang Belajar yang Egaliter adalah Privilege

Akses Atas Ruang Belajar yang Egaliter adalah Privilege

“Nis, bisa belajar di ruang yang aman dan egaliter itu harus kamu syukuri!”

Belakangan, kalimat yang diucapkan seorang teman beberapa tahun lalu kembali terngiang dalam perjalanan belajar di sebuah forum yang baru saya ikuti. Awalnya, saya menolak rasa tidak aman dan nyaman yang muncul dengan dalih saya sudah lama tidak terlibat di dalam kegiatan besar yang melibatkan banyak orang. Namun, waktu terus berjalan dan rasa tidak nyaman itu bergerilya ke seluruh tubuh, hingga menghabiskan energi saya dengan cepat seperti baterai rusak. 

Karena itu, setelah yakin dan memvalidasi rasa tersebut sebagai akibat dari pengalaman yang terjadi di ruang belajar saat ini, saya mulai membicarakannya. Bak gayung bersambut, ternyata saya bukan satu-satunya yang merasakan hal tersebut, teman-teman yang lain pun sama. Ada sedikit kelegaan karena yang paling utama adalah saya berani memvalidasi perasaan sendiri, mulai mengenali penyebabnya, hingga menyadari bahwa saya tidak sendiri dan rasa tidak nyaman ini bersifat kolektif.

Ketika berada di tempat baru, kecenderungan untuk merasa tidak nyaman dan mengalami kesulitan membaur memang hal yang bisa dimaklumi, begitulah yang saya ucapkan pada diri sendiri ketika dalam forum. Dalam kasus saya, ketidaknyamanan tersebut dimulai dengan rasa gugup, yang sebenarnya terlalu berlebihan, terutama ketika ingin menyampaikan sesuatu. Untuk melakukannya, saya harus meyakinkan diri berkali-kali. Apalagi ketika saya merasa berada di level yang terlalu berbeda dengan peserta forum atau ketika saya berusaha untuk menutupi getar di suara dan tubuh saya. 

Tentu saja setiap orang punya reaksi ketidaknyamanan yang berbeda. Saya dengan pengalaman personal, yang seringkali tidak menyenangkan, dalam ruang-ruang maskulin menyadari kalau reaksi yang muncul pada diri saya bisa saja dianggap berlebihan bagi orang lain atau bahkan distigma sebagai sosok yang manja juga terlalu sensitif. 

Namun, pelabelan semacam itu terjadi ketika dalam forum kita tidak mau berusaha mengenali dan mengidentifikasi ekosistem di dalamnya. Secara personal, saya memberi perhatian lebih kepada teman lain yang bisa jadi merasa tidak nyaman juga. Menurut saya, semua perasaan itu berhak untuk divalidasi setidaknya dari kita, si empu perasaan, karena ketidaknyamanan tidak melulu muncul dari rasa inferior dan tidak adanya kepercayaan diri.

Perbedaan  Ruang Feminis dan Maskulin

Pengalaman ini belakangan terus mengingatkan saya betapa ruang belajar yang saya miliki selama ini sangat memanjakan setiap orang di dalamnya. Setiap individu mendapat kesempatan untuk mengaktualisasi diri, belajar, mengenali pengalaman, merefleksikan materi, memberikan opini, menjalin relasi, hingga tidak ada kekhawatiran untuk menjadi liyan. Di forum-forum seperti ini, saya selalu merasa aman dan nyaman. 

Hal ini juga membuat saya teringat salah satu pos Instagram milik seorang penulis, Intan Paramaditha, yang membagikan tips berbicara di depan publik bagi perempuan muda. Pada pos tersebut, ia membagik tips berbicara dalam dua jenis ruang, yaitu ruang publik dengan kelompok feminis dan kelompok maskulin.

Menurut beliau, ketika berada di lingkungan feminis, yang cenderung menjunjung nilai egaliter, kita dapat tersenyum bebas tanpa khawatir dianggap tidak kompeten. Kita dapat membuka diri dan berbagi pengalaman, pengetahuan, dan rasa penasaran sebebasnya. Hal tersebut dapat terwujud karena ruang ini adalah ruang belajar tempat setiap individu di dalamnya secara sadar dan berkomitmen untuk menyediakan ruang yang aman lewat berbagai cara yang sebenarnya terdengar mudah, tetapi sulit untuk diterapkan di semua tempat. 

Cara menciptakan ruang aman tersebut misalnya menghargai perspektif setiap individu, menghargai setiap kontribusi dan pendapat yang diberikan, serta memberikan usaha lebih dalam mendengarkan juga menyediakan ruang bicara yang setara. Semua itu dilakukan agar semua pihak mampu untuk bekerja sama dalam memastikan tidak ada yang merasa terdiskriminasi, tertinggal, tidak nyaman, atau merasa tidak setara. 

Situasi tersebut senada dengan pengalaman saya ketika berada di forum seperti ini. Saya tidak merasakan kekhawatiran akan dianggap liyan karena isu yang berbeda. Saya tidak khawatir merasa bodoh, tertinggal, merasa tidak berguna, atau perlu berulang kali mempertanyakan kemampuan diri dalam belajar dan menjalin interaksi antar individu dalam ruangan tersebut.

Hal tersebut berbeda ketika kita berada di ruangan yang maskulin. Namun, perlu diingat bahwa ruang maskulin tidak melulu tentang dominasi laki-laki dalam sebuah forum karena perempuan pun dapat menjadi agen patriarki. Kita bisa mengidentifikasi ruang maskulin sebagai ruang tempat terjadinya kompetisi antarindividu. Kompetisi tersebut terlihat sangat jelas dari waktu ke waktu dan diperkuat dengan adanya kesenjangan interaksi antarkelompok yang terbentuk secara alamiah hingga tidak disadari atau dianggap wajar.

Dalam ruang-ruang maskulin seperti ini, mempertanyakan pengalaman dan pengetahuan orang lain adalah sesuatu, yang bahkan tanpa disadari, dilakukan untuk menentukan siapa pihak yang dominan dan subdominant. Di ruang yang maskulin juga tidak ada upaya dari pihak yang sudah kadung mendominasi forum untuk memberi kesempatan yang setara bagi semua. 

Menurut Intan, di dalam forum semacam itu kita harus menjadi sosok yang juga tegas, lugas, bahkan hingga tahap paling buruk ialah kita tidak perlu tersenyum. Pengalaman berada di forum-forum maskulin yang sudah saya lewati mulai dari tahap yang masih bisa ditoleransi hingga yang sangat buruk. Pengalaman-pengalaman tersebut memang seringkali tidak menyenangkan dan melelahkan. Hal tersebut terjadi karena saya harus terus menerus berkompetisi dan mendorong diri secara berlebih untuk mendapat pengakuan atas pengetahuan dan pengalaman individu.

Forum Maskulin Tidak Dapat jadi Ruang Aman

Saya rasa, ketika membicarakan gerakan sosial atau aktivis, kita sudah sering mendengar kritik terkait maskulinitas sebuah gerakan. Hal tersebut tampak lewat ruang gerak yang tidak menjunjung nilai-nilai kesetaraan dan upaya untuk memperjuangkan hal itu. Maskulinitas dalam gerakan sosial juga seringkali mengarah kepada kondisi memprioritaskan isu-isu yang dianggap lebih maskulin dan menganggap isu lainnya sebagai masalah kelas dua. Hal tersebut bahkan dapat mencapai tahapan yang lebih mengerikan, seperti pemakluman dan imunitas atas tindak kekerasan yang dilakukan pihak di dalamnya apabila dilakukan oleh pihak yang dominan. 

Belajar dan menguasai berbagai teori terkait Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan, sosialisme, serta berbagai -isme lainnya memang tidak serta-merta membuatnya melekat jadi seperangkat perilaku. Tidak selalu mereka yang belajar akan hal tersebut memperlakukan sesama secara setara serta menjadikan forum sebagai ruang yang aman dan nyaman untuk semua. Proses belajar hal baru dan membuang ajaran-ajaran yang telah lama terpatri dalam diri kita memang proses yang panjang. Itu sebabnya, kita semua bisa jadi aktor untuk membuat orang lain merasa tidak nyaman. Karena itu, melepas bias serta sifat-sifat maskulin yang tidak sehat adalah suatu upaya yang sulit dilakukan meski penting. Bahkan, menyadari hal tersebut pun memang seringkali menjadi tugas yang panjang.

Itulah sebabnya, kalau mendengar aktivis HAM atau bahkan aktivis gender dapat menjadi pelaku kekerasan, misalnya kekerasan seksual, sebetulnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Karena walau memahami berbagai teori tadi, oknum tersebut tidak mengikutsertakan pembelajarannya ke dalam sinkronisasi bertindak dan berperilaku sebagai manusia yang menghargai hak setiap orang dan menjunjung nilai kesetaraan.

Sehingga, dalam membangun gerakan sosial yang dapat menjadi ruang aman bagi semua memang merupakan pekerjaan rumah yang tidak dapat selesai dalam waktu singkat. Namun, belajar mengenai isu kemanusiaan, advokasi, dan upaya pendampingannya berarti kita harus berkomitmen secara utuh untuk belajar memanusiakan setiap manusia secara setara dan menyadari tindakan-tindakan yang bisa saja jadi suatu alasan rasa tidak nyaman orang lain di dalam gerakan.

Akhirnya, perlu dicatat bahwa pendekatan-pendekatan maskulin yang mengedepankan ego hingga upaya memenangkan suatu forum lewat dominasi sudah sangat ketinggalan zaman. Pendekatan yang humanis dan egaliter nyatanya lebih mampu memberikan jaminan atas ruang belajar yang aman dan nyaman bagi semua. 

Hal tersebut bisa dicapai dengan mengedepankan empati, memastikan komitmen untuk kesetaraan, meningkatkan kesadaran pribadi terhadap perilaku diri yang mengakibatkan rasa tidak nyaman kolektif, hingga memperhatikan dinamika forum untuk selalu memastikan tiap pihak merasa aman dan nyaman. Karena ruang belajar dan gerakan bersama sudah seharusnya menyediakan jaminan kepada yang tergabung di dalamnya untuk hak-hak dasar sebagai sebuah perkumpulan. Ruang yang egaliter juga artinya menyadari bahwa setiap pihak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang merupakan salah satu sumber belajar.


Penulis: Annisa Azzahra

Editor: Erlyn Fadhillah