“Tulisan yang baik bukan berasal dari ide yang gemilang atau tata Bahasa yang cemerlang. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai dan sampai ke pembaca hingga mampu menyentuh nurani mereka lewat kejujuran”– Erlin Fadhylah.
Dalam setiap pelatihan atau penguatan kapasitas, ada baiknya kita mengosongkan gelas untuk bersiap mengisinya kembali dengan air pengetahuan baru. Sama seperti ketika Perempuan Berkisah dengan dukungan Yayasan Hivos dan Norwegian Embassy kembali mengadakan serial diskusi terakhir kali ini. Serial diskusi kali ini sungguh mahal dan sangat jarang sekali bisa ditemui di mana pun. Diskusi kali ini seperti mematangkan anggota dan calon anggota Perempuan Berkisah untuk mempersiapkan kapasitasnya menjadi tim konselor atau pendamping korban Kekerasan Berbasis Gender. Bisa dibilang, diskusi terakhir ini menjadi “gong” dari runutan diskusi-diskusi sebelumnya.
Visi Misi Media Pemberdayaan perempuanberkisah.id
Sebagai sebuah media, website perempuanberkisah.id mungkin dianggap hanya berisi tulisan berupa laporan, hal-hal yang bersifat aktual, informatif, dan menyajikan data. Padahal, pengalaman para penulis di Perempuan Berkisah ternyata begitu berbeda. Lewat materi yang dipaparkan para narasumber, kita seolah diajak untuk menyadari banyak hal terkait kegiatan menulis yang dapat menggugah sekaligus memberikan pembelajaran.
Pasti tidak sedikit yang berpikir bahwa proses menulis adalah sebuah kebebasan dalam menuangkan segala hal, baik itu ide, gagasan, data, ekspresi, dan hal lainnya. Menulis juga dapat dianggap sebagai bagian dari menumpahkan segala isi pikiran yang pada saat itu juga harus dituangkan. Sebuah tulisan sendiri biasanya dibuat untuk berbagai kepentingan atau tujuan. Pernyataan tersebut tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, pada materi hari ini kita diajak untuk menyelami sebuah jenis tulisan khas PB yang disebut catatan pembelajaran. Berbagai tulisan catatan pembelajaran yang dicontohkan narasumber juga dapat dibuat yang tujuan untuk mempengaruhi suatu kebijakan maupun kebutuhan untuk kampanye dan urgensi sebuah isu. Salah satu contohnya adalah Perempuan Berkisah pernah menerbitkan tulisan dan pembelajaran untuk mendesak disahkannya RUU TPKS.
Catatan Pembelajaran Konseling dan Pendampingan Korban KBG
Dari berbagai jenis tulisan catatan pembelajaran serial diskusi kali ini berfokus pada catatan pembelajaran hasil konseling dan pendampingan korban KBG. Tulisan tentang catatan pembelajaran hasil konseling dan pendampingan korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) bukan sekedar menguras emosi, tetapi merupakan tulisan yang disusun lewat kejujuran hati yang mampu menggugah pembaca. Pesan dan hikmah dari catatan pembelajaran konseling ini memang dirancang agar bisa sampai ke hati dan pikiran pembaca. Sehingga, lewat tulisan ini diharapkan pembaca mendapatkan juga insight yang tak lekang oleh waktu. Hal ini sejalan dengan yang diucapkan oleh Founder Komunitas Perempuan Berkisah, Alimah Fauzan,
“Tidak peduli orang melihatnya sebagai bentuk kerapuhan atau tidak, tulisan-tulisanku yang lahir dari kejujuran adalah prosesku untuk pulih dan berdaya”– Alimah Fauzan.
Mungkin sebagian orang bertanya-tanya alasan media Perempuan Berkisah, baik di website maupun Instagram sering menuliskan kisah-kisah sedih dan tragis dari para korban KBG. Hal ini bukan dilakukan untuk menjual kesengsaraan saja. Namun, tulisan yang dimuat di media Perempuan Berkisah sesuai dengan visi dan misi PB sebagai media pemberdayaan. Pengejawantahan dari visi misi tersebut dilakukan dengan berbagi pengetahuan, pembelajaran, dan kisah inspiratif perempuan.
Sebab, bagaimanapun dan dalam kondisi apa pun, perempuan selalu berada dalam posisi yang rentan. Maka penting untuk memuat adanya perspektif keberpihakan pada korban. Hal yang tak kalah utamanya adalah dalam setiap catatan pembelajaran hasil konseling dan pendampingan korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di dalamnya menggunakan perspektif keterhubungan atau pendekatan interseksionalitas. Interseksionalitas sendiri adalah sebuah pendekatan untuk melihat berbagai sudut pandang dari keterhubungan sebuah kasus kekerasan. Ada banyak lapisan dan dimensi yang dapat dikupas satu per satu untuk eksplorasi masalah.
Menurut Alimah, ada banyak angle atau sudut pandang yang dapat dijadikan inspirasi untuk dibuat dalam catatan pembelajaran. Namun, perlu diperhatikan juga etika dan aturan untuk menuliskan kisah dan catatan pembelajaran. Ternyata, prosesnya memiliki sebuah kesamaan dengan menuliskan catatan lapangan ketika penelitian yakni menuliskan kronologis yang sesuai dengan etika.
Menuliskan peristiwa traumatis tentu akan menguras emosi. Itu sebabnya, sebagai penulis kita harus mengenali diri terlebih dahulu. Proses mengenali perasaan diri dapat dilakukan lewat validasi perasaan diri karena tidak ada perasaan yang tidak penting. Kita juga harus memiliki sikap untuk mau jujur dan terbuka dengan kerentanan diri. Namun, di satu sisi kita juga harus mengetahui batasan diri kita, karena menuliskan sesuatu yang berisikan ‘rasa’ akan rentan membuat kita sebagai penulis sendiri tidak nyaman karena ada kemungkinan terpicu perasaan, memicu trauma. Misalnya saja, ada beberapa pembaca yang masih trauma ketika membaca kata perkosan.
Kita juga harus berhati-hati agar tidak semakin emosional atau menggebu-gebu sehingga menuliskan kronologi pembelajaran konseling dengan penuh semangat yang malah membuat tulisan menjadi dramatis dan penuh penghakiman. Karena, hal ini sangat dilarang dan rentan membuat korban menjadi korban berulang.. Tidak boleh ada penghakiman dalam memuat catatan pembelajaran. Kembali lagi kita harus menerapkan apa yang sudah disampaikan pada seri diskusi sebelumnya, mengenai Etika & Prinsip Pendampingan Korban KBG, Pyschological First Aid, Meditasi Sebagai Healing.
Ada etika dan prinsip dalam pendampingan, begitu pula ketika menuliskan catatan pembelajaran dari hasil konseling dan pendampingan. Jadi, catatan pembelajaran dapat memberikan refleksi dan inspirasi bagi pembaca dan tak jarang pula memupuk kesadaran kritis transformatif bagi penyintas. Penyintas di sini adalah mereka yang sudah terbentuk kesadaran kritis transformatifnya setelah melalui proses konseling di ruang aman Perempuan Berkisah.
Lalu, di mana letak kesamaan antara catatan pembelajaran dengan penulisan untuk penelitian? Hal tersebut ada di bagian penyampaian fakta. Fakta atau sesuatu yang nyata bisa lebih ilmiah dari ilmiah itu sendiri. Namun, catatan pembelajaran menyajikan fakta dengan sangat berbeda. Posisi penulis sudah harus jelas di awal, apakah sebagai tulisan untuk kisahnya atau untuk kisah ‘dia’ sebab ini menyangkut soal ‘consent’.
Perlu diketahui juga, setiap konseli yang membagikan kisah atau pembelajarannya selalu diminta untuk mengisi form konseling yang di dalamnya berisi juga mengenai lembar persetujuan. Hal yang membedakan catatan pembelajaran konseling dan kisah korban/penyintas KBG adalah bagaimana tulisan tersebut mampu memberikan sudut untuk ruang analisis. Kita mesti melihat apakah masih berkutat dalam eksplorasi masalah, atau sudah dalam tahapan evaluasi atau bahkan sudah di tahap refleksi hingga ada hikmah yang dapat menjadi pembelajaran.
Dalam penelitian sosial seperti kajian fenomenologi, hal yang terjadi di lapangan itulah yang dimuat dalam catatan, terlepas nanti akan dibedah menggunakan pisau analisis dengan teori yang beragam jenisnya. Sedangkan, dalam menuliskan catatan pembelajaran, penyampaian kronologi yang terjadi dengan korban harus tetap dengan memahami etikanya, perspektif, dan pengembangannya.
Untuk pengembangan sendiri kita dapat menggunakan termasuk dalam teknik penulisan menggunakan mind mapping. Ini diperlukan karena dengan menggunakan peta pemikiran ini kita dapat mengembangkan mau ke arah mana tulisan atau catatan pembelajaran kita.
Catatan Pembelajaran sebagai Sarana Refleksi dan Saling Menguatkan
Pada akhirnya, catatan pembelajaran dapat memberikan pembaca sebuah refleksi dan bahkan banyak yang merasa terhubung atau dekat dengan beberapa kisah dan catatan pembelajaran yang dimuat di website Perempuan Berkisah. Perihal perasaan terhubung atau merasa terwakili dengan setiap tulisan di Perempuan Berkisah ini merupakan sebuah kekuatan magis tersendiri yang dimiliki oleh media dan konten Perempuan Berkisah. Tidak hanya satu atau dua orang yang kerap berkata merasa terwakili oleh tema-tema yang sesuai dengan kondisi saat ini lewat catatan pembelajaran tadi. Hal ini menjadikan catatan pembelajaran bukan sekedar tulisan bermuatan kepiluan semata, tetapi memiliki daya magis untuk memulihkan dan membangun kesadaran kritis seseorang hingga menuju berdaya.
Pada akhirnya, sesi kali ini menguatkan kita semua agar memiliki kemauan untuk terus menulis. Salah satu tips sederhana dari semua narasumber adalah “Tulis dulu saja” dan sebetulnya itu tips sederhana yang paling tidak mudah untuk dilakukan. Namun, kita tidak bisa menuliskan sesuatu jika kita tidak memberanikan diri untuk mulai menuliskannya.
Sejatinya, kita semua bisa menulis sebuah catatan pembelajaran yang menggugah hati nurani, yang pesannya sampai menyentuh kalbu, dan isi muatannya mampu menumbuhkan kesadaran kritis transformatif untuk pulih dan berdaya asal kita mau meluangkan waktu untuk melihat sebuah kasus lewat perspektif keberpihakan terhadap korban. Seperti yang telah dilakukan oleh salah seorang narasumber, Annisa, yang membagikan pengalaman luar biasanya dalam menuliskan catatan pembelajaran konseling korban KBG, tetapi tetap sangat personal baginya. Meski bukan menuliskan kisahnya, sebagai pendamping dan penulis ia dapat mengetahui setiap jengkal proses bertumbuh dan kemajuan dalam pendampingan bersama korban.
Sebagai tim yang bergerak bersama, rasanya hangat sekali mengikuti sesi diskusi yang mahal ini. Materi penulisan ini bisa dibilang tidak bisa didapat dari pelatihan menulis manapun. Meski tanpa teori yang beragam jenis dan dihasilkan berdasarkan pengalaman, kita tetap diajak mendapatkan pengetahuan baru yang begitu kaya. Mari gerak bersama memperluas pengaruh keberpihakan kepada korban KBG lewat tulisan catatan pembelajaran sebagai proses tak henti bertumbuh.
***