Dinamika Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis Gender di Daerah

Dinamika Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis Gender di Daerah

Dalam melaksanakan salah satu misi Komunitas Perempuan Berkisah untuk menciptakan Ruang Aman berbasis etika feminisme, para konselor dan pendamping PB tidak hanya aktif melakukan konseling secara daring. Dalam beberapa kesempatan, pendampingan korban secara langsung pun dibutuhkan. Kebutuhan ini terutama muncul di daerah-daerah yang masih memiliki keterbatasan akses dalam pelayanan korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG).

 Tentunya, pendampingan secara langsung memiliki tantangan berbeda dibandingkan telekonseling maupun konseling daring. Dalam mempersiapkan para calon anggota Komunitas Perempuan Berkisah 2022 sebagai pendamping baik langsung maupun tidak langsung, diadakanlah serial diskusi publik bertajuk Keberpihakan Ruang Aman Berbasis Komunitas dan Upaya Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Pendampingan Berbasis Etika Feminisme. Program diskusi ini diselenggarakan oleh Komunitas Perempuan Berkisah atas dukungan dari Kedutaan Besar Norwegia, Yayasan Hivos, dan tentunya Yayasan Pribudaya yang menaungi Komunitas Perempuan Berkisah. 

Seri diskusi keempat ini mengangkat tema mengenai “Dinamika Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Daerah”. Pembahasan ini tentu saja melengkapi tiga pembahasan sebelumnya terkait etika sebagai pendamping KBG, pengetahuan mengenai Psychological First Aid (PFA), serta berkenalan dengan beberapa teknik healing bagi korban KBG. Diharapkan, rangkaian seri diskusi ini dapat memperluas pengaruh tentang pentingnya pendampingan yang memiliki perspektif keberpihakan kepada korban.

Dalam seri diskusi ini, PB menghadirkan tiga orang narasumber yang juga merupakan konselor di Ruang Aman PB dan telah berpengalaman dalam melakukan pendampingan korban secara langsung. Narasumber pertama adalah Hadyanna P. Rahayu, anggota Komunitas PB dan seorang profesional di bidang penanganan konflik dan mediasi pada perkara hubungan industrial dan hubungan keluarga yang banyak melakukan pendampingan di wilayah Sumatera. Hadir pula Afif Hida, anggota PB Jawa Timur yang aktif melakukan advokasi di wilayah Surabaya. Terakhir, ada pula seorang jurnalis dan anggota  Komunitas PB yang kerap melakukan pendampingan langsung, Anjar Masiga, dari wilayah PB Indonesia Timur. 

Ketiga narasumber tidak sekadar membahas mengenai materi terkait pendampingan korban KBG secara langsung, tetapi juga berbagi praktik baik dan tantangan yang telah dilakukan dan dihadapi sebagai pendamping di daerah masing-masing. Mereka pun menekankan pentingnya pemahaman terkait etika feminisme dalam pendampingan korban secara langsung untuk mendorong kesadaran kritis transformatif korban KBG. Banyak pembelajaran dari seri diskusi ini yang bisa dijadikan pembelajaran maupun saran evaluasi bagi para pendamping korban KBG di daerah. 

Beratnya Pendampingan Melawan Patriarki yang Jadi Pedoman

“Lebih baik kau pulang dalam keranda dibandingkan menjadi janda.”

Percaya tidak percaya, kalimat ancaman di atas diutarakan oleh seorang ibu kepada putrinya yang hendak bercerai karena menjadi korban KDRT. Taruhan nyawa tidak lagi digubris saat status janda dianggap aib. Miris! Kisah tersebut diungkapkan oleh Hadyanna P. Rahayu saat berbagi pembelajaran terkait pengalamannya mendampingi korban KBG secara langsung. 

Perempuan yang akrab disapa Tita ini menuturkan kisah mengenai sulitnya korban yang pernah ia dampingi dalam melawan budaya dan pola pikir patriarki yang telah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Korban yang memilih jalan cerai mendapat tentangan keluarga sendiri, bahkan dibawakan parang saat memasukkan gugatan perceraian. Hilang nyawa dianggap lebih baik dibandingkan perceraian meski pernikahan tidak lagi membahagiakan.

Kasus di atas hanyalah salah satu contoh tantangan pendampingan korban KBG secara langsung. Tidak hanya datang dari keluarga, tantangan pendampingan korban KBG, terutama dalam relasi personal, juga sering datang dari sisi korban sendiri. Jarang sekali korban KBG datang konseling atau meminta pendampingan saat kekerasan terjadi satu atau dua kali. Korban seringkali menganggap wajar kekerasan yang ia alami, mudah luluh pada janji-janji, dan sulit keluar dari siklus kekerasan tersebut. 

Biasanya, korban akan datang mencari pertolongan saat nyawa anak sudah terancam. Padahal dalam kondisi tersebut, anak sudah pasti telah menjadi korban karena kerap menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam relasi orang tuanya. Setelah mencari pendampingan atau melakukan pelaporan pun belum tentu akan ada tindak lanjut. Hal ini kerap dialami oleh para pendamping saat menghadapi korban yang ragu melanjutkan pelaporan karena takut aib keluarga akan disebarkan. 

Itulah bukti betapa internalisasi pola pikir patriarki telah mengakar kuat dalam benak masyarakat kita. Situasi ini menunjukkan bahwa tantangan dalam pendampingan korban KBG secara langsung tidak melulu hadir dari keterbatasan akses ataupun sumber daya. Justru, tantangan utama sebetulnya ada karena pola pikir masyarakat yang menganggap perempuan sebagai masyarakat kelas dua, tidak punya hak bersuara, bahkan terus dipersalahkan meski telah menjadi korban, bahkan oleh sesama perempuan dan diri korban sendiri.

Perempuan adalah objek yang rentan, selama masyarakat masih menganut patriarki posisi perempuan akan tetap rentan. Patriarki menempatkan pria dalam posisi dominan di segala aspek hingga menyebabkan androsentrisme. Ketika kepemilikan kapital seluruhnya diserahkan ke laki-laki ada pemahaman yang menjadikan lelaki pusat dunia. Dari situ muncul ketimpangan relasi kuasa.” (Hadyanna P. Rahayu)

Pada akhirnya, pola pikir patriarki ini memengaruhi berbagai tantangan lain yang mesti dihadapi dalam mendampingi korban KBG secara langsung. Salah satunya adalah tantangan dalam memberikan rujukan bagi pendampingan korban. Tita mengakui tidak semua pendamping maupun pihak lain yang terlibat dalam proses penanganan kasus KBG memiliki sensitivitas gender dan perspektif keberpihakan pada korban. Hal ini menyebabkan korban disudutkan, bahkan dianggap menjadi penyebab terjadinya KBG. Kondisi ini menjadi bukti kuatnya pola pikir patriarki bahkan oleh pihak yang seharusnya menjadi ruang aman bagi korban. 

Tentu dinamika pendampingan korban KBG tidak sekadar mendapat tantangan dari pola pikir saja. Tidak jarang, pendamping mesti merogoh kocek pribadi demi menyediakan rumah aman bagi korban. Mirisnya, minimnya ketersediaan rumah aman tidak hanya dialami oleh daerah di luar Pulau Jawa. Seperti yang dituturkan Afif, ia pernah mendapati rumah aman berupa rumah kosong tanpa pendampingan fasilitator. Korban yang berada di rumah aman tersebut pun hanya dikunjungi seminggu sekali atau bahkan dua minggu sekali.

Menghadapi berbagai tantangan dalam pendampingan korban KBG secara langsung ini tentu tidaklah mudah. Itu sebabnya, penting untuk memahami etika pendampingan berbasis etika feminisme dan perkuat kolaborasi. Hindari menjadi sosok pendamping yang merasa paling tahu atau memaksakan diri.

Pentingnya Memetakan Peran dalam Menunjang Keberhasilan Pendampingan

“Ada lagi kasus KDRT hingga saya mengantarkan ke RSJ. Itu pertama kalinya saya mendampingi empat jam asesmen dengan dokter kejiwaan dan ketika korban dipulangkan pada keluarga setelah keluar dari RS, korban kabur lagi dari rumah, sudah berulang kali karena orang tua atau keluarga sering memukulnya dan menakuti menggunakan parang. Penanganan kasus tersebut membutuhkan kolaborasi banyak sekali pihak hingga sebelas orang.” (Afif Hida)

Kisah yang dibagikan narasumber kedua di atas mungkin bisa menjadi gambaran pentingnya kolaborasi dalam proses pendampingan langsung korban KBG. Untuk menangani satu korban, bisa jadi kita membutuhkan penanganan dari berbagai lembaga dan melibatkan banyak pihak. Itu sebabnya, pendamping perlu memahami betul posisi dan perannya untuk memaksimalkan proses pendampingan yang akhirnya bisa memberdayakan korban.

Dalam proses pendampingan korban KBG, setidaknya ada beberapa pihak yang mungkin terlibat selain pendamping yakni psikolog atau psikiater, paralegal,  pengacara, atau advokat. Belum lagi dalam proses pendampingan bisa jadi melibatkan pihak lain seperti tenaga kesehatan maupun kepolisian sesuai kebutuhan korban. Untuk itu, pendamping perlu memahami kapasitas dirinya. Hal ini penting agar pendamping bisa mengambil peran yang paling sesuai dengan kondisi dan posisinya saat itu.

Apa pun posisi yang dipilih sebagai pendamping, perlu diingat bahwa menjadi pendamping tidak hanya perlu memahami kapasitas diri melainkan juga kekurangannya. Pendamping mestilah sosok yang empatik dan bersedia meluangkan waktu, bahkan tidak jarang anggaran dalam proses pendampingan. Empati ini juga semestinya hadir dalam sikap pendamping yang tidak mendominasi, menghargai perbedaan, serta mau mendengarkan tanpa menggurui. 

Khusus untuk pendamping korban KBG, memiliki pemahaman terkait perspektif gender semestinya bukan lagi pilihan. Sejalan dengan Afif, Tita menyatakan pentingnya untuk memahami etika feminisme dalam pendampingan korban. Sebab, pendamping korban bertujuan membantu korban bertransformasi menuju pulih. 

Hal ini tentu berbeda dengan pendamping hukum yang fokusnya untuk memenangkan kasus. Bisa jadi, strategi yang diambil oleh pendamping hukum kurang atau tidak mengedepankan kepentingan korban. Inilah yang membedakan pendamping yang memiliki etika feminisme dengan pendamping lainnya. Sebab, tujuan utama pendampingan korban tidak selalu berwujud keadilan di mata hukum, tetapi pemulihan diri korban. 

Pentingnya Mitigasi Risiko bagi Korban dan Pendamping dalam Pendampingan Kasus KBG

Salah satu contoh nyata dari proses pendampingan yang berpihak pada korban adalah tidak sembarangan memviralkan kasus di ruang publik. Sebab, hal ini berisiko menempatkan korban di posisi berbahaya bahkan diperkarakan di jalur hukum. Sayangnya, kondisi semacam ini masih sering dihadapi para pendamping korban di berbagai daerah. Kurangnya pemahaman korban ataupun pihak-pihak yang dekat dengan korban membuat viralnya kasus terkadang terjadi tanpa perhitungan. 

Itulah sebabnya pendamping korban KBG wajib memahami pengelolaan kasus dan mitigasi risiko. Hal ini bertujuan untuk mengukur rencana intervensi dalam pendampingan berdasarkan kebutuhan korban. Dengan mitigasi risiko diharapkan korban mendapat gambaran umum mengenai langkah yang akan diambil dalam proses pendampingan. 

“Korban yang awam sering berpikir penanganan kasus itu simpel dan hanya konsentrasi pada proses hukum. Mitigasi risiko bisa menggambarkan pada klien atau korban tentang langkah yang dibuat agar tidak menganggap pendamping seperti superhero karena semua sebetulnya kembali ke klien. (Anjar Masiga)

Pemahaman pendamping pada mitigasi risiko mestilah diimbangi dengan penyampaiannya kepada korban. Sebab, proses mitigasi tidak akan berjalan jika hanya pihak pendamping yang memahami risiko ini. Korban harus diberi pemahaman mengenai masalah yang ia hadapi serta tujuan dari setiap penanganannya.

Selain itu, mitigasi risiko juga membantu korban agar bisa memperoleh akses pada pelayanan yang dibutuhkan dan memecahkan hambatan aksesibilitas yang mungkin ada. Lewat mitigasi risiko yang tepat, keberlanjutan pelayanan dalam kurun waktu tertentu sesuai kebutuhan korban juga bisa terjamin. Korban pun memahami bahwa pelayanan yang ia dapatkan memang sesuai dengan kebutuhannya. 

Anjar pun menjelaskan bahwa penerapan mitigasi risiko bisa dilakukan dengan melakukan pendekatan 5W+1H. Seperti halnya kerja jurnalis, pendamping diharapkan mencari solusi dan jawaban atas kebutuhan korban dengan berpedoman pada pertanyaan tersebut. 

Berdasarkan pengalaman Anjar, mitigasi risiko tidak hanya penting untuk keamanan korban, melainkan juga pendamping. Sebagai pendamping, ada risiko kriminalisasi yang dihadapi. Belum lagi kekecewaan dari pihak korban terhadap pendamping saat waktu, tenaga, dan biaya yang dicurahkan untuk penanganan kasus dianggap tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan dari proses hukum terhadap pelaku. Jadi, pastikan keputusan untuk mengambil setiap langkah ada di tangan korban sendiri. Tugas pendamping adalah memberikan gambaran terhadap risiko baik buruknya. 

Tugas Pendamping Memang Tidak Mudah, tetapi Bukan Tidak Mungkin

Pada akhirnya, perlu dipahami bahwa menjadi pendamping memang bukanlah tugas yang mudah. Namun, hal ini tidaklah mustahil untuk dilakukan. Sebagai pendamping korban KBG kita mestilah memiliki pemahaman terkait produk hukum yang bisa menjadi modal dalam menjalani proses pendampingan. Tita menyebutkan beberapa di antaranya adalah Ratifikasi CEDAW, KUHP, UU perlindungan anak, UU penghapusan KDRT, UU bantuan hukum, peraturan MA tentang perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan yang terbaru ada UU TPKS. 

“Konseling berbasis etika feminis itu berbeda karena kita mau menyampaikan pada korban bahwa ia berdaya itu sebabnya suara korban itu penting.” (Hadyanna P. Rahayu)

Begitu pun dengan hadirnya berbagai ruang aman di kampus-kampus yang menunjukkan perkembangan pendampingan korban KBG yang lebih terjangkau. Pun di berbagai daerah yang masih minim dengan fasilitas dan SDM dalam pendampingan, perkembangan teknologi telah memberikan kemudahan akses pelayanan konseling menjadi lebih terjangkau. Semua ini tentu memberi harapan bagi para korban dan para pendamping dalam menghadapi stigma dalam penanganan kasus KBG. 

Meski begitu, para narasumber tetap berpesan agar para pendamping dan calon pendamping korban selalu belajar. Setiap kasus selalu memiliki keunikan dan hendaknya pendamping jangan merasa menjadi sosok yang paling tahu. Pendamping tidak hadir untuk memberikan solusi, tetapi untuk mengembalikan keberdayaan korban, terutama perempuan yang telah direnggut sejak lahir. Itulah pentingnya etika feminisme dalam pendampingan yang mengembalikan suara dan hak korban di tangannya sendiri.