Kehilangan dalam bentuk apa pun, pada akhirnya menyadari arti memiliki
Selvy Arianti
Kehilangan benda barangkali dapat tergantikan, meski tidak 100% sama dari yang sebelumnya. Kehilangan makhluk yang bernyawa dalam pelbagai cerita, lain lagi rasanya. Tidak menampik anggapan bahwa terkadang perasaan menghanyutkan. Manusia makhluk emosional, bukan?
Sekian tahun belajar untuk tidak terombang-ambing oleh perasaan maupun pikiran diri sendiri dengan cara mencari jawaban dari pertanyaan, “Apakah aku akan gila? Apakah aku akan meninggal dalam waktu dekat?” Sampai suatu hari, perenungan mencapai titiknya. Aku mendapati jalan; ke dalam diri sendiri. Menjadi pengamat yang sesekali menertawakan diri sendiri, memberi nasihat kepada diri sendiri, dan memberi apresiasi ketika selesai menuntaskan persoalan.
Berbagai referensi terkait kehilangan telah kubaca. Namun, kerap kali kehilangan sebuah pulpen saja menjadi tanda tanya. Kata seandainya, menjadi berputar-putar di kepala. Ditambah dengan pikiran akan menjadi gila, yang disebabkan oleh “kehilangan” lainnya.
Mungkin saja bukan hanya aku yang pernah berada di fase kekhawatiran akan hilang akal, mungkin saja ada orang-orang di luar sana yang sampai detik ini berupaya menjaga kesehatan mental. Oleh karenanya, tulisan ini datang menyapa. Khususnya teruntuk diriku pada masa lalu, masa sekarang ketika waktu terus berputar, dan masa depan yang belum terjadi. Umumnya teruntuk orang-orang yang masih struggle dengan pelbagai pikiran serta perasaan yang berkecamuk.
Aku sering mendapati cerita bagaimana para pengusaha jatuh bangkrut dan akhirnya dapat membangun lagi usahanya dengan berbagai upaya. Di lain sisi, ada yang mengakhiri hidup karena terbelit persoalan ekonomi serta sekian hal lainnya. Tidak jarang aku meneteskan air mata dikarenakan adanya keharuan dan juga kesedihan.
Apa yang membuat mereka punya akhir yang berbeda? Mengapa ada yang bertahan serta terus melanjutkan hidup, walaupun sudah mengalami kehilangan? Mengapa ada yang mengakhiri hidup?
“Bukan peristiwa-peristiwa dalam hidup yang memiliki makna, melainkan makna peristiwa-peristiwa itu bagi kita. Makna penting sebuah fakta atau peristiwa muncul dari bagaimana kita merasakannya, yang menciptakan sebuah konteks. Ini menciptakan sebuah cara bereksistensi dan menentukan bagaimana kita akan merasakan peristiwa, keputusan, atau fakta tersebut.” (David R Hawkins, hal 211).
Kalimat di atas menenangkan diriku. Turut membantu memahami apa itu kehilangan. Mencoba memaknai peristiwa, sekali pun kesulitan menjelaskan detailnya kepada individu lainnya. Secara singkat, kusebut sebagai fase bertumbuh.
Belajar Menghadapi
Aku tidak mengatakan bahwa beragam kehilangan yang dialami merupakan hal sepele; kehilangan hewan peliharaan, benda kesayangan, dan bahkan orang tercinta. Ada sebuah kisah berkesan dari buku Guy Winch berjudul Bagaimana mengobati patah hati. Kisah seorang pasien yang kehilangan hewan peliharaannya dikarenakan sudah tak bernyawa, yang mana hewan tersebut telah menemani “masa gelap” sang pasien.
Hewan peliharaannya adalah seekor anjing bernama Bover, sang pasien merupakan seorang laki-laki bernama Ben. Kehilangan Bover membuat hati Ben benar-benar hancur. Tuntas membaca kisahnya, merasa related dengan cerita pasien tersebut. Yang membedakan adalah secara wujud dan bagaimana kehilangan memengaruhi diri.
Aku takut kehilangan buku-buku koleksiku dan mengingat-ingat buku yang tak kembali lagi setelah ada yang meminjamnya. Berdampak menjadi khawatir tidak akan mampu menjaga serta merawat buku-buku yang masih ada. Sampai suatu hari, untuk berpergian pun perlu memastikan telah meletakkan mereka dengan aman.
Pada tahun 2019, aku pernah menulis sebuah karya yang menyatakan untuk berupaya mengajak orang-orang agar gemar membaca. Dari karya itu, aku merefleksikan diri; belajar untuk mengurangi rasa takut kehilangan buku bacaan. Diawali dari mempersilakan orang-orang yang berminat untuk meminjamnya. Jika lokasi memungkinkan, bisa pinjam langsung ke rumahku.
Dengan cara sederhana, aku belajar arti memiliki. Sebagaimana diriku yang terbantu oleh buku bacaan manakala menghadapi proses bertumbuh, seperti itu pula doa yang kuberikan tatkala satu per satu buku-buku berpindah tangan. “Aku memang takut kehilangan buku-bukuku. Oleh karena itu, belajar menghadapinya. Ketika sudah selesai membaca, dipersilakan untuk dipinjam. Semoga dengan begitu, ada hal baik yang bisa dipetik.”
Penilaian Orang
“Apa yang mereka nilai merupakan sebagian dari diriku,
akan tetapi bukan sepenuhnya menggambarkan siapa diriku.”
Aku tidak dapat mencegah penilaian orang lain; termasuk penilaian yang mengatakan bahwa diriku aneh. Penilaian orang lain—penampilan, finansial, pasangan, dan lain-lain—menjadi poin dalam tulisan ini dikarenakan memiliki arti pembelajaran yang penting dalam hidupku. Ketika meng-iya-kan tanpa menyaringnya, berkemungkinan membuatku kehilangan diri sendiri.
Membahas penilaian orang lain disertai pikiran negatif diri sendiri, ada sebuah perspektif dalam channel Youtube Menjadi Manusia, dengan judul video “Bangkit menjalani hidup setelah gagal bunuh diri”, yang membuat pikiranku juga perlahan terbuka.
“Halo, narasumber dalam video tersebut, aku tidak mengenalmu. Namun, melalui tulisan ini, kusampaikan rasa terima kasih bahwasanya kamu telah berupaya untuk terus hidup dan membagikan semangat dalam ‘menghadapinya’.”
Lantas, Siapa Aku?
Perempuan berusia dua puluh lima tahun yang memilih untuk berupaya berdamai dengan diri sendiri. Yang masih belajar memaknai arti kehilangan. Yang perlahan menerima kata “aneh”, dengan senyuman ketika mendengarnya.
Aku hari ini barangkali tidak sesuai dengan standar sosial. Aku hari ini siap menyambut pagi hari dengan harapan. Aku hari ini menantikan malam yang berisikan kesunyian. Aku hari ini menuliskan cerita tentang perjuangan menjalani kehidupan. Aku hari ini adalah bagian sejarah hidupku pada masa mendatang.
Terima kasih, teruntuk kehilangan yang mengajariku banyak hal.
Wahai diri, mari terus berjuang!