Menjadi Ibu bukanlah Tujuan Mutlak, Melainkan Pilihan Sadar Perempuan

Menjadi Ibu bukanlah Tujuan Mutlak, Melainkan Pilihan Sadar Perempuan

“Lucu, ya kalau dipikir-pikir, walaupun sebelum menikah kita fokus pada kemandirian finansial, punya  karier, pada akhirnya, sehebat apapun kita (akan) kembali ke kodrat.” 

Begitulah kira-kira pernyataan seorang pesohor dan presenter ternama pada akun media sosialnya ketika menceritakan kegiatannya sebagai full time mom. Mengernyit dahi saya dibuatnya. Betapa sungguh, penampilan modern dan pendidikan tinggi tak dapat melepaskan perempuan dari dogma budaya. 

Miskonsepsi Kodrat Perempuan sebagai Istri dan Ibu

Bukan baru pertama saya mendapati miskonsepsi soal kodrat dari perempuan-perempuan yang sukses secara finansial. Tiap tahun di awal Maret, menjelang peringatan International Women’s Day, kita selalu membahas tantangan perempuan berkarir. Tantangan tersebut di antaranya adalah beban ganda peran domestik perempuan. Namun, dari perempuan kebanyakan pula kita akan mendengar kalimat yang kurang lebih berbunyi “Perempuan bisa berkarir setinggi kehendaknya selama tidak melupakan kodratnya sebagai istri dan ibu.”  

Miskonsepsi soal kodrat dan konstruksi gender ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah, tetapi berbahaya jika dibiarkan. Karena, miskonsepsi ini bukan melulu soal merepresi peran perempuan sebagai makhluk sosial, tetapi juga mengebiri dan membatasi ruang gerak perempuan yang merupakan salah satu akar dari kekerasan sistemik terhadap perempuan. 

Pelanggengan Budaya Patriarki Dimulai dari Pendidikan Peran Perempuan

Betapa sejak kecil kita dijejali dengan ajaran-ajaran mengenai norma, semata agar dianggap sebagai  calon istri dan ibu yang layak untuk dipersunting. Betapa sejak kecil kita diajarkan untuk diam, mengalah, menurut supaya tak menjadi sumber riak konflik baik dalam relasi personal maupun profesional. Betapa banyak perempuan yang harus kehilangan identitas diri demi merepresentasikan diri sebagai pribadi yang patut di hadapan standar masyarakat. 

Perempuan diajarkan untuk tunduk, patuh, dan memiliki sumbu sabar tak terhingga semata demi menyempurnakan visi masyarakat patriarkis mengenai sosok istri dan ibu ideal. Seumur hidup, perempuan diajarkan bahwa tujuan utama menjadi perempuan adalah menjadi tiang keluarga dan bersama itu pula dibebankan pula segala tanggung jawab dan tugas menjaga keutuhan, kedamaian, dan keharmonisan keluarga kepada perempuan seorang.  

Tak sekedar itu, berkeluarga lalu dijadikan rujukan standar bahagia dan sempurna seorang perempuan.  Oleh karenanya, banyak sekali perempuan merasa harus bersaing dengan sesamanya atau bahkan  harus bertahan dalam luka pernikahan disfungsional demi menjaga label sempurna tersemat di dada.  

Dari gagal paham soal kodrat pula tumbuh subur caci dan stigma kepada perempuan yang memilih jalan bahagia berbeda dari yang sudah dikodratkan oleh masyarakat. Perempuan yang memilih  mengejar pendidikan tinggi dan karier dianggap lupa akan kodratnya. Demikian pula dengan perempuan  yang selektif memilih pasangan dan menolak pinangan akan dianggap sebagai perempuan tak tahu diuntung. “Sudah bagus ada  yang melamar” ucap mereka.  

Atas dasar kodrat sebagai tiang keluarga ini pula perempuan yang telah menikah diharapkan  meluruhkan identitas diri pada pengabdian tak bertepi untuk suami, anak, dan rumahnya. Sudah dianggap wajar ketika perempuan setelah menikah memang tak perlu lagi berkiprah. Manak, macak, masak menjadi tugas perempuan dalam pernikahan untuk menyenangkan hati semua orang, kecuali dirinya. Karena, siapa yang peduli dengan perasaan istri selama ia bisa menjaga perasaan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan martabat keluarga? Perempuan akan dianggap baik-baik saja karena toh predikat sempurna dari  masyarakat sudah cukup untuk menambal lelahnya. 

Dan, ketika segelintir perempuan yang diuji lebih berat dengan suami tidak bertanggung jawab, kasar, pemarah dan tak setia, di situlah letak keluhuran perempuan diuji. Apakah ia akan mampu menjaga aib keluarga dari pandangan mata orang luar? Akankah ia mampu menganyam jalinan sabar tak berujung  dan menelan pahit luka dalam diam? Apakah ia dengan sukarela mengorbankan harga diri demi anak-anak yang tetap memiliki orang tua utuh dalam bingkai mengilat foto idul fitri setahun sekali? 

Pentingnya Pemahaman antara Kodrat dan Konstruksi Gender

Tak  jarang, tidak hanya harus memendam luka, seorang istri juga harus memikul sendiri tanggung jawab atas penghidupan keluarganya. Namun lagi-lagi semua itu ditelan akibat begitu hebatnya momok status sendiri dan tak bersuami bagi perempuan kita. Lantas, tepatkah kita menyematkan kata berdaya pada kondisi perempuan yang masih seperti itu? Tentu tidak, karena kondisi tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih hidup dalam bayang-bayang budaya patriarki yang mengungkungnya dalam siklus kekerasan demi status menikah di hadapan negara. 

Bukankah tanpa sadar kita sendiri yang membebani kaum kita dengan beban ganda tersebut? Bukankah kita yang saling membunuh potensi begitu banyak pribadi hebat atas dasar standar masyarakat yang dibangun dengan pola pikir yang rusak, usang, dan tak adil? Begitu banyak miskonsepsi soal kodrat  perempuan di negara ini yang berakar dari budaya patriarkis dan masih subur diwariskan dari generasi ke generasi dan disebarkan dengan masif pula melalui jari-jemari kita di era digital ini. 

Padahal, sudah banyak ahli, termasuk diantaranya Prof. Alimatul Qibtiyah, Guru Besar UIN Sunan  Kalijaga yang juga Komisioner Komnas Perempuan, berpendapat bahwa seharusnya kodrat  dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan hal biologis seperti menstruasi, hamil dan menyusui. Sedangkan, peran domestik dalam keluarga seperti mencuci, memasak, mengurus anak adalah konstruksi sosial budaya atas suatu gender. 

Bisa dibayangkan jika masyarakat kita lebih paham mengenai perbedaan antara kodrat dan konstruksi  gender, tidak akan ada lagi represi yang ditujukan kepada perempuan yang memilih untuk tetap lajang pada usia tertentu atau pada perempuan yang memilih fokus mengejar pendidikan serta karier. Tak akan ada lagi pemakluman bagi para pelaku kekerasan gender. Pastinya, tak akan ada lagi pengucilan dan stigma yang ditujukan kepada korban Kekerasan dalam Pacaran (KDP), Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), serta janda. Perempuan juga bisa tumbuh dengan kesadaran yang berbeda akan nilai dirinya. Diharapkan, kondisi tersebut mendorong munculnya tatanan hidup yang lebih adil dan setara karena kita tidak lagi menormalisasi kekerasan dan pola-pola merendahkan yang ditujukan kepada perempuan. 

Apakah dampaknya hanya berpengaruh pada perempuan saja? Tentu tidak. Ketika konsep sebagai ibu  tidak lagi dilekatkan sebagai kodrat, melainkan konstruksi sosial, maka menikah dan memiliki keturunan bukanlah suatu keharusan untuk mencapai standar normal yang diterima masyarakat. Menikah dan memiliki keturunan semestinya menjadi pilihan bebas melalui diskusi dua pihak setara yang diambil dengan kesadaran akan konsekuensi tanggung jawab yang mengikutinya. Idealnya, kualitas relasi yang dibangun dari keluarga itu akan lebih baik, baik relasi romantis antarpasangan maupun relasi orang tua dan anak.