Perempuan Berkisah (PB) menyediakan ruang aman konseling dengan menerapkan pendekatan berbasis etika feminisme untuk mendampingi korban kekerasan berbasis gender. Dalam menjalankan pendampingan, kami–para konselor–mendapat berbagai pelatihan supaya dapat menjadi pendamping dengan perspektif gender yang baik dan berpihak pada penyintas. Sebagai pendamping yang menerapkan pendekatan berbasis etika feminisme, kami mengupayakan ruang yang aman untuk penyintas berbagi dan menyediakan ruang berdialog yang setara tanpa penghakiman. Hal ini bertujuan supaya dalam proses pendampingan korban akan bertransformasi menjadi penyintas yang berdaya sejak dalam pikiran.
Selama menjadi bagian dari relawan pendamping di ruang aman PB, seringkali saya menemui penyintas yang menanyakan atau menyatakan dilema tentang memaafkan pelaku. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menemukan pola, kemarahan, kekhawatiran, bahkan ketakutan mereka terkait keharusan memaafkan pelaku supaya bisa pulih.
“Kak aku mau sembuh dan berdamai, tapi aku gak bisa maafin pelaku.”
“Aku gak mampu buat maafin pelaku atas apa yang udah dia lakuin ke aku.”
“Boleh enggak, ya aku gak usah maafin pelaku?”
“Rasanya aku gak akan pernah mampu untuk maafin pelaku seumur hidup.”
Kalimat-kalimat seperti di atas merupakan kutipan dari para penyintas yang sering muncul dalam sesi konseling di Ruang Aman PB. Kalimat tersebut biasanya muncul ketika proses tahapan awal, yaitu berbagi dan bercerita. Di tahap ini, konselor sebagai pendamping menyediakan ruang untuk menceritakan semua hal yang ingin penyintas bagikan. Secara perlahan, kami membantu penyintas untuk mengurai luka batin yang disimpan selama ini dan melakukan proses pengidentifikasian terhadap lapisan kekerasan yang terjadi. Karena itu, dilema terkait keharusan memaafkan pelaku seringkali muncul di benak penyintas saat tahapan ini.
Mengapa penyintas sering merasakan dilema memaafkan pelaku atau tidak?
Pertanyaan tadi pernah beberapa kali muncul saat saya menjadi pendamping. Belakangan, saya menyadari dilema ini tumbuh sebab kita hidup dalam masyarakat yang percaya memaafkan akan mendatangkan kedamaian. Masyarakat menanamkan kepercayaan bahwa untuk bisa pulih dan merasakan damai, kita harus memaafkan orang yang sudah melakukan hal buruk pada kita, bahkan pelaku kekerasan seksual.
Hal ini terbukti di beberapa kesempatan ketika ada pelaku kekerasan seksual yang viral lalu meminta maaf. Bahkan, walau permintaan maaf tersebut terkesan dibacakan dengan terpaksa atau masih berkelit tidak menunjukkan perasaan bersalah, masyarakat dengan sukacita menerima, membanggakan, hingga memaksa korban untuk segera memaafkan dan melupakan kekhilafan pelaku. Permintaan maaf yang diberikan pelaku tadi pun seringkali hanya berupa postingan di media sosial tanpa ada kelanjutan pertanggungjawaban, misalnya dengan ikut rehabilitasi pelaku atau membiayai konseling korban.
Karena itu, beberapa penyintas yang saya temui sering merasa marah akibat ketidakadilan orang-orang di sekitarnya. Banyak pihak memaksakan konsep memaafkan pelaku supaya penyintas bisa tenang dan tidak trauma lagi. Tindakan semacam ini sering terjadi sebab masyarakat mengglorifikasi proses memaafkan sebagai suatu kewajiban dan syarat jika ingin menjadi manusia yang lebih baik dan lebih kuat. Hal ini bahkan terasa seperti pilihan tunggal karena ketika berselancar di internet dengan kata kunci memaafkan pelaku, kita akan menemukan banyak artikel populer bahkan tulisan serius seperti jurnal dan esai yang membahas perlunya memaafkan.
Memaafkan Adalah Hal Luar Biasa Bagi Seseorang
Walau terdapat banyak tulisan dan juga keyakinan masyarakat bahwa memaafkan adalah hal yang luar biasa, kita perlu menyadari bahwa pilihan dan perjalanan untuk memaafkan seseorang adalah sesuatu yang sangat personal. Sudah seharusnya mulai memahami bahwa tidak ada yang berhak memaksa seorang penyintas untuk memaafkan pelaku. Bagaimanapun juga, trauma yang dimiliki korban akibat kekerasan seksual yang ia terima bukanlah sesuatu yang bisa dilewati begitu saja. Sebagai pendamping di ruang aman PB, saya selalu berusaha menganalisis nilai personal penyintas untuk membantu memetakan kebutuhannya dalam proses pemulihan diri, termasuk persoalan perlu atau tidaknya ia memaafkan pelaku.
Untuk menjawab persoalan ini, tidak ada templat jawaban yang tersedia karena semuanya kembali lagi pada proses penyintas. Ada yang memutuskan untuk memaafkan dan ada juga yang tidak akan memaafkan pelaku. Tidak ada salah ataupun benar dalam hal ini, yang terpenting adalah bagaimana pilihan tersebut jadi kekuatan dalam proses pemulihan penyintas.
Namun, lewat tulisan ini saya ingin membagikan pola yang seringkali saya temui di ruang aman PB, yaitu penyintas yang memilih untuk tidak memaafkan pelaku. Untuk sampai pada keputusan ini, mereka telah melewati berbagai proses internal juga pendampingan. Tidak memaafkan bukan berarti mereka menjadi orang jahat dan pendendam.Rasa kecewa dan amarah yang dimiliki penyintas pun amat wajar ditujukan pada pelaku. Perasaan semacam itu memang bagi masyarakat seringkali dianggap sebagai hal yang buruk dan negatif. Namun melalui ruang aman PB, saya belajar bahwa semua perasaan dapat menjadi katalis sekaligus katarsis yang mendorong proses pemulihan diri dalam penyintas.
Perasaan Negatif Membuat Korban Makin Terpuruk
Setelah menjadi korban kekerasan seksual, perasaan negatif lebih sering datang pada korban. Hal tersebut membuat mereka terus terpuruk dan kesulitan untuk menjalani hidup. Keterpurukan itu terjadi akibat kekerasan yang pernah terjadi telah memberikan banyak sekali dampak negatif dalam hidupnya, baik secara fisik maupun psikis. Pada aspek psikis, biasanya korban akan merasa kehilangan harga diri, tidak percaya diri, menyalahkan diri sendiri, hingga mengalami depresi. Korban yang mengalami kekerasan seksual akan memiliki trauma, sehingga biasanya diliputi perasaan seperti kecewa, marah, bahkan penuh kebencian yang seringkali ditujukan pada diri sendiri.
Karena itu, dalam ruang aman PB kami membantu korban mengurai trauma, mengenali sebab, serta lapisan kekerasan yang ia alami. Kemudian dalam prosesnya, penyintas sendiri yang akan menentukan jalan apa yang ia ambil. Dengan memanfaatkan perasaan kecewa dan amarah sebagai katalis sekaligus katarsis, seringkali dapat membantu penyintas lebih mengenali dirinya sendiri, mengenali kekerasan yang terjadi padanya, dan menyadari bahwa ia tidak memiliki kontribusi dalam kekerasan itu. Bahkan, kondisi tersebut dapat membantu proses memaafkan diri sendiri karena penyintas memiliki kesadaran penuh bahwa kekerasan yang terjadi murni akibat pelaku yang jahat.
Korban Tidak Melakukan Kesalahan Atau Berkontribusi Atas Kekerasan Seksual yang Dialaminya
Dengan kesadaran tadi, penyintas semakin berdaya dan kuat untuk berpegang pada keyakinan bahwa ia sebagai korban saat itu tidak melakukan kesalahan atau berkontribusi pada terjadinya kekerasan seksual. Perasaan berdaya tersebut hadir sebab perasaan kecewa dan amarah yang ada dalam dirinya kini mulai mendapat arah dan ditujukan pada orang yang tepat yaitu pelaku. Penyintas pun mulai menyadari bahwa kekerasan yang terjadi memang berasal dan terjadi akibat pilihan sadar si pelaku.
Di Ruang Aman PB, konselor akan membimbing dalam mengelola perasaan-perasaan tersebut untuk membantu korban dalam proses pulihnya. Konselor akan menawarkan berbagai opsi pemulihan diri secara personal yang dapat penyintas lakukan di ruang aman konseling. Salah satu opsi pemulihan diri yang bisa dilakukan adalah menulis unsent letter yang ditujukan pada pelaku. Penyintas dapat menuliskan segala amarah dan kebenciannya lalu membakar surat tersebut. Penyintas dapat pula mencari cara lain yang membuatnya lebih nyaman untuk dilakukan. Di Ruang Aman PB, kami, konselor, selalu terbuka memberi ruang bagi penyintas dalam membuat keputusannya sendiri.
Karena itu, sekali lagi kita perlu mencatat dan mengingat bahwa memaafkan ataupun tidak memaafkan pelaku kekerasan seksual adalah hak mutlak milik penyintas. Proses tidak boleh kita paksakan dan para penyintas tidak perlu untuk selalu mengambil keputusan seperti yang masyarakat inginkan.