Jangan Ragu, Konselor Pun Berhak Membangun Batasan Diri

Jangan Ragu, Konselor Pun Berhak Membangun Batasan Diri

Menyediakan diri kita sebagai konselor, bukan berarti kehidupan kita siap diganggu kapan pun oleh konseli. Di Ruang Aman berbasis komunitas, kadang ada saja konseli yang selalu ingin berkabar perkembangan kondisinya kapanpun mereka mau, tidak peduli kondisi konselor siap atau tidak untuk dihubungi. 

Benar bahwa kami adalah relawan yang mengabdikan diri kami untuk berbagi kekuatan dengan konseli, namun kami juga memiliki kehidupan seperti manusia pada umumnya. Kami bekerja secara profesional di sebuah lembaga, kami berkeluarga, atau bahkan kami juga ada yang masih memiliki kesibukan kuliah dengan sekian tugasnya. Itulah mengapa di Ruang Aman Perempuan Berkisah (PB) juga menyediakan Support Group khusus bagi konseli yang membutuhkan komunikasi intensif bersama beberapa konselor dan penyintas lainnya. 

Kami Semua Relawan

Di Ruang Aman PB, semua konselor, psikolog dan pendamping adalah relawan. Jumlah mereka memang lebih dari 30 orang, namun bukan berarti setiap hari 30 orang ini bersedia melakukan konseling di hari dan waktu yang bersamaan. Justeru, dengan banyaknya jumlah konselor semakin memudahkan berbagi peran dan disesuaikan dengan keluangan waktu mereka. Itulah mengapa jadwal konseling dibuat berdasarkan persetujuan (consent) baik dari konselor maupun konselinya. Nyamannya kapan? Luangnya kapan? Apakah bersedia jika dilakukan sore atau malam? Dan sekian kesediaan lainnya, termasuk kesediaan memilih konseli dengan jenis kasus yang dialaminya. 

Begitupun dalam pelaksanaan konseling, sesuai standar operasional prosedur (SOP) di Ruang Aman PB, proses konseling hanya dilakukan selama satu jam. Kalaupun akan ada penambahan waktu, maka tetap berbasis consent keduanya. Termasuk ketika konseli membutuhkan penguatan di ruang Support Group, maka konselor tetap meminta consent dari konseli. Serta, secara asertif menyampaikan bahwa konselor hanya akan merespon di Support Group jika dalam kondisi siap. Konseli tetap bisa mengirimkan pesan atau menyampaikan apa yang dirasakannya kapanpun, namun konselor akan merespon jika dia siap. Dalam satu Support Group, ada beberapa konselor, sehingga siapa yang bisa merespon saat itu juga, maka dia yang akan merespon. 

Tidak Egois

Menjadi pendamping atau konselor bagi korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) bukanlah hal yang mudah. Tugas yang mulia ini bukan hanya menantang secara fisik, tetapi melelahkan secara mental, dan juga menguras waktu. Tidak jarang, kondisi tersebut membuat konselor sulit menetapkan batasan diri. Padahal, batasan diri yang sehat merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dalam membantu orang lain. Sebab, konselor harus memastikan fisik dan mental dirinya mampu sebelum mulai menolong orang lain. 

Menetapkan batasan diri yang sehat tidak sama dengan bersikap egois karena konselor juga harus bisa menjaga diri dan menikmati kehidupannya. Sebagai konselor kita juga mesti peka pada kebutuhan diri. Perhatikan respons yang diberikan tubuh saat batasan diri kita dilanggar, misalnya detak jantung yang meningkat, sesak, berkeringat, atau sekadar rasa tidak nyaman.

Ingat bahwa konselor juga manusia yang memiliki hak-hak dasar. Salah satu hak dasar sebagai manusia adalah menempatkan kebutuhan diri kita sama pentingnya dengan kebutuhan orang lain. Kita pun punya hak untuk tidak selalu memenuhi harapan orang lain sekalipun itu konseli. Jadi, hormatilah hak dasar kita sebagai pribadi agar bisa membangun batasan sehat sebagai konselor.

Jangan Memaksakan Diri untuk Membantu

Membangun batasan yang sehat antara konselor dan konseli mesti dimulai sebelum sesi konseling. Sebelum mulai konseling, konselor sebaiknya mengetahui latar belakang konseli. Hal ini bertujuan agar konselor bisa mengukur kapasitas dirinya. Jika konselor merasa belum mampu membantu konseli, tidak apa-apa untuk jujur. Memaksakan diri untuk membantu bisa berakibat buruk untuk konseli maupun konselor secara pribadi. Jika menghadapi situasi tersebut, baiknya arahkan konseli untuk dibantu oleh konselor atau tenaga profesional lain.  

Dukungan dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)

Dalam melakukan kerja-kerja sosial berbasis volunteerism untuk menguatkan para penyintas kekerasan berbasis gender (KBG), Komunitas Perempuan Berkisah bukan hanya didukung para relawan (volunteer) konselor, psikolog, maupun pendamping korban di beragam daerah, namun juga dari organisasi sosial seperti Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui program Pundi Perempuan. Program ini memberikan dana hibah senilai 20 juta kepada lembaga maupun komunitas, terutama yang memberikan layanan pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG). Dana Hibah sepenuhnya dimanfaatkan untuk pendampingan dan konseling perempuan dan anak korban/penyintas KBG. Tahun 2022 ini, Komunitas Perempuan Berkisah mendapat kesempatan sebagai salah satu penerima Dana Hibah untuk program selama Februari-Juli 2022. Selama 6 bulan ini, Komunitas Perempuan Berkisah melalui Ruang Aman konseling online telah melakukan pendampingan 112 konseli (korban/penyintas KBG0), jumlah ini kini mencapai 120 konseli per Agustus 2022 sejak tulisan ini dibuat. 

Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) didirikan pada tahun 1995 di masa tahun-tahun terakhir rezim otoriter Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu gerakan pro-demokrasi mulai berkembang. Saat IKa didirikan, perannya ditujukan untuk mendukung gerakan pro-demokrasi melalui hibah kecil/mikro dari organisasi donor internasional yang berbasis di Eropa (kebanyakan Belanda dan Belgia). Pendirinya adalah empat aktivis masyarakat sipil yang pada saat itu aktif dalam memajukan hak-hak buruh, hak-hak konsumen, hak asasi manusia dan pengembangan organisasi masyarakat sipil. 

Komunitas Perempuan Berkisah adalah komunitas di bawah naungan Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya), sebuah organisasi non-profit berbadan hukum yang menyediakan layanan konseling online berbasis etika feminisme, pendampingan korban kekerasan berbasis gender (KBG) secara langsung, pemberdayaan bagi perempuan (terutama penyintas kekerasan berbasis gender), serta kampanye edukasi publik untuk pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) terutama kekerasan seksual. Yayasan Pribudaya juga merupakan transformasi dari Komunitas Perempuan Berkisah yang telah sah secara hukum menjadi sebuah Yayasan sejak per 10 Mei 2022.